Dalam
membangun penguatan integritas pegawai, KPKNL Balikpapan menyelenggarakan
kegiatan sosialisasi antikorupsi secara daring pada hari Rabu (06/04).
Dinarasumberi
oleh Dimas Imam Apriliawan, Kepala
Seksi Piutang Negara I Kanwil DJKN Riau, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau, serta
Mega Silvia Fahriani, Pelaksana Bagian
Organisasi dan Kepatuhan Internal Kantor Pusat DJKN, dalam peran keduanya
sebagai Penyuluh Antikorupsi, serta Doan Octanary, Pelelang Ahli Muda KPKNL
Balikpapan sebagai moderator, kegiatan sosialisasi kali ini mengangkat topik
seputar antikorupsi dan jabatan Penyuluh Antikorupsi.
Yoshua Wisnungkara,
Kepala KPKNL Balikpapan dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebagai orang yang
memiliki nilai dan budaya, dalam hal menanamkan budaya anti korupsi, jika kita
tidak membicarakannya, merenungkannya hingga mempraktikkannya, maka nilai dan
budaya tersebut tidak akan hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. Sejalan
dengan motto KPKNL Balikpapan, yaitu ‘Integritas Identitas Kami’, maka
jika semangat yang tersurat dalam motto ini tidak ditumbuhkan dan menjadi
sesuatu yang kita pegang teguh, maka hanya akan menjadi jingle semata
dan tidak akan hidup.
Selanjutnya
dalam sesi pemaparan, dijelaskan oleh Dimas, bagaimana korupsi didefinisikan
menurut peraturan perundang-undangan hingga dasar hukum yang mengatur tentang
pemberantasan korupsi di Indonesia. Terdapat 30 delik tindak pidana korupsi
sebagaimana yang tercantum dalam UU No.31 Th 1999 jo. UU Nomor 20 Th.2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbicara
tentang korupsi, maka erat kaitannya dengan tindakan pemerasan, suap dan
gratifikasi. Namun perlu dicermati bahwa terdapat perbedaan antara ketiga
tindakan tersebut. Dimana gratifikasi ini berhubungan dengan jabatan dan
bersifat insentif atau tanam budi, dan tidak membutuhkan kesepakatan oleh kedua
belah pihak. Di sisi lain, tindakan suap mengacu pada sifatnya yang
transaksional, yaitu memberikan sesuatu dengan janji atau timbal balik.
Sementara itu ,pemerasan adalah sesuatu yang sifatnya sepihak dan memaksa serta
menjadi salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Disampaikan
oleh narasumber, berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia berada di
peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei, dengan skor 37. Ini menjadi PR
bagi kita semua, terutama sebagai penyelenggara negara untuk berpartisipasi dan
meningkatkan awareness akan budaya anti korupsi.
Berbagai
faktor dianalisis menjadi penyebab terjadinya korupsi, beberapa diantaranya
yaitu keserakahan, kesempatan, kebutuhan, kekuasaan dan monopoli yang tidak
dibarengi dengan akuntabilitas.
Selain itu, dampak
negatif korupsi dapat dirasakan dalam berbagai aspek mulai dari ekonomi hingga
sosial. Korupsi juga membebani APBN melalui pembiayaan penanganan perkara atas
tindakan korupsi tersebut. Semakin besar nilai dan banyaknya kasus korupsi yang
terjadi, tentunya akan semakin memberikan kerugian bagi negara. Dengan total
nilai korupsi yang tercatat dari tahun 2004-2019 sebesar Rp 168 T, nilai ini
diperkirakan setara dengan pembangunan 195 ribu unit sekolah atau dana
perbaikan jalan sepanjang 21.313 km hingga dapat digunakan untuk pembiayaan
Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk 3,36 juta keluarga dengan nilai kredit per
keluarga sebesar Rp 5 juta.
Mengacu pada
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2020 di Indonesia yang tercatat dengan
nilai indeks 3,84 dengan tren yang terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya,
menunjukkan semakin banyak masyarakat Indonesia yang ingin berpartisipasi dalam
menggelorakan budaya anti korupsi.
Bermacam usaha
dan cara dibangun untuk mencegah dan menentang korupsi. Membuat tindak pidana
korupsi menjadi tindakan berisiko tinggi namun memberi hasil sedikit, serta
memastikan jangan sampai korupsi terjadi dan bukan mengandalkan sanksi hukum
setelah korupsi terjadi adalah tujuan akhir yang ingin diraih. Integrasi sistem
pemberantasan korupsi mulai dari pilar-pilar instansi dan kelembagaan dalam
pemerintahan hingga masyarakat secara umum tentunya akan semakin memperkuat
sikap maupun budaya anti korupsi.
“Sayangnya, di
Indonesia saat ini, korupsi seperti jaring laba-laba yang menyelinap ke
sudut-sudut rumah, hingga ke ruangan-ruangan kantor, dan bisa menghisap jiwa-jiwa
yang bersih sekalipun” ungkap Silvia.
Nilai-nilai
anti korupsi harus dipegang dan ditanamkan dalam diri setiap individu. Jujur,
disiplin, tanggung jawab, bersikap adil, peduli dan berani serta mandiri,
sederhana, dan kerja keras menjadi perwujudan sikap yang harus dibangun.
Dijelaskan
oleh Silvia, terdapat tiga strategi yang dapat dibangun dalam pemberantasan
korupsi, yaitu strategi represif melalui pengaduan masyarakat. Strategi
represif muncul agar orang takut melakukan korupsi. Selanjutnya, melalui srategi
perbaikan sistem agar orang tidak bisa melakukan korupsi, serta strategi
edukasi dan kampanye agar orang tidak mau melakukan korupsi.
Sebagai bentuk
implementasi strategi tersebut, berbagai layanan pengaduan masyarakat
disediakan agar masyarakat semakin mudah
berpartisipasi menginformasikan indikasi tindakan korupsi. Melalui berbagai
aplikasi layanan pengaduan, mulai dari tautan lapor.go.id hingga
wise.kemenkeu.go.id maupun call center layanan informasi KPK 198 sebagai
tautan utama yang dapat digunakan unuk menyampaikan pengaduan masyarakat salah
satunya terkait indikasi adanya dugaan korupsi.
Sebagai salah
satu yang berperan dalam mengedukasi sikap anti korupsi, sejak tahun 2016 KPK
menyelenggarakan sertifikasi Penyuluh Anti Korupsi. Dengan lebih dari 1330
orang di seluruh Indonesia dari beragam profesi tercatat sebagai Penyuluh
Antikorupsi di Indonesia. Disampaikan oleh Silvia, bahwa penyuluh antikorupsi
menjadi salah satu peran yang dapat menjadi obor, motor, dan katalisator untuk
menjaga dan merawat integritas diri sendiri hingga ke lingkup yang lebih luas,
sehingga kita tidak menjadi pelaku maupun korban dari korupsi, dan tidak
terintimidasi oleh lingkungan yang koruptif.
Terkait
keikutsertaan menjadi Penyuluh Antikorupsi, pengajuan sertifikasi Penyuluh
Antikorupsi ini dapat diikuti melalui tautan www.aclc.kpk.go.id melalui opsi
jalur pengalaman, diklat maupun mata kuliah.
Melawan
korupsi tentu dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan yang dihadapi
salah satunya terkait mengubah cara berpikir. Bagaimana mengubah mindset bahwa
korupsi bukan budaya, memahami bahwa korupsi adalah untuk dibasmi dan merupakan
suatu kejahatan yang luar biasa. Berani menegur dan mengingatkan seseorang yang
melakukan tindakan korupsi juga menjadi suatu tantangan tersendiri. Melawan
rasa takut demi suatu kebenaran tentu bukan hal yang mudah bagi banyak orang.
Namun keberanian melawan arus negatif ini akan membawa dampak perubahan besar
yang positif. Tentu kita ingin bangsa ini memiliki budaya yang baik, salah
satunya dengan ditanamkannya budaya antikorupsi. (wew/hi)