Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Biak > Artikel
State Inventory Turnover Crowdfunding: Sebuah Ide Sumber Penerimaan Negara yang Baru
Mochamad Yearico
Rabu, 18 November 2020   |   507 kali

PENDAHULUAN 

Jumlah pendapatan negara bukan pajak yang diperoleh dari pengelolaan BMN dapat dikatakan masih rendah, menurut Puteri Anetta Komarudin[1], besarnya nilai total aset negara perlu dioptimalkan lagi pemanfaatannya untuk menambah pendapatan negara hingga akhir tahun ini. Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet[2] juga menilai penerimaan negara dari proporsi pemanfaatan BMN menurutnya memang masih kecil, kontribusi penerimaan negara berupa pemanfaatan BMN hanya di kisaran 2%. Ditinjau dari data Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pengelolaan BMN 3 tahun terakhir, memang menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, pada tahun 2017 sebesar Rp266,2 miliar, tahun 2018 sebesar Rp339,6 miliar dan tahun 2019 sebesar Rp551,2 miliar, sementara menurut informasi dari Direktur PKNSI, Purnama Sianturi[3], realisasi PNBP dari pemanfaatan BMN hingga 31 Agustus 2020 baru mencapai Rp 289 miliar, dan optimis tercapai 400miliar tahun ini, namun ketika kemudian angka realisasi ini dibandingkan dengan total aset terlebih jika dibandingkan dengan nilai BMN hasil revaluasi tahun 2017/2018 yang sebesar Rp5.000 triliun, maka rasio akan lebih kecil lagi.

Kita tidak dapat berharap banyak realisasi PNBP ini akan membaik tahun depan pasalnya Bank Dunia[4] memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan sebesar 4,8%, bahkan setelah direvisi, pertumbuhan ekonomi pada 2021 hanya berada di kisaran 3% hingga 4,4% Bank Dunia berdalih hingga saat ini Indonesia dinilai belum sukses dalam menangani pandemi Covid-19,  sementara dari dalam negeri menurut Kementerian Keuangan pertumbuhan ekonomi dalam RUU APBN 2021 ditargetkan sebesar 4,5%-5,5% saja.

 Hal tersebut justru menjadi tantangan Kemenkeu untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset dalam rangka meningkatkan PNBP. Perlu ide baru untuk merubah kondisi tersebut, diperlukan perubahan paradigma berpikir aparatur negara terhadap BMN, diperlukan entrepreneurship aparatur negara untuk mendongkrak penerimaan PNBP dari pemanfaatan BMN (Darnadi,2020). Jiwa entrepreneurship pemerintah tidak sekedar memberikan pelayanan namun sekaligus memikirkan penerimaan negara, agar bisa memberikan layanan yang lebih baik lagi.

Bagi seorang entrepreneurship ketika intensifikasi telah maksimal namun hasilnya tidak memuaskan maka diperlukan ekstensifikasi misalnya diversifikasi produk penjualan. Menurut Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji, menyarankan pemerintah agar sebaiknya segera melakukan diversifikasi pos penerimaan negara terlebih dalam masa resesi dampak pandemi Covid-19. Penerimaan negara dari pengelolaan BMN yang dominan dari pemanfaatan/penyewaan BMN aset tetap saja perlu ditambah variasi penerimaan baru yang lebih segar dan menjanjikan. Halim dalam bukunya telah menyarankan pemerintah untuk menggali potensi penerimaan negara dari pemanfaatan aset dan fasilitas penunjang; ekstensifikasi dilakukan dengan inventarisasi potensi jenis PNBP serta merealisasikan sumber-sumber pendapatan lain untuk peningkatan PNBP (Halim,2014).

Di dalam Aset Negara, BMN terdiri dari 3 kelompok yaitu Aset Lancar, Aset Tetap dan Aset lainnya, namun untuk pengelolaan aset lancar berupa persediaan, saat ini belum menjadi konsen atau fokus pemerintah untuk digarap agar menghasilkan penerimaan negara yang maksimal. Menurut KSAP[5], Persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.  Berdasarkan definisi tersebut sangat dimungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan pembelian dan penjualan persediaan sepanjang untuk mendukung operasional dan kinerja pemerintah untuk kemudian menghasilkan penerimaan negara dari penjualan persediaan.

Penerimaan negara dari hasil penjualan aset/barang/kekayaan negara pada umumnya berupa penjualan BMN yang telah rusak berat, penjualan Rampasan Kejaksaan, Tegahan Bea Cukai, Sitaan KPK dan Gratifikasi, namun penjualan persediaan yang secara khusus memang direncanakan dibeli untuk dijual kepada masyarakat dalam rangka mencari keuntungan atau sumber pendapatan negara, belum ada.

 

PEMBAHASAN 

Menyikapi permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis memandang perlu suatu ide baru penerimaan negara yang lebih menguntungkan, lebih variatif, serta mampu berkontribusi dalam upaya pemulihan ekonomi nasional, sekaligus suatu program yang memungkinkan untuk diaplikasikan, tidak membebani negara, disaat kondisi ekonomi sedang sulit. Penulis menggagas sebuah program pemerintah diversifikasi pengelolaan BMN, untuk memperoleh keuntungan dan sebagai sumber penerimaan bagi negara yaitu program dengan mekanisme pembelian persediaan kemudian dijual kembali secara cepat kepada masyarakat dalam program yang diberi nama State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF).

 

1.    Konsep State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF)

Istilah State Inventory Turnover atau Perputaran Aset Persediaan Negara diambil dalam teori pengelolaan persediaan yaitu kinerja persediaan yang diukur dari rasio perputaran persediaan (inventory turnover rasio). Menurut Zulbiadi,2018, inventory turnover adalah suatu rasio aktifitas keuangan yang digunakan untuk mengukur berapa kali perusahaan mampu menjual dan menggantikan persediaannya dalam satu periode tertentu, semakin tinggi nilainya maka itu berarti semakin cepat perusahaan tersebut dalam melakukan penjualan. State Inventory Turnover berbicara tentang bagaimana persediaan pemerintah yang dibeli dapat terjual dengan cepat, persediaan yang perputarannya baik maka akan menghasilkan margin penjualan yang cepat pula.

Disini dituntut jiwa entrepreneurship pemerintah merancang perputaran persediaan yang cepat yaitu menjual persediaan yang betul-betul dibutuhkan oleh pegawai sekaligus menguntungkan, dalam tulisan ini penulis mengusulkan penjualan persediaan berupa tanah. Tanah untuk perumahan, tanah untuk pertanian, tanah untuk perkebunan atau sekedar tanah untuk investasi cukup menarik untuk ditawarkan kepada pegawai. Tanah merupakan kebutuhan pokok pegawai negeri, dengan memiliki tanah dapat membangun masa depan, memiliki harapan kesejahteraan, dan semoga dapat menghasilkan performa yang terbaik bagi instansinya. Feedback dari pemenuhan kebutuhan mendasar ini diharapkan akhirnya dapat meningkatkan kinerja instansi pemerintah.

Pemerintah melakukan pembelian persediaan berupa tanah kemudian dijual kembali dengan cepat kepada masyarakat dalam hal ini pegawai, maka persediaan tanah yang dibeli hanyalah yang betul-betul telah siap dijual kepada pegawainya. Persediaan yang masuk akan segera keluar kembali, akan menimbulkan turnover yang sempurna sekaligus memberikan keuntungan kepada pemerintah dengan cepat pula. Skema pembelian persediaan tanah ini diakomodir dalam Standar Akuntasi Pemerintah dan dimungkinkan bagi pemerintah untuk melakukannya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pendanaan pembelian persediaan, agar tidak membebani pemerintah? Penulis mencoba mengadopsi suatu skema permodalan yang sedang trend yaitu skema urun dana atau crowdfunding. Crowdfunding terdiri dari 2 kata Crowd yang berarti kerumunan/sekumpulan orang, dan funding yang berarti pendanaan, menurut Oxford Dictionary dan Merriam-Webster Dictionary, crowdfunding atau Urun dana adalah praktik penggalangan dana dari sejumlah orang untuk memodali suatu proyek atau usaha. Crowdfunding merupakan skema pembiayaan yang dijuluki pendanaan demokratis, karena konsep dari crowdfunding adalah mengumpulkan dana dalam skala yang kecil tetapi berasal dari jumlah masyarakat yang besar sehingga terkumpul dana yang signifikan (Akbar,2019).

Gambar 1. What is Crowdfounding


Sumber: https://seo.co/crowdfunding 

Crowdfunding menjadi salah satu model pendanaan yang cepat yang berasaskan kepercayaan, model crowdfunding yang diusulkan penulis yaitu berasal dari masyarakat dalam hal ini Aparat Sipil Negara/Pegawai Negeri dari pemerintah itu sendiri, sebagai crowdfunder (pemilik urun dana) untuk membiayai ide proyek instansinya sekaligus pembeli objek SITCF atau pembeli persediaan tanah tersebut. Pegawai negeri memiliki kemampuan pendanaan yang cukup besar karena dapat meminta fasilitas kredit dari Bank, oleh karena itu dalam tulisan ini memprakarsai keterlibatan perbankan dalam skema SITCF. Hal ini menjadikan SITCF memiliki risiko yang kecil karena bekerjasama dengan perbankan sebagai fund recovery.

Sehingga penulis merumuskan bahwa konsep State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF) merupakan upaya pemerintah menghasilkan penerimaan negara dari ide perputaran aset lancar berupa persediaan dengan mekanisme pembelian persediaan berupa tanah untuk dijual kembali secara cepat kepada masyarakat (dhi. Pegawai) sekaligus sebagai crowdfunder (pemilik dana) untuk membiayai pembelian objek tanah tersebut. Crowdfunder ini akan diback-up oleh bank sebagai fund recovery, yang membayar pembelian tanah dan menyetorkan keuntungan kepada pemerintah. Dengan adanya perbankan sebagai fund recovery ini, maka pemerintah tidak perlu lagi mendanai proyek pembelian persediaan tanah tersebut. Selanjutnya pemerintah akan mendapatkan keuntungan dari transaksi jual beli tersebut sebagai penerimaan negara, selain itu pada saat yang sama SITCF membantu memenuhi kebutuhan hidup pegawai berupa kebutuhan akan tanah agar dapat memberikan kinerja yang baik. 

2.    Skema/mekanisme State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF)

Untuk menjalankan ide atau konsep SITCF ini perlu dikemas dalam suatu pogram khusus penerimaan negara bukan pajak dari pengelolaan aset lancar yaitu persediaan berupa tanah untuk dijual kepada masyarakat. Penulis mendesign beberapa aturan main dalam program tersebut berdasarkan teori persediaan dan teori crowdfunding yang dipahami. 

Adanya ide program berupa objek Persediaan tanah

Di dalam crowdfunding, pemilik proyek harus memiliki ide bisnis yang akan ditawarkan kepada crowdfunder. Instansi pemerintah/Kementerian lembaga wajib memiliki ide rencana bisnis, yaitu objek tanah yang akan dibeli untuk dijual kembali. Dalam membangun ide ini agar dapat terjadi turnover maka harus sesuai dengan keinginan calon pembelinya. Untuk menyusun ide proyek, Instansi dapat membuka masukan dari pegawainya lokasi tanah yang bisa diusulkan untuk program SITCF, misalnya satu lokasi tanah dekat kantor seluas 500m2 cocok untuk dibeli oleh instansi untuk kemudian dijual kepada pegawai secara kapling/dibagi kedalam beberapa petak. Agar ide ini dapat berjalan harus dipastikan terdapat crowfunder (pemilik dana) yang bersedia/mampu mendanai yaitu pegawai yang berminat urun dana membeli tanah tersebut, misalnya terdapat 5 orang pegawai berminat membeli sekaligus mendanainya, maka pada tahap ini sudah diperoleh ide, objek, pembeli dan crowfundernya. 

Instansi mengusulkan program SITCF kepada Kemenkeu

Agar program SITCF dapat dimonitor kualitas dan pelaksanaanya maka instansi mengusulkan program SITCF untuk dilaksanakan, didalam pengusulan tersebut dapat berupa proposal jual beli, dimana telah jelas ide objek persediaan yang akan dibeli, siapa-siapa saja crowdfundernya sekaligus pembelinya. Tidak lupa mencantumkan harga beli dan harga jual persediaan tanah yang akan menjadi Objek SITCF tersebut. Agar program ini dapat berjalan sesuai aturan main maka program ini harus menetapkan pula margin keuntungan yang jelas. Untuk kepentingan proyeksi penerimaan negara dalam tulisan ini penulis mengusulkan margin keuntungan sebesar 25% dari harga beli. Margin 25% ditetapkan dengan pertimbangan pemerintah sebagai pemilik ide tapi dalam hal ini pemerintah bukan sebagai pemilik dana, kemudian disisi lain program ini bertujuan untuk penerimaan negara; serta agar menarik minat pegawai untuk membeli tanah persediaan tersebut. Pada akhirnya pemilik ide dan crowdfunder sekaligus pembeli sama-sama mendapatkan keuntungan. 

Ada kesediaan/kesanggupan mendanai dari crowdfunder

Dalam program SITCF ini pegawai negeri instansi harus bersedia dan sanggup membiayai dibuktikan dengan approval kredit dari Bank. Besaran plafond pendanaan kredit Bank adalah sebesar harga jual tanah tersebut ditambah biaya-biaya.

Gambar 2. Skema atau Mekanisme SITCF

Sumber: penulis 

Kerjasama Perbankan dan Kementerian Agraria-Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN)

Setelah terjadi kesepatan harja jual beli antara instansi dan pegawainya, maka selanjutnya bank memproses  pencairan kredit pegawai, kemudian bank membayar transaksi pembelian dari instansi kepada pemilik tanah dengan membayarkan sebesar harga pembelian, selanjutnya selisih pencairan kredit dan harga pembelian menghasilkan keuntungan. Nilai keuntungan ini diserahkan kepada instansi untuk diteruskan menjadi penerimaan negara. Guna menjamin program jual beli tanah dalam SITCF ini, perlu dukungan Kementerian Agraria-Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) dalam hal proses pensertifikatan tanah. 

3.    SITCF Menjadi Sumber Penerimaan Negara Yang Lebih Menguntungkan

Dalam konteks pengelolaan aset negara, kinerja pengelolaan aset negara dapat menjadi motor penggerak ekonomi sebagai upaya pemulihan ekonomi nasional. Menurut Siregar,2018 Pengelolaan aset negara dapat membantu penyehatan kondisi makro ekonomi Indonesia terutama penjualan aset. Sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi tersebut program SITCF merupakan variasi sumber penerimaan yang baru dan menguntungkan serta minim resiko.

Ide proyek dalam SITCF akan didanai oleh crowdfunder yang tak lain adalah pegawai instansi itu sendiri, hal ini juga sebagai bentuk solidaritas pegawai dan instansi kementerian/lembaga untuk ikut membantu keuangan negara. Pendanaan proyek SITCF telah didanai oleh crowdfunder melalui Bank, hal ini menjadi baik karena tidak lagi membebani keuangan negara. Dalam kondisi himpitan ekonomi akibat pandemi covid-19 ini, program-program ekonomi kerakyatan sangat dibutuhkan. Melalui tangan SITCF harapannya transaksi pembelian tanah rakyat, pencairan kredit perbankan, menjadi stimulus pergerakan roda perekonomian. Selanjutnya diharapkan akan muncul aktifitas perekonomian dari money multiplier effect yang ditimbulkan. Pembiayaan kredit dari SITCF juga menjadi angin segar bagi perbankan yang saat ini sedang mengalami kelesuan pencairan kredit[6]. Adanya pencairan kredit diharapkan menjadi salah satu cara mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Crowdfunding telah menjadi trend keuangan dunia, OJK[7] telah menerbitkan peraturan terkait urun dana melalui internet. Penulis mencoba mengadopsi dan mendekonstruksi model crowdfunding untuk persediaan untuk dijual kembali. 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

State Inventory Turnover Crowdfunding (SITCF) merupakan upaya pemerintah menghasilkan penerimaan negara dari ide perputaran aset lancar berupa persediaan dengan mekanisme pembelian persediaan berupa tanah untuk dijual kembali secara cepat kepada masyarakat dalam hal ini Pegawai instansi pemerintah itu sendiri sekaligus sebagai crowdfunder (pemilik urun dana) untuk membiayai pembelian objek tanah tersebut. Crowdfunder ini akan diback-up oleh bank sebagai fund recovery, yang membayar pembelian tanah dan menyetorkan keuntungan kepada pemerintah. SITCF bertujuan mendapatkan variasi sumber penerimaan negara dari pengelolaan aset yang dalam pelaksanaanya membutuhkan ide-ide proyek untuk dijalankan. Perumusan ide ini akan mengasah jiwa entrepreneurship instansi pemerintah dalam menghasilkan penerimaan negara.

Dengan adanya dukungan crowdfunder melalui fasilitas perbankan, menjadikan program SITCF mandiri, tanpa didanai pemerintah, hal ini meringankan beban negara dan memungkinkan untuk dilaksanakan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ada banyak manfaat lain yang akan diperoleh pemerintah melalui tangan SITCF, harapannya transaksi pembelian tanah rakyat, pencairan kredit perbankan, menjadi stimulus pergerakan roda perekonomian. Untuk merealisasikan ide ini dibutuhkan kenginan dari Kementerian Keuangan untuk mengemas SITCF dalam sebuah program pemerintah, perlu dukungan aturan hukum, kontrak kerjasama dengan Perbankan dan Kementerian Agraria-Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) dalam hal proses pensertifikatan tanah. Dalam tulisan ini, penulis mengadopsi trend pendanaan crowdfunding yang telah didesign sesuai kebutuhan penerimaan negara dan kondisi keuangan negara. 

Penulis: Ashar Hamka (Kepala Seksi Piutang Negara)

Mewakili Keluarga Besar KPKNL BIAK


[1] Anggota Komisi XI DPR RI, dalam Rapat Paripurna DPR RI, Juli 2020

[2] Media Indonesia.com

[3] Kontan.co.id

[4] Kompas.com

[5] PP 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah

[6] Bisnis.com, Industri Perbankan Dihadapkan Pada Sejumlah Kerentanan di Masa Pandemi

[7] POJK Nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini