A. Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Dewasa ini,
korupsi sudah menjadi hal yang biasa kita lihat dalam berita di media massa,
baik cetak maupun online. Bahkan yang
lebih parah, korupsi sudah menjadi hal yang disepelekan oleh masyarakat padahal
faktanya korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang dikelompokkan dalam
kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Dikatakan sebagai kejahatan luar biasa karena korupsi bukan hanya kejahatan
yang merugikan uang negara, tetapi dapat berdampak pada seluruh program
pembangunan, kualitas pendidikan menjadi rendah, kualitas bangunan menjadi
rendah, mutu pendidikan jatuh, serta kemiskinan tidak tertangani.
Tindak pidana
korupsi telah ada sejak lama dengan berbagai metode dan modus operandi yang
digunakan yang telah bertransformasi seiring dengan perkembangan zaman, namun
tak menghilangkan makna dasar dari tindak pidana korupsi itu sendiri, yaitu
perbuatan curang yang merugikan keuangan negara. Korupsi pada saat ini dianggap
sudah biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit membedakan
mana perbuatan korup mana perbuatan tidak korup. Perbuatan korup tersebut tentu
saja menimbulkan kerugian negara dan jika tidak diberantas akan memberikan
dampak negatif terhadap kehidupan bernegara.
Pemberantasan
korupsi di Indonesia dilakukan oleh 3 lembaga negara, yaitu Kejaksaaan,
Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan beberapa instansi anti korupsi lainnya, namun faktanya Indonesia sebagai
salah satu negara dengan populasi penduduk tertinggi keempat di dunia menempati ranking 96 dengan skor 38 dari skala 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021. Pemberantasan korupsi di satu negara
tidak akan berjalan optimal apabila tidak didukung political will
pemerintah untuk memberantas korupsi, kesatuan lembaga negara yang memberantas
korupsi, dan penegakan peraturan pemberantasan korupsi yang ada.
2. Dasar
Hukum Pemberantasan Korupsi
i. TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
ii. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN;
iii. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
iv. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
v. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
vi. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang;
vii. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018
tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi;
viii. Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020
tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
ix. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019
tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan
Tinggi.
B. Isi
Korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu Corruptio dari kata kerja corrumpere bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, maling) ialah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil, serta pihak
lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik dan masyarakat yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (untuk selanjutnya disingkat UU Pemberantasan Tipikor), korupsi adalah tindakan
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang
berakibat merugikan negara atau perekonomian negara.
Gratifikasi dan
suap merupakan bagian dari 30 (tiga puluh) delik yang diatur pada UU Pemberantasan Tipikor. Gratifikasi dan suap memiliki
makna yang hampir sama, namun tetap memiliki perbedaan yang khas. Pengertian
mengenai gratifikasi dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor, yaitu: “Yang dimaksud dengan
“gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian
dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan (fee), hadiah uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Misalnya setelah pelaksanaan lelang,
pemohon lelang memberikan uang terima kasih dan ini berlangsung setiap kali
pelaksanaan lelang selesai, dengan tujuan agar pada hari-hari mendatang pemohon dalam urusan pelaksanaan lelang
diprioritaskan. Namun terdapat pengecualian dalam UU Pemberantasan Tipikor Pasal 12C ayat (1), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat
(1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK.
Pasal 12B ayat (1) UU
Pemberantasan Tipikor memberikan pengertian bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Bahwa
suap adalah pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajiban kewenangan dalam jabatan, misalnya satuan
kerja menyuap penilai pemerintah agar nilai wajar BMN lebih rendah dari yang
seharusnya, agar BMN dapat dimanfaatkan atau dipindahtangankan dengan harga
seminimal mungkin.
Sesuai dengan
Pasal 12 huruf E UU Pemberantasan
Tipikor, pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan,
dan dengan kekuasaannya itu memaksa
orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya.
Dampak dari
tindak pidana korupsi memberikan kerugian pada masyarakat yaitu pelayanan
publik yang tidak membaik, pelayanan kesehatan yang mahal, biaya pendidikan
yang mahal, kemiskinan meningkat hingga naikknya besaran pajak setiap tahunnya.
Dampak tersebut disebabkan karena terjadi mis-alokasi sumber daya yang
seharusnya dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dampak negatif
korupsi ini menimbulkan kerugian yang disebut biaya sosial korupsi. Biaya
sosial korupsi bisa diartikan sebagai dampak kerugian dari perilaku korupsi
yang membebani keuangan negara. Dampak ini timbul bukan hanya sebatas nominal
uang yang dikorupsi, tapi segala biaya yang harus dibayar negara karena
perilaku korupsi tersebut. Biaya ini termasuk ongkos pencegahan korupsi, proses
hukum pelaku korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan,
bahkan biaya untuk menghidupi koruptor di penjara.
C. Penutup
Tindak pidana
korupsi memberikan dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
namun tetap dapat dicegah dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. KPK
merilis 9 (sembilan) nilai-nilai antikorupsi yang bisa mencegah terjadinya
tindak korupsi. Kesembilan nilai itu adalah integritas, jujur, peduli, mandiri,
sederhana, disiplin, bertanggung jawab, kerja keras, adil, dan berani. Kesembilan
nilai tersebut harus dimiliki oleh semua orang untuk mencegah korupsi.
Penerapan nilai-nilai ini tidak hanya baik bagi diri sendiri, namun juga untuk
masa depan bangsa ke depannya. Maka dari itu, nilai-nilai antikorupsi mesti
ditanamkan dan dilatih semenjak dini untuk melahirkan generasi baru yang lebih
bersih dari korupsi.
Daftar Bacaan:
2.
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk
3.
https://aclc.kpk.go.id/action-information/exploration/20220617-null
4.
https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/download/32712/21642
5.
https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia
6.
https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
7.
https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/infografis/hubungan-antara-dampak-korupsi-dan-biaya-sosial-korupsi
9.
https://aclc.kpk.go.id/action-information/lorem-ipsum/20220517-null
Penulis Diyara Eninta Br. Sitepu, Pelaksana Seksi
PKN II Kanwil DJKN Sumatera Utara