PENDAHULUAN
Jumlah pendapatan negara bukan pajak yang
diperoleh dari pengelolaan BMN dapat dikatakan masih rendah, menurut Puteri
Anetta Komarudin[1], besarnya
nilai total aset negara perlu dioptimalkan lagi pemanfaatannya untuk menambah
pendapatan negara hingga akhir tahun ini. Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet[2] juga
menilai penerimaan negara dari proporsi pemanfaatan BMN menurutnya memang masih
kecil, kontribusi penerimaan negara berupa pemanfaatan BMN hanya di kisaran 2%.
Ditinjau dari data Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pengelolaan BMN 3 tahun
terakhir, memang menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun, pada tahun 2017 sebesar Rp266,2 miliar, tahun 2018 sebesar Rp339,6 miliar
dan tahun 2019 sebesar Rp551,2 miliar, sementara menurut informasi dari
Direktur PKNSI, Purnama Sianturi[3],
realisasi PNBP dari pemanfaatan BMN hingga 31 Agustus 2020 baru mencapai Rp 289
miliar, dan optimis tercapai 400miliar tahun ini, namun ketika kemudian angka
realisasi ini dibandingkan dengan total aset terlebih jika dibandingkan dengan nilai
BMN hasil revaluasi tahun 2017/2018 yang sebesar Rp5.000 triliun, maka rasio
akan lebih kecil lagi.
Kita tidak dapat berharap banyak realisasi
PNBP ini akan membaik tahun depan pasalnya Bank Dunia[4]
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan sebesar 4,8%, bahkan
setelah direvisi, pertumbuhan ekonomi pada 2021 hanya berada di kisaran 3% hingga
4,4% Bank Dunia berdalih hingga saat ini Indonesia dinilai belum sukses dalam
menangani pandemi Covid-19, sementara
dari dalam negeri menurut Kementerian Keuangan pertumbuhan ekonomi dalam RUU
APBN 2021 ditargetkan sebesar 4,5%-5,5% saja.
Hal
tersebut justru menjadi tantangan Kemenkeu untuk mengoptimalkan pemanfaatan
aset dalam rangka meningkatkan PNBP. Perlu ide baru untuk merubah kondisi tersebut,
diperlukan perubahan paradigma berpikir aparatur negara terhadap BMN, diperlukan
entrepreneurship aparatur negara
untuk mendongkrak penerimaan PNBP dari pemanfaatan BMN (Darnadi,2020). Jiwa entrepreneurship pemerintah tidak
sekedar memberikan pelayanan namun sekaligus memikirkan penerimaan negara, agar
bisa memberikan layanan yang lebih baik lagi.
Bagi seorang entrepreneurship ketika intensifikasi telah maksimal namun hasilnya
tidak memuaskan maka diperlukan ekstensifikasi misalnya diversifikasi produk
penjualan. Menurut Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji, menyarankan pemerintah agar sebaiknya
segera melakukan diversifikasi pos penerimaan negara terlebih dalam masa resesi
dampak pandemi Covid-19. Penerimaan negara dari pengelolaan BMN yang dominan
dari pemanfaatan/penyewaan BMN aset tetap saja perlu ditambah variasi
penerimaan baru yang lebih segar dan menjanjikan. Halim dalam bukunya telah
menyarankan pemerintah untuk menggali potensi penerimaan negara dari
pemanfaatan aset dan fasilitas penunjang; ekstensifikasi dilakukan dengan
inventarisasi potensi jenis PNBP serta merealisasikan sumber-sumber pendapatan
lain untuk peningkatan PNBP (Halim,2014).
Di dalam Aset Negara, BMN terdiri dari 3 kelompok
yaitu Aset Lancar, Aset Tetap dan Aset lainnya, namun untuk pengelolaan aset
lancar berupa persediaan, saat ini belum menjadi konsen atau fokus pemerintah
untuk digarap agar menghasilkan penerimaan negara yang maksimal. Menurut KSAP[5], Persediaan
adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk
mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan
untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut sangat
dimungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan pembelian dan penjualan persediaan
sepanjang untuk mendukung operasional dan kinerja pemerintah untuk kemudian
menghasilkan penerimaan negara dari penjualan persediaan.
Penerimaan negara dari hasil penjualan aset/barang/kekayaan
negara pada umumnya berupa penjualan BMN yang telah rusak berat, penjualan
Rampasan Kejaksaan, Tegahan Bea Cukai, Sitaan KPK dan Gratifikasi, namun
penjualan persediaan yang secara khusus memang direncanakan dibeli untuk dijual
kepada masyarakat dalam rangka mencari keuntungan atau sumber pendapatan
negara, belum ada.
PEMBAHASAN
Menyikapi
permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis memandang perlu suatu ide
baru penerimaan negara yang lebih menguntungkan, lebih variatif, serta mampu
berkontribusi dalam upaya pemulihan ekonomi nasional, sekaligus suatu program
yang memungkinkan untuk diaplikasikan, tidak membebani negara, disaat kondisi
ekonomi sedang sulit. Penulis menggagas sebuah program pemerintah diversifikasi
pengelolaan BMN, untuk memperoleh keuntungan dan sebagai sumber penerimaan bagi
negara yaitu program dengan mekanisme pembelian persediaan kemudian dijual
kembali secara cepat kepada masyarakat dalam program yang diberi nama State Inventory Turnover Crowdfunding
(SITCF).
1.
Konsep
State Inventory Turnover Crowdfunding
(SITCF)
Istilah
State Inventory Turnover atau Perputaran
Aset Persediaan Negara diambil dalam teori pengelolaan persediaan yaitu kinerja
persediaan yang diukur dari rasio perputaran persediaan (inventory turnover rasio). Menurut Zulbiadi,2018, inventory turnover adalah suatu rasio
aktifitas keuangan yang digunakan untuk mengukur berapa kali perusahaan mampu
menjual dan menggantikan persediaannya dalam satu periode tertentu, semakin
tinggi nilainya maka itu berarti semakin cepat perusahaan tersebut dalam
melakukan penjualan. State Inventory Turnover
berbicara tentang bagaimana
persediaan pemerintah yang dibeli dapat terjual dengan cepat, persediaan yang
perputarannya baik maka akan menghasilkan margin penjualan yang cepat pula.
Disini dituntut jiwa entrepreneurship pemerintah merancang perputaran persediaan yang cepat
yaitu menjual persediaan yang betul-betul dibutuhkan oleh pegawai sekaligus menguntungkan,
dalam tulisan ini penulis mengusulkan penjualan persediaan berupa tanah. Tanah
untuk perumahan, tanah untuk pertanian, tanah untuk perkebunan atau sekedar tanah
untuk investasi cukup menarik untuk ditawarkan kepada pegawai. Tanah merupakan
kebutuhan pokok pegawai negeri, dengan memiliki tanah dapat membangun masa
depan, memiliki harapan kesejahteraan, dan semoga dapat menghasilkan performa yang
terbaik bagi instansinya. Feedback
dari pemenuhan kebutuhan mendasar ini diharapkan akhirnya dapat meningkatkan
kinerja instansi pemerintah.
Pemerintah melakukan pembelian persediaan
berupa tanah kemudian dijual kembali dengan cepat kepada masyarakat dalam hal
ini pegawai, maka persediaan tanah yang dibeli hanyalah yang betul-betul telah
siap dijual kepada pegawainya. Persediaan yang masuk akan segera keluar
kembali, akan menimbulkan turnover
yang sempurna sekaligus memberikan keuntungan kepada pemerintah dengan cepat
pula. Skema pembelian persediaan tanah ini diakomodir dalam Standar Akuntasi
Pemerintah dan dimungkinkan bagi pemerintah untuk melakukannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pendanaan pembelian persediaan, agar tidak membebani pemerintah? Penulis mencoba mengadopsi suatu skema permodalan yang sedang trend yaitu skema urun dana atau crowdfunding. Crowdfunding terdiri dari 2 kata Crowd yang berarti kerumunan/sekumpulan orang, dan funding yang berarti pendanaan, menurut Oxford Dictionary dan Merriam-Webster Dictionary, crowdfunding atau Urun dana adalah praktik penggalangan dana dari sejumlah orang untuk memodali suatu proyek atau usaha. Crowdfunding merupakan skema pembiayaan yang dijuluki pendanaan demokratis, karena konsep dari crowdfunding adalah mengumpulkan dana dalam skala yang kecil tetapi berasal dari jumlah masyarakat yang besar sehingga terkumpul dana yang signifikan (Akbar,2019).
Gambar 1. What is Crowdfounding
Sumber: https://seo.co/crowdfunding
Crowdfunding
menjadi salah satu model pendanaan yang cepat yang berasaskan kepercayaan,
model crowdfunding yang diusulkan
penulis yaitu berasal dari masyarakat dalam hal ini Aparat Sipil Negara/Pegawai
Negeri dari pemerintah itu sendiri, sebagai crowdfunder
(pemilik urun dana) untuk membiayai ide proyek instansinya sekaligus pembeli
objek SITCF atau pembeli persediaan tanah tersebut. Pegawai negeri memiliki
kemampuan pendanaan yang cukup besar karena dapat meminta fasilitas kredit dari
Bank, oleh karena itu dalam tulisan ini memprakarsai keterlibatan perbankan
dalam skema SITCF. Hal ini menjadikan SITCF memiliki risiko yang kecil karena
bekerjasama dengan perbankan sebagai fund
recovery.
Sehingga
penulis
merumuskan bahwa konsep State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF)
merupakan upaya pemerintah menghasilkan penerimaan negara dari ide perputaran
aset lancar berupa persediaan dengan mekanisme pembelian persediaan berupa
tanah untuk dijual kembali secara cepat kepada masyarakat (dhi. Pegawai) sekaligus
sebagai crowdfunder (pemilik dana)
untuk membiayai pembelian objek tanah tersebut. Crowdfunder ini akan diback-up
oleh bank sebagai fund recovery, yang
membayar pembelian tanah dan menyetorkan keuntungan kepada pemerintah. Dengan
adanya perbankan sebagai fund recovery
ini, maka pemerintah tidak perlu lagi mendanai proyek pembelian persediaan
tanah tersebut. Selanjutnya pemerintah akan mendapatkan keuntungan dari
transaksi jual beli tersebut sebagai penerimaan negara, selain itu pada saat
yang sama SITCF membantu memenuhi kebutuhan hidup pegawai berupa kebutuhan akan
tanah agar dapat memberikan kinerja yang baik.
2.
Skema/mekanisme
State Inventory Turnover Crowdfunding
(SITCF)
Untuk menjalankan ide atau konsep SITCF ini
perlu dikemas dalam suatu pogram khusus penerimaan negara bukan pajak dari
pengelolaan aset lancar yaitu persediaan berupa tanah untuk dijual kepada
masyarakat. Penulis mendesign beberapa aturan main dalam program tersebut
berdasarkan teori persediaan dan teori crowdfunding
yang dipahami.
Adanya ide program berupa
objek Persediaan tanah
Di dalam crowdfunding, pemilik proyek harus memiliki ide bisnis yang akan ditawarkan kepada crowdfunder. Instansi pemerintah/Kementerian lembaga wajib memiliki ide rencana bisnis, yaitu objek tanah yang akan dibeli untuk dijual kembali. Dalam membangun ide ini agar dapat terjadi turnover maka harus sesuai dengan keinginan calon pembelinya. Untuk menyusun ide proyek, Instansi dapat membuka masukan dari pegawainya lokasi tanah yang bisa diusulkan untuk program SITCF, misalnya satu lokasi tanah dekat kantor seluas 500m2 cocok untuk dibeli oleh instansi untuk kemudian dijual kepada pegawai secara kapling/dibagi kedalam beberapa petak. Agar ide ini dapat berjalan harus dipastikan terdapat crowfunder (pemilik dana) yang bersedia/mampu mendanai yaitu pegawai yang berminat urun dana membeli tanah tersebut, misalnya terdapat 5 orang pegawai berminat membeli sekaligus mendanainya, maka pada tahap ini sudah diperoleh ide, objek, pembeli dan crowfundernya.
Instansi mengusulkan program
SITCF kepada Kemenkeu
Agar program SITCF dapat dimonitor kualitas dan
pelaksanaanya maka instansi mengusulkan program SITCF untuk dilaksanakan,
didalam pengusulan tersebut dapat berupa proposal jual beli, dimana telah jelas
ide objek persediaan yang akan dibeli, siapa-siapa saja crowdfundernya sekaligus pembelinya. Tidak lupa mencantumkan harga
beli dan harga jual persediaan tanah yang akan menjadi Objek SITCF tersebut.
Agar program ini dapat berjalan sesuai aturan main maka program ini harus
menetapkan pula margin keuntungan yang jelas. Untuk kepentingan proyeksi
penerimaan negara dalam tulisan ini penulis mengusulkan margin keuntungan
sebesar 25% dari harga beli. Margin 25% ditetapkan dengan pertimbangan
pemerintah sebagai pemilik ide tapi dalam hal ini pemerintah bukan sebagai
pemilik dana, kemudian disisi lain program ini bertujuan untuk penerimaan
negara; serta agar menarik minat pegawai untuk membeli tanah persediaan
tersebut. Pada akhirnya pemilik ide dan crowdfunder
sekaligus pembeli sama-sama mendapatkan keuntungan.
Ada kesediaan/kesanggupan
mendanai dari crowdfunder
Dalam program SITCF ini pegawai negeri instansi harus bersedia dan sanggup membiayai dibuktikan dengan approval kredit dari Bank. Besaran plafond pendanaan kredit Bank adalah sebesar harga jual tanah tersebut ditambah biaya-biaya.
Gambar 2. Skema atau Mekanisme SITCF
Sumber: penulis
Kerjasama Perbankan dan Kementerian
Agraria-Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN)
Setelah terjadi kesepatan harja jual beli antara instansi dan pegawainya, maka selanjutnya bank memproses pencairan kredit pegawai, kemudian bank membayar transaksi pembelian dari instansi kepada pemilik tanah dengan membayarkan sebesar harga pembelian, selanjutnya selisih pencairan kredit dan harga pembelian menghasilkan keuntungan. Nilai keuntungan ini diserahkan kepada instansi untuk diteruskan menjadi penerimaan negara. Guna menjamin program jual beli tanah dalam SITCF ini, perlu dukungan Kementerian Agraria-Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) dalam hal proses pensertifikatan tanah.
3.
SITCF
Menjadi Sumber Penerimaan Negara Yang Lebih Menguntungkan
Dalam konteks pengelolaan aset negara,
kinerja pengelolaan aset negara dapat menjadi motor penggerak ekonomi sebagai
upaya pemulihan ekonomi nasional. Menurut Siregar,2018 Pengelolaan aset negara
dapat membantu penyehatan kondisi makro ekonomi Indonesia terutama penjualan
aset. Sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi tersebut program SITCF
merupakan variasi sumber penerimaan yang baru dan menguntungkan serta minim
resiko.
Ide proyek dalam SITCF akan didanai oleh crowdfunder yang tak lain adalah pegawai
instansi itu sendiri, hal ini juga sebagai bentuk solidaritas pegawai dan instansi
kementerian/lembaga untuk ikut membantu keuangan negara. Pendanaan proyek SITCF
telah didanai oleh crowdfunder
melalui Bank, hal ini menjadi baik karena tidak lagi membebani keuangan negara.
Dalam kondisi himpitan ekonomi akibat pandemi covid-19 ini, program-program
ekonomi kerakyatan sangat dibutuhkan. Melalui tangan SITCF harapannya transaksi
pembelian tanah rakyat, pencairan kredit perbankan, menjadi stimulus pergerakan
roda perekonomian. Selanjutnya diharapkan akan muncul aktifitas perekonomian
dari money multiplier effect yang ditimbulkan. Pembiayaan kredit dari SITCF
juga menjadi angin segar bagi perbankan yang saat ini sedang mengalami kelesuan
pencairan kredit[6]. Adanya
pencairan kredit diharapkan menjadi salah satu cara mendukung pemulihan ekonomi
nasional.
Crowdfunding
telah menjadi trend keuangan dunia, OJK[7]
telah menerbitkan peraturan terkait urun dana melalui internet. Penulis mencoba
mengadopsi dan mendekonstruksi model crowdfunding
untuk persediaan untuk dijual kembali.
KESIMPULAN DAN SARAN
State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF)
merupakan upaya pemerintah menghasilkan penerimaan negara dari ide perputaran
aset lancar berupa persediaan dengan mekanisme pembelian persediaan berupa
tanah untuk dijual kembali secara cepat kepada masyarakat dalam hal ini Pegawai
instansi pemerintah itu sendiri sekaligus sebagai crowdfunder (pemilik urun dana) untuk membiayai pembelian objek
tanah tersebut. Crowdfunder ini akan diback-up oleh bank sebagai fund recovery, yang membayar pembelian
tanah dan menyetorkan keuntungan kepada pemerintah. SITCF bertujuan mendapatkan
variasi sumber penerimaan negara dari pengelolaan aset yang dalam pelaksanaanya
membutuhkan ide-ide proyek untuk dijalankan. Perumusan ide ini akan mengasah
jiwa entrepreneurship instansi pemerintah
dalam menghasilkan penerimaan negara.
Dengan adanya dukungan crowdfunder melalui fasilitas perbankan, menjadikan program SITCF mandiri, tanpa didanai pemerintah, hal ini meringankan beban negara dan memungkinkan untuk dilaksanakan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ada banyak manfaat lain yang akan diperoleh pemerintah melalui tangan SITCF, harapannya transaksi pembelian tanah rakyat, pencairan kredit perbankan, menjadi stimulus pergerakan roda perekonomian. Untuk merealisasikan ide ini dibutuhkan kenginan dari Kementerian Keuangan untuk mengemas SITCF dalam sebuah program pemerintah, perlu dukungan aturan hukum, kontrak kerjasama dengan Perbankan dan Kementerian Agraria-Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) dalam hal proses pensertifikatan tanah. Dalam tulisan ini, penulis mengadopsi trend pendanaan crowdfunding yang telah didesign sesuai kebutuhan penerimaan negara dan kondisi keuangan negara.
Penulis:
Ashar Hamka (Kepala Seksi Piutang Negara)
Mewakili Keluarga Besar KPKNL BIAK
[1] Anggota Komisi XI DPR RI, dalam Rapat
Paripurna DPR RI, Juli 2020
[2] Media Indonesia.com
[3] Kontan.co.id
[4] Kompas.com
[5] PP
71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
[6] Bisnis.com, Industri Perbankan
Dihadapkan Pada Sejumlah Kerentanan di Masa Pandemi
[7] POJK Nomor 37/POJK.04/2018 tentang
Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi