Definisi korupsi menurut sudut pandang Transparency International sebagai lembaga nonpemerintah berskala internasional, ialah sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Transparency International juga menambahkan, korupsi mengikis kepercayaan, melemahkan demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi dan semakin memperburuk ketidaksetaraan, kemiskinan, perpecahan sosial dan krisis lingkungan.[1] Sementara dari sisi hukum positif di Indonesia, korupsi merupakan suatu tindak pidana, yang berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang kemudian mengalami perubahan lagi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 adalah:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Pemerintah Republik Indonesia sangat serius menyikapi pemberantasan korupsi di bumi pertiwi dengan melakukan berbagai upaya salah satunya yakni babak baru pemberantasan korupsi pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 70/PUU-XVII/2019, diharapkan dapat menjawab dengan menekan perkembangan berbagai modus korupsi. Korupsi tak hanya suatu tindak pidana/kejahatan yang merugikan keuangan Negara belaka namun dampaknya menghambat laju program-program pemerintah baik daerah maupun pada tingkat pusat, bahkan tak terbatas pada sektor pemerintahan, namun juga pada pihak swasta, sehingga laju pendidikan, kesehatan, perekonomian dan pembangunan Nasional terhambat.
Masih maraknya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial danhak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana Korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.[2] Maka tak berlebihan jika korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dalam Sasaran Pokok Pembangunan Nasional RPJMN 2020-2024 Bidang Penegakan Hukum, disebutkan bahwa Target Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) pada 2021 sebesar 4,03; dan pada 2024 sebesar 4,14 dariskala 0-5.[3] Makna Indeks Perilaku Antikorupsi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik melalui bahan tayang tanggal 15 Juni 2021 itu ialah semakin angka indeksnya mendekati skala nilai 5, maka masyarakat cenderung semakin bersikap antikorupsi, serta sebaliknya jika angka indeksinya mendekati skala nilai 0 maka masyarakat cenderung semakin permisif terhadap korupsi.
Dari IPAK itu, mengingatkan masyarakat bahwa tugas dan tanggung jawab dalam memerangi/menanggulangi korupsi bukan semata tugas dan kewenangan KPK belaka, namun ada peran mulai dari tiap individu, keluarga, pendidikan formil, lingkungan sosial masyarakat, sektor swasta, hingga instansi pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Terlebih bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang notabene sebagai perekat bangsa, penyambung komunikasi bagi program-program pemerintahan baik daerah maupun pusat kepada sendi-sendi dalam masyarakat, mempunyai peran dan tanggung jawab vital dalam hal memerangi korupsi dalam arti sempit/KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dalam arti luas. Aturan main terkait hal itu (yang meliputi asas, prinsip, nilai disar, serta kode etik dan kode perilaku) ASN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Jika menelaah Negara-negara maju dalam memerangi korupsi, semisal Jerman yang merupakan salah satu Negara maju dari benua biru. Jurus-jurus/strategi Jerman dalam mencegah dan memerangi korupsi, terlihat dalam seminar daring bertajuk German Federal Foreign Office in preventing and Fighting Corruption: Analyzing areas particularly vulnerable to corruption yang telah dilaksanakan tanggal 17Juni 2021. Kegiatan yang dimotori oleh Kementerian Luar Negeri Federal Jerman itu, menampilkan pemaparan yang disampaikan oleh Jan Steffen Schubert dan Mangartz. Kantor Kementerian Luar Negerinya telah menyoroti tentang konsekuensi negatif yang utama dari korupsi di antaranya ialah:
Dari konsekuensi-konsekuensi itu, pemerintah Kemenlu Jerman pun menganalisis beberapa faktor-faktor yang menimbulkan potensi korupsi, yakni:
Sedangkan faktor-faktor yang menimbulkan potensi korupsi dalam misi Jerman di Luar Negeri, ialah:
a. korupsi
yang meluas di negara tuan rumah;
b. lemahnya
akuntabilitas kelembagaan dan pejabat;
c. kegagalan staf lokal/daerah untuk menerapkan peraturan;
d. ketergantungan pada staf yang dipekerjakan secara lokal (hambatan bahasa).[6]
Jerman pun melarang para ASN-nya melalui hukum pidana yaitu dilarang menerima hadiah atau hadiah sehubungan dengan tugas staf layanan publik atau kegiatan resmi dan larangan menerima suap sebagai imbalan atas tindakan resmi. Sehingga akan ada ganjaran bagi ASN Jerman yang melanggar, yaitu
Larangan-larangan itu tak ubahnya semacam batasan-batasan terhadap perilaku ASN di Jerman dalam melaksanakan tugas pelayanan publiknya. Hal itu sebagaimana Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Kepegawaian Federal, atau BBG, dan Pasal 3 (2) Perjanjian Bersama untuk Umum Layanan, atau TVD). Kemudian serupa dengan hal itu, ASN di Indonesia pun selain tunduk pada Undang-Undang ASN yang telah diulas di atas, juga terkait dengan disiplin ASN telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Hasil analisa mereka terhadap area yang paling rentan berpotensi terjadinya korupsi di Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman Jerman (berisi sebagian dari pekerjaan), di antaranya meliputi:
Dari hasil pemetaan terhadap area paling rentan terjadi korupsi itu dapat membantu pemerintahan Jerman dalam mendalami, menanggulangi, dan mencegah tindakan korupsi secara lebih fokus pada area/bidang tersebut. Jerman melakukan langkah-langkah organisasi dan administrasi untuk mencegah korupsi dengan cara:
Lebih mendalam lagi, mereka juga mengupayakan penguatan sistem politik yang antikorupsi, terdiri dari:
Selain menguatkan dari sistem politiknya,Jerman juga menentukan sikapnya dalam hal memerangi korupsi, yaitu:
a. Memastikan akses yang sama terhadap layanan dan hak-hak dasar, bahwa korupsi terus-menerus menyangkal;
b. kerjasama multilateral dan internasional untuk mengatasi korupsi, hanya dengan bergabung kita dapat efektif dalam misi ini;
c. memerangi korupsi, tetapi juga menegakkan hak asasi manusia;
d. keterlibatan aktor non-negara (misalnya semacam lembaga nonpemerintahan/LSM/lembaga nonprofit) dan masyarakat sipil yang mencegah dan memberantas korupsi;
e. sangat penting untuk mencapai semua "Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB(SDG16)";
f. memerangi arus keuangan ilegal (IFFs), sesuai dengan standar internasional untuk anti pencucian uang dan memerangi pendanaan terorisme (AML / CFT) seperti Rekomendasi "Financial Action Task Force (FATF)".[10]
Dari berbagai analisa dan rentetan upayaJerman yang dalam hal ini Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman Jerman, pesan/pelajaran kunci yang disuguhkan oleh mereka ialah:
Baik Republik Indonesia maupun Republik Federal Jerman, masing-masing mempunyai jurus strategi dalam menanggulangi, memerangi, bahkan mencegah korupsi. Tentunya masing-masing memiliki corak kekhasannya tersendiri. Mulai dari bentuk kenegaraannya, mazhab hukumnya, pendidikan dan teknologinya, sosial budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya, hingga kiat-kiat implementasi yang ditempuh untuk menekan korupsi. Namun tujuannya tetap sama yakni memerangi korupsi, untuk menjaga ketertiban peradaban sosioglobal. Sokongan upaya pemberantasan korupsi rasanya harus dibantu juga dengan upaya pencegahan tindakan korupsi, karena bagaimana pun, lebih baik mencegah terjadinya tindak pidana korupsi daripada harus menanggung beban kompleks yang multidimensional akibat dari telah terjadinya tindak pidana korupsi. Menyimak pandangan Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman yang mengantongi pesan kunci salah satunya ialah internalisasi Nilai. Menginternalisasi seperangkat nilai untuk setiap subjek dalam suatu organisasi & mengambil pendekatan dalam membangun kepercayaan kepada publik, menjadi suatu yang termasuk vital. Mengingat Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki nilai luhur yang harus kita pertahankan serta implementasikan, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta sebagai ASN, dalam hal ini Penulis fokuskan lingkup Kementerian Keuangan RI, mempunyai Nilai-nilai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
[1] https://www.transparency.org/en/what-is-corruption,diakses pada hari Selasa 07 Desember 2021, pukul 11.25
[2] Bab.I Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[3]Bahan Tayang “Berita Resmi Statistik”, hlm. 33, Badan Pusat Statistik, 15 Juni 2021.
[4] Mangartz,“Corruption Prevention at the German Foreign Office”, bahan tayang hlm. 7 dipresentasikan 17 Juni 2021 dalam seminar daring German Federal Foreign Office inpreventing and Fighting Corruption: Analyzing areas particularly vulnerable tocorruption, Jerman.
[6]Ibid., hlm. 12.
[7]Ibid., hlm. 10.
[8]Ibid., hlm. 21.
[9]Jan Steffen Schubert, “Combatting Corruption on international level: An essential part of Germany‘s Foreign Policy”, bahan tayang hlm. 2-3 dipresentasikan daring 17 Juni2021 pada German Federal Foreign Office in preventing and Fighting Corruption: Analyzing areas particularly vulnerable to corruption: Jerman.
[10] Ibid.,hlm. 6-7.
[11]Mangartz, Op.Cit., hlm. 25.
Oleh: Agung Prasetya (KPKNL Banda Aceh)
Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.