Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat > Artikel
Tour de Celebes II: Trip to Ollon
Charles Jimmy
Selasa, 14 Maret 2023   |   1246 kali

Penulis: Ertri Lesmana & Khoirul Umam, Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara


Tour de Celebes adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan kami berkeliling Sulawesi Selatan. Setelah Tour de Celebes I menempuh bagian selatan dengan rute Makassar-Bulukumba-Bone, tour kedua ini kami agendakan ke Tana Toraja. Perjalanan ini menjadi darmawisata yang paling kami nantikan selaku penikmat touring kendaraan bermotor roda dua. Pasalnya, penjelajahan ini merupakan puncak petulangan kami di Bumi Celebes bagian utara.  Tour kali ini kami agendakan bukan untuk mengunjungi wisata Toraja pada umumnya seperti Buntu Burake, Negeri di atas awan (Lolai), ataupun Londa dan Kete Kesu, melainkan ke satu tempat istimewa yang dikenal dengan Lembah Ollon, lembah tersembunyi pemanja mata penyejuk hati.


Lembah ini tidak banyak yang tahu, dan tidak banyak orang yang pernah berkunjung ke sana, termasuk masyarakat Toraja sendiri. Salah satu alasannya adalah lokasi yang jauh, terpencil, dan juga akses yang terbatas. Bagi kami, ini justru menjadi tantangan tersendiri untuk menjelajah.


Rencana perjalanan kami susun sejak H-14, dengan memanfaatkan rencana penugasan di Kota Parepare. Kesempatan ini kami ambil untuk menuntaskan hobi touring kami yang sempat tertunda selama beberapa bulan. Rute kali ini adalah menyusuri pantai barat kaki Sulawesi Selatan sampai di Kabupaten Tana Toraja (Tator), lalu kembali ke Makassar melalui Kota Palopo terus ke selatan melalui Kabupaten Soppeng ke Kecamatan Camba di Kabupaten Maros yang berada dalam Kawasan Geopark Maros-Pangkep. Oiya, sebagai pelengkap informasi, kawasan Geopark Maros-Pangkep pada tahun 2022 telah ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGG) loh.


Selesai menuntaskan tugas selama dua hari penuh di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), hari Jumat (3/3) kami bersiap untuk perjalanan ke Makale, Tator. Setelah menyampaikan laporan tugas pedampingan kepada Kepala KPKNL Parepare serta memastikan seluruh hasil telah ditindaklanjuti, kami pun pamit dan dilepas langsung oleh kepala kantor beserta jajaran. Berasa seperti pelepasan kontingen resmi.


Perjalanan menuju Tator sejauh 146 km kami lalui melintasi ruas jalan Parepare-Pinrang, kemudian berbelok menuju ruas Pinrang-Kabere-Enrekang. Rute ini lebih singkat dan memiliki lajur yang lebih lebar dengan volume lalu lintas yang relatif rendah bila dibandingkan dengan ruas Parepare-Sidrap. Ruas Pinrang-Kabere ternyata masih dalam perbaikan yang sudah rampung 70%, menyisakan ruas akhir yang terdiri dari tiga jembatan yang masih dalam tahap pembangunan dengan sistem buka tutup.


Perjalanan kami lanjutkan melalui jalan berkelok dan relatif rusak di beberapa titik, sehingga memerlukan konsentrasi ekstra untuk tidak melibas kubangan yang dapat membahayakan pengendara. Jauhnya perjalanan membuat kami dilanda rasa kantuk. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di warung penduduk tepi jalan sembari memesan kopi (sekaligus melakoni misi mensejahterakan usaha mikro setempat), tidak jauh dari pusat kota Enrekang.


Mengutip dari Wikipedia, daerah ini dulu dikenal dengan sebutan Massenrempulu yang berarti menyusur gunung. Sedangkan Enrekang berasal dari kata Endeg yang artinya panjat. Hal ini sejalan dengan karakteristik wilayah yang ±85% terdiri dari pegunungan dan perbukitan yang sambung menyambung. Adapun gunung yang terkenal di wilayah ini dan termasuk dalam Seven Summit Indonesia ialah Gunung Latimojong dengan puncaknya Rante Mario yang berada pada ketinggian 3.478 mdpl. Melewati Kota Enrekang, kami melanjutkan perjalanan menuju Tator melalui ruas Enrekang-Makale dan singgah sejenak menikmati lukisan alam, Gunung Nona.


Mengingat telah mendekati waktu ibadah, kami pun melipir ke masjid terdekat untuk menunaikan ibadah Sholat Jumat, sekaligus meregangkan badan setelah hampir empat jam berada di atas kuda besi berikut goyangan dan bantingannya.


Perjalanan kami lanjutkan selama kurang lebih satu jam sebelum akhirnya tiba di perbatasan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Tator. Di titik ini terdapat bahu jalan yang cukup lebar yang bisanya digunakan oleh para wisatawan untuk mengabadikan momen perjalanan karena ke-khas-an yang dimiliki, yaitu gerbang batas kota berwujud Tongkonan (rumah khas Toraja) dilengkapi dengan ornamen patung masyarakat adat dan juga kerbau bercorak putih hitam atau yang bisa disebut dengan Tedong Bonga. Tongkonan sendiri dahulu difungsikan sebagai tempat tinggal yang sarat dengan ukiran khas yang menunjukan status sosial seseorang. Kehadiran Tongkonan inilah yang menyajikan nuansa berbeda sepanjang perjalanan etape akhir kami menuju Makale.


Tiba di Makale, terdapat Patung Lakipadada di tengah kolam luas yang berfungsi sebagai alun-alun kota, dengan latar belakang Patung Yesus Buntu Burake pada ketinggian 900 mdpl. Lakipadada sendiri merupakan gambaran seorang lelaki pemberani dari Toraja yang mencari ilmu kehidupan kekal (tang mate) dengan menggunakan burung elang (langkan maega). Tongkat yang dipegang olehnya menunjukan kharisma keperkasaan seorang pria. Kami tiba pada sore hari menjelang malam dan langsung menuju hotel untuk beristirahat, mengingat perjalanan esok hari masih panjang. Tidak lupa kami mengganti kalori yang habis selama perjalanan dengan warung khas Jawa Timur tidak jauh dari hotel.


Lembah Ollon terletak di Lembang Bau, Desa Buakayu, Kec. Bonggakaradeng, dan berjarak ±48 km dari pusat kota Makale. Setelah mengisi perut dengan nasi goreng bumbu instan dan bebek sambalado di hotel, kami memulai perjalanan sekitar pukul 07.30 dengan mengambil arah barat dari Patung Lakipadada. Jalan yang kami lewati sangat mulus walau tidak terlalu lebar. Angin pagi dingin semilir menerpa wajah kami cukup menyegarkan sebagai pengganti air karena belum mandi pagi. Namun sayangnya kebahagiaan kami harus pupus setelah melibas sekitar 5 km, jalan aspal mulus berubah menjadi beton jerawatan dan berdebu. Ternyata jalan ini membawa kami menuju proyek PLTA Malea (PT. Malea Energy) yang merupakan unit bisnis KALLA. Sebagai informasi, PLTA Malea memiliki kapasitas 2×45 MW yang telah diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi pada tanggal 25 Februari 2022 dan menjadi baruan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Wilayah Sulawesi Selatan.


Setelah meminta izin ke petugas, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan perusahaan sejauh ±8 km ditemani gemuruh Sungai Saddang yang menjadi sumber pembangkit utama. Karakter hilir sungai begitu terasa dengan adanya batuan besar, jeram yang deras, dan diapit oleh lembah terjal yang hijau. Sayangnya kami tidak banyak mengambil dokumentasi perjalanan dikarenakan kekhawatiran salah jalan dan fokus mencari jalan keluar. Untungnya pada saat itu pembangunan sudah hampir rampung, sehingga kehadiran kami tidak mengganggu kegiatan


Setelah menemukan portal keluar, kami dihadapkan pada jalan setapak kecil berbatu di tengah hutan dan jembatan gantung selebar satu meter membentang setinggi 5-7 meter di atas jeram deras Sungai Saddang yang menguji nyali. Perasaan tak karuan ketika harus, mau tidak mau, melewati jembatan “imut” itu satu per satu. Kami merasakan ayunan jembatan yang lembut namun mampu membuat jantung berdebar layaknya live show goyangan maut biduan dangdut pantura. Kami pun melanjutkan perjalanan sejauh 1 km hanya untuk menemukan ada jalan aspal yang lebih lebar, lebih mulus, dan merupakan akses  jalan utama menuju Ollon. Ampun!!! Maps 1 Penjelajah 0.


Singkat cerita, setelah melibas jalan utama dengan cepat (sebagai bentuk balas dendam atas jalan setapak sebelumnya), kami tiba di pertigaan jalan menuju hidden paradise. Menurut informasi jagat maya, jalur Ollon tadinya hanya cukup untuk dilalui oleh sepeda motor dan hanya berupa tanah dan berlumpur jika hujan. Sejak tahun 2021, Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan melalui Gubernur Andi Sudirman Sulaiman telah memberikan bantuan pembangunan jalan sepanjang ±10 km.


Informasi ini tentunya menjadi modal bagi kami para penjelajah di samping modal nekat, walau pada akhirnya harus menelan penderitaan karena proses pembangunan jalan yang dikatakan oleh Bupati hanya tersisa 10% nyatanya baru terealisasi kurang dari 50%. Sepanjang perjalanan mendaki gunung melewati lembah, kami tidak hanya menemukan tedong bonga ternak masyarakat yang dilepas-liarkan, tetapi kami juga menemukan kondisi jalan yang baru dibeton sebagian dan tidak merata (sepotong-sepotong). Bahkan di beberapa titik kami menemukan kondisi jalan yang baru tahap pemadatan oleh alat berat. Sembari sedikit off road mengatur keseimbangan si kuda besi agar tidak terjerembab, kami meminta izin agar tidak digasak garpu alat berat yang lagi bekerja menderu.


Tidak dipungkiri memang pemandangan yang disajikan sepanjang perjalanan sangat memanjakan mata kami. Lembah hijau, bertingkat bersusun rapi ibarat lukisan anak TK jaman dulu. Berpacu bersama truk material kami pun akhirnya sampai pada satu ruas jalan yang relatif datar pertanda bahwa lokasi tujuan sudah dekat. Benar saja, tidak lama setelahnya kami disambut oleh suara ringkik kuda dan desir air hulu Sungai Saddang, dilatarbelakangi bukit savana hijau berlapis. Tidak menunggu lama kami pun segera mengambil dokumentasi secukupnya alias sebanyak-banyaknya sebagai bukti “I Was Here”.


Lembah Ollon merupakan stepa atau padang rumput yang diapit oleh perbukitan yang dipisahkan oleh aliran Sungai Saddang. Berbeda dengan prairi yang didominasi oleh rerumputan tinggi, stepa Lembah Ollon didominasi oleh rumput pendek dan juga semak, termasuk di perbukitan sekitar yang membentuk pola cantik. Terdapat satu dataran luas dengan jejeran rumah panggung mengelilingi lapangan rumput, tempat beberapa ekor kuda bersama anaknya merumput. Jauh di atas bukit kami melihat beberapa ekor sapi sedang digembala. Aliran Sungai Saddang berada di bagian bawah lembah. Berbeda dengan aliran hilir di area PLTA, aliran di lembah ini termasuk bagian hulu sungai dengan karakter badan sungai lebar, aliran tenang, dengan beberapa bagian sungai yang relatif dangkal.


Setelah puas di bagian atas lembah, kami pun turun sejenak menuju sungai yang begitu membius jiwa untuk membersihkan diri sembari mendengarkan kicau burung di kejauhan. Awas, ada buaya katanya orang-orang. Tenang, buaya disini takut sama buaya yang lebih senior. Tapi serius, tidak ada buaya di sini.


Selesai bebersih, kami pun kembali ke atas ke rumah salah satu warga untuk menikmati makan siang yang sederhana berupa mi goreng dan telur rebus sembari mengobrol seputar kondisi Desa Ollon. Berdasarkan informasi penghuni, desa ini dihuni oleh setidaknya 44 Kepala Keluarga dengan mayoritas bekerja sebagai peternak sapi dan kuda. Kami juga melihat ada beberapa unit kendaraan bermotor roda dua, empat, dan juga truk material yang dimiliki oleh warga setempat, menandakan bahwa ekonomi di desa mulai membaik sebagai hasil nyata dari pembangunan jalan tadi. Oiya, di rumah warga tadi juga menyediakan persewaan tenda bagi pengunjung yang ingin bermalam di lembah. Tidak perlu khawatir karena penduduk menjamin keamanannya.


Tak terasa matahari telah bergulir semakin ke barat, memaksa kami untuk segera  meninggalkan lembah indah ini kembali ke rutinitas sehari-hari. Perjalanan kembali yang panjang seolah tak menjadi halangan mengingat apa yang telah berhasil kami lewati dan kami capai. Perjalanan kami lanjutkan dari Makale ke Rante Pao lanjut Palopo untuk kemudian bermalam di salah satu rumah rekan kerja. Esoknya, Minggu (5/3) kami sudah harus kembali menempuh tidak kurang 350 km kembali ke Makassar dalam satu kali perjalanan. Dan itu adalah cerita yang berbeda. Perjalanan kami kali ini menempuh total jarak sejauh 865 km melintasi Jalan Nasional yang merupakan Barang Milik Negara (BMN).


Percayalah bahwa mata adalah lensa kamera terindah dan otak adalah memori terbaik untuk mengingat semua kenangan indah, termasuk perjalanan ini. Adalah satu kebanggaan tersendiri bagi kami berhasil menaklukan tidak hanya rasa takut dan kekhawatiran untuk mundur, tetapi juga berani untuk keluar dari zona nyaman demi memperoleh apa yang selama ini dicita-citakan.


Semoga akses dari dan menuju desa dpat segera diselesaikan, sehingga memudahkan mobilisasi penduduk maupun pengunjung dan mampun mendatangkan nilai manfaat lebih bagi semua pihak. Namun tetap perlu diingat aturan tak tertulis ini,

jangan ambil apapun kecuali foto;

jangan tinggalkan apapun kecuali jejak;

jangan membunuh apapun kecuali waktu.


Salam Rimba! Salam Lestari!

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini