Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara > Artikel
Panitia Urusan Piutang Negara sebagai Interagency Administration
Hadyan Iman Prasetya
Rabu, 11 Oktober 2023   |   133 kali

Salah satu tugas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) adalah dalam bidang piutang negara,[1] yang meliputi penyusunan kebijakan atau regulasi dan juga terkait dengan proses pengelolaan piutang negara.[2] Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan piutang negara tersebut, terdapat beberapa kegiatan yang tercakup di dalamnya, yaitu penatausahaan, penagihan, penyelesaian, dan pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan pertanggungjawaban.[3] Khusus terkait dengan penagihan piutang negara, sejatinya setiap instansi pemerintah berkewajiban untuk menyelesaikan setiap piutang yang dimilikinya,[4] namun demikian apabila tidak dapat diselesaikan maka penagihan piutang negara tersebut dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).[5]

Panitia Urusan Piutang Negara atau disingkat PUPN, bersifat interdepartemental,[6] dalam artian bahwa keanggotaannya terdiri dari berbagai pejabat pemerintahan.[7] Secara struktur, PUPN terdiri dari PUPN Pusat dan PUPN Cabang.[8] Keanggotaan PUPN Pusat terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung,[9] sedangkan PUPN Cabang terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi, dan Pemerintah Daerah.[10] Dalam praktiknya, pelaksanaan tugas PUPN berupa penagihan piutang negara secara operasional dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai salah satu anggota PUPN Cabang.[11]

Pengaturan terhadap struktur keanggotaan PUPN sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan adanya bentuk delegasi kewenangan kepada beberapa instansi pemerintah yang berbeda, yaitu Kementerian Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian, dan Pemerintah Daerah. Meskipun model pendelegasian kewenangan kepada beberapa lembaga dapat ditemui kepada instansi-instansi lainnya, namun Tulisan ini hanya berfokus pada PUPN sebagai contoh kasus. Selanjutnya Tulisan ini mengusung satu argumen utama yaitu bahwa model pendelegasian kepada PUPN yang mencakup beberapa instansi pemerintah dapat dijelaskan sebagai interagency administration. Terakhir, sebagai turunan dari pembahasan PUPN sebagai interagency administration, Tulisan ini juga akan menyinggung beberapa konsep yang terkait erat dengan interagency administration.

PUPN sebagai Interagency Administration

Konsepsi interagency administration dalam Tulisan ini merujuk pada pendapat Jason Marisam. Dirinya menjelaskan bahwa interagency administration adalah fenomena tata kelola pemerintahan yang terbentuk melalui hubungan yang kompleks antar lembaga pemerintahan (the emerging system of governance created by agencies’ increasingly complex relationships with each other).[12] Dalam teori ini Marisam mengetengahkan bahwa interagency administration akan menggeser pemahaman selama ini yang telah ada, yaitu pandangan bahwa masing-masing instansi pemerintah adalah kompetitor satu sama lain, menjadi bahwa instansi yang saling bekerjasama akan saling mendukung dan memberi kekuatan bagi pelaksanaan kewenangan instansi lainnya (Interagency administration reorients the conception of power in the administrative state by turning agencies from competitors for power into secondary sources of power for each other (after the primary sources of Congress and the White House)).[13]

Marisam menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) argumen normatif yang menjelaskan kelebihan dari dilaksanakannya interagency administration. Pertama, instansi pemerintah yang memberikan kontribusi kepada instansi pemerintah lainnya dalam konteks interagency administration dapat melaksanakan kewenangannya sendiri sekaligus memberikan manfaat bagi instansi pemerintah lainnya.[14] Kedua, instansi yang memberikan kontribusi dalam interagency administration dapat membangun reputasi baik bagi instansinya yang pada gilirannya dapat membangun persepsi bagi pihak-pihak lain untuk mendukung dan mengembangkan kapasitas organisasi instansi tersebut.[15] Ketiga, masing-masing instansi pemerintah akan menerima manfaat karena berlakunya prinsip resiprositas, baik manfaat yang bersifat spesifik maupun general.[16]

Dalam menjelaskan ketiga manfaat di atas, Marisam memberikan contoh praktik yang terjadi di Amerika. Salah satu contoh yang disebutkan Marisam adalah terkait permasalahan penanganan radiofrequency radiation. Congress mengamanatkan Federal Communication Commission (FCC) sebagai instansi yang berwenang dalam menangani permasalahan ini, namun karena keterbatasan kapasitas organisasi. Dalam mengatasi hal ini, FCC menerima dan mendasarkan tindakannya pada rekomendasi yang diberikan oleh insttitusi lainnya yang lebih menguasai, yaitu Environmental Protection Agency (EPA) dan Food and Drug Administration (FDA).[17] Dalam contoh ini, Marisam menjelaskan bahwa EPA dan FDA menerima manfaat dari praktik interagency administration karena tugas atau kewenangan mereka dapat terlaksana tanpa melalui kegiatan yang mereka laksanakan sendiri, namun melalui sumber daya yang dimiliki oleh FCC.

Berdasar penjelasan teori interagency administration di atas, tidaklak berlebihan jika menyebut bahwa PUPN dapat diklasifikasikan sebagai bentuk interagency administration. Setidaknya klaim ini dapat didasarkan pada struktur keanggotaan yang melibatkan berbagai instansi pemerintah yang ada. Selanjutnya, diaturnya beberapa instansi pemerintah dalam keanggotaan PUPN tentu ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan kewenangan PUPN. Hal ini sejalan pula dengan pendapat Marisam yang memandang, dalam konteks interagency administration, masing-masing instansi bukanlah kompetitor namun berposisi sebagai pendukung dan pemberi kekuatan bagi pelaksanaan tugas PUPN.

Kedudukan anggota PUPN dari unsur Kejaksaan dan Kepolisian diharapkan mampu mendukung pelaksanaan penagihan piutang negara yang secara teknis dilaksanakan oleh anggota PUPN dari unsur Kementerian Keuangan, dalam hal ini KPKNL. Berbagai kompetensi dan kepakaran yang dimiliki oleh anggota PUPN dari unsur Kejaksaan dan Kepolisian tidaklah sama dimiliki oleh anggota PUPN dari unsur Kementerian Keuangan, sehingga sesuai dengan paradigma intergancy administration, susunan keanggotaan PUPN ditujukan untuk saling menguatkan dan melengkapi.

Koordinasi sebagai Nilai Utama

Pembahasan dalam konteks pendelegasian kewenangan kepada beberapa instansi pemerintah, selain pendapat Marisam terkait interagency administration, juga dilakukan dengan menitikberatkan pada fungsi koordinasi sebagai fokus utama. Dalam konteks hukum administrasi Amerika, lembaga-lembaga pemerintah (administrative agencies) dianggap memiliki 2 (dua) kegiatan utama dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu rulemaking dan adjudication.[18] Selanjutnya, dalam dua kegiatan tersebut, beberapa ahli menyatakan bahwa baik rulemaking maupun adjudication dalam praktiknya banyak didelegasikan kepada beberapa instansi pemerintah, tidak hanya satu institusi saja.

Studi yang dilakukan Freeman dan Rossi menunjukkan bahwa pendelegasian kewenangan kepada beberapa administrative agencies disikapi dengan melakukan koordinasi di antara para lembaga tersebut. Adapun bentuk-bentuk koordinasi yang dilakukan oleh instansi-instansi tersebut dapat berbentuk konsultasi, persetujuan (agreements), pembuatan aturan secara bersama (joint rulemaking), dan koordinasi berdasarkan kebijakan Presiden.[19] Sedangkan dalam konteks adjudication, Shah menjelaskan bahwa koordinasi yang dilakukan di antara instansi pemerintah dapat berbentuk model ajudikasi yang berupa bertingkat (phased), menggantikan (substitutable), dan kolaboratif (collaborative).[20]

Pendapat lain menjelaskan bahwa, pelaksanaan kewenangan yang melibatkan beberapa instansi pemerintah dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme, yaitu kerjasama, koordinasi, dan kolaborasi. Berdasar pendapat ini ketiga mekanisme tersebut dibedakan dari tingkat formalitas yang terkandung dalam masing-masing mekanisme. Kerjasama atau cooperation, menurut pendapat ini adalah model yang paling informal dan tanpa struktur, dapat berupa information-sharing. Sedangkan koordinasi merupakan relasi yang lebih formal ditandai dengan adanya kesepahaman terkait misi yang didefinisikan bersama. Terakhir, kolaborasi dianggap sebagai bentuk relasi paling formal, bertahan lama, dan terstruktur guna mencapai common goals.[21]

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapatlah dipahami bahwa mengklasifikan PUPN sebagai salah satu bentuk interagency administration membawa pada konsep lain yang menjadi perhatian bersama para pengkaji fenomena pendelegasian kewenangan kepada beberapa institusi pemerintah, yaitu fungsi koordinasi. Apabila menilik pada struktur keanggotaan PUPN yang menempatkan unsur Kementerian Keuangan sebagai Ketua sekaligus anggota PUPN, baik Pusat maupun Cabang, maka fungsi koordinasi memang selayaknya dilakukan oleh Kementerian Keuangan.

Selanjutnya, dalam konteks kegiatan rulemaking dan adjudication, pada tulisan yang lain Penulis telah berpendapat bahwa PUPN merupakan bentuk agency adjudication dalam bidang penyelesaian piutang negara.[22] Dengan demikian, fungsi koordinasi PUPN selama ini telah dilaksanakan dalam bentuk ajudikasi. Mengingat bahwa fungsi koordinasi pada proses ajudikasi telah dilaksanakan, maka sudah sepatutnya PUPN memulai adanya upaya penyusunan kebijakan atau rulemaking secara koordinatif guna menghasilkan sebuah kebijakan yang lebih handal dalam mendukung proses penyelesaian piutang negara. Secara teoritis, sesuai pendapat Freeman dan Rossi, penyusunan kebijakan secara bersama dengan melibatkan seluruh institusi yang memiliki kewenangan merupakan salah satu upaya untuk memperkuat tercapaianya tujuan dari pendelegasian kewenangan itu sendiri.[23]

Penutup

Pembahasan singkat dalam Tulisan ini menunjukkan bahwa struktur keanggotaan PUPN yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah dapat dipandang sebagai bentuk interagency administration, sebagaimana digagas oleh Marisam. Pemahaman yang demikian akan membawa pada adanya urgensi fungsi koordinasi yang harus dilakukan oleh PUPN. Fungsi koordinasi tersebut hingga saat ini telah dilakukan dalam konteks ajudikasi administratif, sehingga berdasarkan teori-teori yang ada sejatinya PUPN memiliki legitimasi untuk bergerak pada ranah penyusunan kebijakan dalam bidang piutang negara dengan melibatkan seluruh instansi anggotanya. Tentunya, tidak lain bahwa tujuan dari penyusunan kebijakan tersebut adalah guna mewujudkan penyelesaian piutang negara yang optimal demi kepentingan publik secara luas, mengingat penyelesaian piutang negara adalah bagian dari pengelolaan keuangan negara yang akuntabel.


Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)



[1] Pasal 1263 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga, Bendahara Umum Negara dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara

[3] Ibid, Pasal 5 ayat (1).

[4] Ibid, Pasal 13 s.d. Pasal 28; Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara

[5] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara; Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara

[6] Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara

[7] Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara

[8] Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara

[9] Ibid, Pasal 4.

[10] Ibid, Pasal 5.

[11] Ibid, Pasal 5 ayat (2); Pasal 33 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

[12] Jason Marisam, Interagency Administration, 45 Arizona State Law Journal 183, 185-186, 2013. Versi singkat dari artikel ini dapat dilihat dalam Jason Marisam, We Live in an Interagency World, melalui tautan https://www.theregreview.org/2013/05/28/28-marisam-interagency-coordination/

[13] Ibid.

[14] Ibid, 191.

[15] Ibid, 195.

[16] Ibid, 197.

[17] Ibid, 192.

[18] Jeffrey J. Rachlinski, Rulemaking versus Adjudication: A Psychological Perspective, 32 Florida State University Law Review 529, 2005.

[19] Jody Freeman dan Jim Rossi, Agency Coordination in Shared Regulatory Space, 125 Harvard Law Review 1134, 1155-1181, 2012.

[20] Bijal Shah, Uncovering Coordinated Interagency Adjudication, 128 Harvard Law Review 807, 830-850, 2015.

[21] Ian Scott dan Ting Gong, Coordinating Government Silos: Challenges and Oppportunities, 1 Global Public Policy and Governance 20, 2021.

[22] Hadyan Iman Prasetya, Karakteristik PUPN dalam Perspektif Agency Adjudication, diakes pada https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/15631/Karakteristik-PUPN-dalam-Perspektif-Agency-Adjudication.html

[23] Freeman dan Rossi, lihat catatan no. 19, hlm. 1193.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini