Beberapa waktu yang lalu tersiar kabar
ditemukannya fakta bahwa terdapat sebuah bangunan milik negara/daerah berupa
kantor kepala daerah yang diagunkan kepada sebuah bank untuk jaminan pinjaman
sejumlah uang.[1]
Terlepas dari motif[2]
dan bagaimana detail kasus tersebut, yang hingga saat ini masih didalami oleh
pihak yang berwenang,[3] peristiwa ini dapat
menjadi titik tolak dalam memberikan pemahaman terkait dengan aset
negara/daerah. Selain itu, menarik untuk membahas kasus ini dalam ruang lingkup
yang lebih general, yaitu pembahasan terkait aset negara/daerah dalam kaitannya
sebagai properti publik. Tulisan singkat ini akan membahas kekayaan negara berdasarkan
teori public property yang ada.
Klasifikasi Properti dalam Teori
Cole dan Ostrom menyebut terdapat 4
(empat) jenis klasifikasi properti berdasarkan hukum Romawi. Keempat jenis
tersebut secara ringkas disebut res privatae (private property), res
publicae (public property), res communes (common property),
dan res nullius (nonproperty). Masing-masing jenis properti dapat
dijelaskan sebagai berikut:[4]
1. |
State/public
property |
: |
The
state or its agencies have the right to determine rules of access and use,
but a duty (at least in theory) to manage publicly owned resources for the
public welfare. Individual members of the public do not necessarily have a
right of access or use, but they have a duty to observe access and use rules
promulgated by the controlling/ managing agency |
2. |
Private
property |
: |
Owners
have the exclusive right to undertake socially acceptable uses to the
exclusion of non-owners, and they have a duty to refrain from socially
unacceptable uses. Non-owners have a duty to refrain from preventing owners’
socially acceptable uses, but they have the right to prevent or be
compensated for socially unacceptable uses. |
3. |
Common
property |
: |
Each
member of the ownership group has the right to access and use group- owned
resources in accordance with access and use rules established collectively by
the group, and a duty not to violate access and use rules. Each member also
has the right to exclude nonmembers of the ownership group, but no right to exclude
other members of the ownership group. Nonmembers of the ownership group have
a duty not to access and use the resource except in accordance with rules adopted
collectively by the ownership group. |
4. |
Nonproperty/open
access |
: |
No
individual has a duty to refrain from accessing and using a resource. No
individual or group has the right to prevent any other individual or group
from accessing and using the resource as they choose. |
Pendapat lain dikemukakan oleh
Macpherson, dirinya menyebut terdapat 3 (tiga) jenis properti, yaitu common
property, private property, dan state property. Dalam menjelaskan
ketiga jenis properti tersebut, Macpherson menulis,”Common property is
created by the guarantee to each individual that he will not be excluded from
the use or benefit of something: private property is created by the guarantee
that an individual can exclude others from the use or benefit of something.
Both kinds of property, being guarantees to individual persons, are individual
rights.” Selanjutnya ditulis pula olehnya,”We have now to notice that
there is another kind of property which appears not to be an individual right
at all. This may be called 'state property': it consists of rights which the
state has not only created but has kept for itself or has taken over from
private individuals or corporations… Now state property, as just described,
does not give the individual citizen a direct right to use, nor a right not to
be excluded from, the assets held by the state acting as a corporation.”[5]
Perkembangan selanjutnya muncul pendapat
baru yang mengetengahkan tesis bahwa klasifikasi jenis-jenis properti
sebagaimana disebutkan sebelumnya tidaklah relevan untuk kondisi dan fak-fakta
terkini yang tengah terjadi. Pendapat ini memperkenalkan adanya konsep mixed
property, yaitu adanya kemungkinan sebuah properti memiliki sifat yang
bercampur. Sebagai contoh pendapat ini menyebut properti yang lahir dari
mekanisme public-private partnerships sebagai properti yang memiliki
sifat public sekaligus private property dalam waktu yang sama,
komplek perumahan yang terbuka untuk umum namun dimiliki oleh sebuah korporasi
bisnis dianggap sebagai private-common property, dan ruang-ruang publik
di wilayah perkotaan seperti taman dan tempat bermain juga disebut sebagai
contoh public-common property.[6]
Kekayaan Negara dalam Teori Properti
Dalam konteks Indonesia, dipahami bahwa
kekayaan negara dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu kekayaan yang
dikuasai negara (domein publik) dan kekayaan yang dimiliki negara (domein
privat).[7] Peran pemerintah dalam
konteks kekayaan negara yang dikuasai adalah sebagai regulator, sedangkan dalam
konteks kekayaan negara yang dimiliki adalah sebagai regulator sekaligus
eksekutor.
Apabila secara ketat menerapkan konsepsi
pengelompokkan properti sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, model
pembagian kekayaan negara di Indonesia dapat dipahami sebagai berikut. Kekayaan
negara yang dimiliki yang didasarkan pada hak-hak privat pada saat yang
bersamaan dapat mengandung sifat sebagai private, public, dan common
property. Berdasarkan pemahaman Penulis, sebagai contoh, peralatan yang
dimiliki oleh pemerintah yang tidak digunakan secara langsung untuk pelayanan
publik dapat dikatakan sebagai private property. Sedangkan aset-aset
milik pemerintah yang digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
adalah public property. Selanjutnya, sebagaimana contoh yang disebutkan
dalam bagian sebelumnya, ruang-ruang publik yang merupakan aset negara namun
masyarakat dapat secara bebas menikmatinya, seperti ruang terbuka hijau, arena
olahraga, dan ruang-ruang publik lainnya dapatlah dikatakan sebagai common
property.
Dalam konteks ini, pemerintah sebagai
representasi negara memiliki legitimasi sebagai subjek hukum yang menyandang
hak-hak kepemilikan selayaknya subjek hukum privat lainnya. Setidaknya konsepsi
tersebut dapat dilegitimasi dari diskursus hak-hak privat yang dimiliki oleh
pemerintah sebagai subjek hukum yang bersifat publik,[8] Selain itu, terdapat pula
yurisprudensi dan doktrin yang berkembang di Kanada yang memberi pengakuan
terhadap government as owner.[9]
Sementara itu, dalam konteks kekayaan
negara yang dikuasai, Penulis menemukan kesukaran untuk dapat menyatakan bahwa
kekayaan negara yang dikuasai tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu
dari keempat klasifikasi properti yang disebutkan Cole dan Olstrom. Tentunya
sulit untuk menyatakan bahwa kekayaan negara yang dikuasai tersebut sebagai private
atau public property mengingat keduanya dimaknai bahwa subjek hukum
harus memiliki properti dimaksud, sedangkan kekayaan negara yang dikuasai
bukanlah kekayaan negara yang dimiliki oleh negara dalam hal ini pemerintah.
Selanjutnya, sulit pula untuk menyatakan
bahwa kekayaan negara yang dikuasai sebagai nonproperty atau open access,
karena keduanya bertolak dari pemahaman yang berbeda. Kekayaan negara yang
dikuasai, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi, berangkat dari prinsip
bahwa negaralah yang menguasai segala kekayaan negara, sehingga apabila
terdapat pihak privat yang hendak menikmati manfaat dari kekayaan negara
tersebut haruslah berdasarkan aturan dan keputusan negara. Sebagai contoh
adalah kegiatan pertambangan minyak, batu bara, dan lain sebagainya. Sedangkan konsepsi
non property atau open access adalah bahwa sebuah properti
tidaklah bertuan, sehingga tidak ada satu pihak pun yang dapat membatasai pihak
lain untuk mendapatkan manfaat dari properti tersebut. Tentunya properti
sebagaimana definisi ini cukup sulit untuk ditemukan eksistensinya, mengingat
hampir semua properti, yang bebas sekalipun, telah diregulasi oleh negara.
Dengan demikian, konsepsi common
property-lah yang sekiranya dapat menjadi kategorisasi kekayaan negara yang
dikuasai. Berdasarkan definisi yang disebut oleh Cole dan Olstrom, pada aspek
pembuatan aturan secara kolektif inilah yang menjadi titik temu. Negara, dalam
konteks kekayaan negara yang dikuasai bertindak sebatas menjadi regulator dan
dalam pelaksanaan tugasnya sebagai regulator tentu haruslah memperhatikan
berbagai kepentingan, bahkan melibatkan berbagai pihak tersebut dalam sebuah
proses yang memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful
participation).
Namun begitu, menarik untuk menyimak
pendapat Nili yang merumuskan adanya konsepsi deep public ownership dalam
konteks public property.[10] Dalam pendapatnya, Nili
menitikberatkan bahwa public property adalah hak yang dimiliki
pemerintah yang bersumber dari kedaulatan rakyat, sehingga pemerintah memiliki
legitimasi untuk itu. Hal ini kiranya lebih tepat dalam memahami kekayaan
negara yang dikuasai, karena konsepsi ini juga tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi kedaulatan rakyat yang direpresentasikan dalam norma-norma Konstitusi.
Penutup
Merangkum pembahasan yang disajikan dalam bagian-bagian sebelumnya, konsepsi kekayaan negara yang dikenal di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam klasifikasi properti sebagaimana dirangkum Cole dan Olstrom. Kekayaan negara yang dimiliki dapat bersifat sebagai private, public, maupun common property sekaligus, sedangkan kekayaan negara yang dikuasai setidaknya dalam beberapa aspek memiliki karakteristik yang sama dengan konsepsi common property. Dengan demikian, kiranya pembahasan dalam tulisan singkat ini dapat memberi pemahaman terkait kekayaan negara dalam perspektif teori properti.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1]
https://news.detik.com/berita/d-6674255/m-adil-ternyata-gadaikan-kantor-bupati-meranti-ke-bank-senilai-rp-100-miliar
[2]
https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/16/121500465/alasan-bupati-meranti-gadaikan-gedung-pemerintahan-ke-bank?page=all
[3]
https://www.viva.co.id/berita/nasional/1593138-akal-bulus-m-adil-gadaikan-kantor-bupati-meranti-ke-bank-riau-rp100-miliar
[4]
Daniel H. Cole dan Elinor Ostrom, “The Variety of Property Systems and Rights
in Natural Resources”, dalam Daniel H. Cole dan Elinor Ostrom (eds.), Property
in Land and Other Resources, Lincoln Institute of Land Policy:
Massachusetts (2012), hal. 41-42.
[5]
C.B. Macpherson, Property: Mainstream and Critical Positions, University
of Toronto Press: Kanada (1978), hal. 5.
[6]
Amnon Lehavi, Mixing Property, Seton Hall Law Review Vol. 38 Issue 1 Tahun
2008, hal. 137-212.
[7]
Eka Hidayati, Kekayaan yang Dikuasau Negara vs. Kekayaan yang Dimiliki
Negara, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-metro/baca-artikel/13760/Kekayaan-yang-Dikuasai-Negara-vs-Kekayaan-yang-Dimiliki-Negara.html
[8]
Seth Davis, The Private Rights of Public Governments, Notre Dame Law Review
Vol. 94 Issue 5 Tahun 2019, hal. 2091-2126.
[9]
Sarah E. Hamill, Private Rights to Public Property: The Evolution of Common
Property in Canada, McGill Law Journal Vol. 58 Issue 2 Tahun 2012, hal.
365-403
[10]
Shmuel Nili, The Idea of Public Property, Ethics Vol. 129 Januari 2019,
hal. 344-369