Salah satu tugas Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) adalah dalam bidang piutang negara,[1] yang meliputi penyusunan
kebijakan atau regulasi dan juga terkait dengan proses pengelolaan piutang
negara.[2] Selanjutnya, dalam konteks
pengelolaan piutang negara tersebut, terdapat beberapa kegiatan yang tercakup
di dalamnya, yaitu penatausahaan, penagihan, penyelesaian, dan pembinaan,
pengawasan, pengendalian, dan pertanggungjawaban.[3] Khusus terkait dengan
penagihan piutang negara, sejatinya setiap instansi pemerintah berkewajiban
untuk menyelesaikan setiap piutang yang dimilikinya,[4] namun demikian apabila
tidak dapat diselesaikan maka penagihan piutang negara tersebut dapat
diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).[5]
Panitia Urusan Piutang Negara atau
disingkat PUPN, bersifat interdepartemental,[6] dalam artian bahwa
keanggotaannya terdiri dari berbagai pejabat pemerintahan.[7] Secara struktur, PUPN
terdiri dari PUPN Pusat dan PUPN Cabang.[8] Keanggotaan PUPN Pusat
terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia, dan
Kejaksaan Agung,[9]
sedangkan PUPN Cabang terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kepolisian
Daerah, Kejaksaan Tinggi, dan Pemerintah Daerah.[10] Dalam praktiknya,
pelaksanaan tugas PUPN berupa penagihan piutang negara secara operasional
dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai
salah satu anggota PUPN Cabang.[11]
Pengaturan terhadap struktur keanggotaan
PUPN sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan adanya bentuk delegasi
kewenangan kepada beberapa instansi pemerintah yang berbeda, yaitu Kementerian
Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian, dan Pemerintah Daerah. Meskipun model
pendelegasian kewenangan kepada beberapa lembaga dapat ditemui kepada
instansi-instansi lainnya, namun Tulisan ini hanya berfokus pada PUPN sebagai
contoh kasus. Selanjutnya Tulisan ini mengusung satu argumen utama yaitu bahwa
model pendelegasian kepada PUPN yang mencakup beberapa instansi pemerintah
dapat dijelaskan sebagai interagency administration. Terakhir, sebagai
turunan dari pembahasan PUPN sebagai interagency administration, Tulisan
ini juga akan menyinggung beberapa konsep yang terkait erat dengan interagency
administration.
PUPN sebagai Interagency
Administration
Konsepsi interagency administration
dalam Tulisan ini merujuk pada pendapat Jason Marisam. Dirinya menjelaskan
bahwa interagency administration adalah fenomena tata kelola pemerintahan
yang terbentuk melalui hubungan yang kompleks antar lembaga pemerintahan (the
emerging system of governance created by agencies’ increasingly complex
relationships with each other).[12] Dalam teori ini Marisam
mengetengahkan bahwa interagency administration akan menggeser pemahaman
selama ini yang telah ada, yaitu pandangan bahwa masing-masing instansi
pemerintah adalah kompetitor satu sama lain, menjadi bahwa instansi yang saling
bekerjasama akan saling mendukung dan memberi kekuatan bagi pelaksanaan
kewenangan instansi lainnya (Interagency administration reorients the
conception of power in the administrative state by turning agencies from
competitors for power into secondary sources of power for each other (after the
primary sources of Congress and the White House)).[13]
Marisam menjelaskan bahwa setidaknya
terdapat 3 (tiga) argumen normatif yang menjelaskan kelebihan dari
dilaksanakannya interagency administration. Pertama, instansi pemerintah
yang memberikan kontribusi kepada instansi pemerintah lainnya dalam konteks interagency
administration dapat melaksanakan kewenangannya sendiri sekaligus
memberikan manfaat bagi instansi pemerintah lainnya.[14] Kedua, instansi yang
memberikan kontribusi dalam interagency administration dapat membangun
reputasi baik bagi instansinya yang pada gilirannya dapat membangun persepsi
bagi pihak-pihak lain untuk mendukung dan mengembangkan kapasitas organisasi
instansi tersebut.[15] Ketiga, masing-masing
instansi pemerintah akan menerima manfaat karena berlakunya prinsip resiprositas,
baik manfaat yang bersifat spesifik maupun general.[16]
Dalam menjelaskan ketiga manfaat di
atas, Marisam memberikan contoh praktik yang terjadi di Amerika. Salah satu
contoh yang disebutkan Marisam adalah terkait permasalahan penanganan radiofrequency
radiation. Congress mengamanatkan Federal Communication Commission (FCC)
sebagai instansi yang berwenang dalam menangani permasalahan ini, namun karena
keterbatasan kapasitas organisasi. Dalam mengatasi hal ini, FCC menerima dan
mendasarkan tindakannya pada rekomendasi yang diberikan oleh insttitusi lainnya
yang lebih menguasai, yaitu Environmental Protection Agency (EPA) dan Food and
Drug Administration (FDA).[17] Dalam contoh ini, Marisam
menjelaskan bahwa EPA dan FDA menerima manfaat dari praktik interagency
administration karena tugas atau kewenangan mereka dapat terlaksana tanpa
melalui kegiatan yang mereka laksanakan sendiri, namun melalui sumber daya yang
dimiliki oleh FCC.
Berdasar penjelasan teori interagency
administration di atas, tidaklak berlebihan jika menyebut bahwa PUPN dapat
diklasifikasikan sebagai bentuk interagency administration. Setidaknya
klaim ini dapat didasarkan pada struktur keanggotaan yang melibatkan berbagai
instansi pemerintah yang ada. Selanjutnya, diaturnya beberapa instansi
pemerintah dalam keanggotaan PUPN tentu ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan
tugas dan kewenangan PUPN. Hal ini sejalan pula dengan pendapat Marisam yang
memandang, dalam konteks interagency administration, masing-masing
instansi bukanlah kompetitor namun berposisi sebagai pendukung dan pemberi
kekuatan bagi pelaksanaan tugas PUPN.
Kedudukan anggota PUPN dari unsur
Kejaksaan dan Kepolisian diharapkan mampu mendukung pelaksanaan penagihan
piutang negara yang secara teknis dilaksanakan oleh anggota PUPN dari unsur
Kementerian Keuangan, dalam hal ini KPKNL. Berbagai kompetensi dan kepakaran
yang dimiliki oleh anggota PUPN dari unsur Kejaksaan dan Kepolisian tidaklah
sama dimiliki oleh anggota PUPN dari unsur Kementerian Keuangan, sehingga
sesuai dengan paradigma intergancy administration, susunan keanggotaan
PUPN ditujukan untuk saling menguatkan dan melengkapi.
Koordinasi sebagai Nilai Utama
Pembahasan dalam konteks pendelegasian
kewenangan kepada beberapa instansi pemerintah, selain pendapat Marisam terkait
interagency administration, juga dilakukan dengan menitikberatkan pada
fungsi koordinasi sebagai fokus utama. Dalam konteks hukum administrasi
Amerika, lembaga-lembaga pemerintah (administrative agencies) dianggap
memiliki 2 (dua) kegiatan utama dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu rulemaking
dan adjudication.[18] Selanjutnya, dalam dua
kegiatan tersebut, beberapa ahli menyatakan bahwa baik rulemaking maupun
adjudication dalam praktiknya banyak didelegasikan kepada beberapa
instansi pemerintah, tidak hanya satu institusi saja.
Studi yang dilakukan Freeman dan Rossi
menunjukkan bahwa pendelegasian kewenangan kepada beberapa administrative
agencies disikapi dengan melakukan koordinasi di antara para lembaga
tersebut. Adapun bentuk-bentuk koordinasi yang dilakukan oleh instansi-instansi
tersebut dapat berbentuk konsultasi, persetujuan (agreements), pembuatan
aturan secara bersama (joint rulemaking), dan koordinasi berdasarkan
kebijakan Presiden.[19] Sedangkan dalam konteks adjudication,
Shah menjelaskan bahwa koordinasi yang dilakukan di antara instansi pemerintah dapat
berbentuk model ajudikasi yang berupa bertingkat (phased), menggantikan
(substitutable), dan kolaboratif (collaborative).[20]
Pendapat lain menjelaskan bahwa,
pelaksanaan kewenangan yang melibatkan beberapa instansi pemerintah dapat
dilakukan melalui beberapa mekanisme, yaitu kerjasama, koordinasi, dan
kolaborasi. Berdasar pendapat ini ketiga mekanisme tersebut dibedakan dari
tingkat formalitas yang terkandung dalam masing-masing mekanisme. Kerjasama
atau cooperation, menurut pendapat ini adalah model yang paling informal
dan tanpa struktur, dapat berupa information-sharing. Sedangkan
koordinasi merupakan relasi yang lebih formal ditandai dengan adanya
kesepahaman terkait misi yang didefinisikan bersama. Terakhir, kolaborasi
dianggap sebagai bentuk relasi paling formal, bertahan lama, dan terstruktur
guna mencapai common goals.[21]
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut,
dapatlah dipahami bahwa mengklasifikan PUPN sebagai salah satu bentuk interagency
administration membawa pada konsep lain yang menjadi perhatian bersama para
pengkaji fenomena pendelegasian kewenangan kepada beberapa institusi
pemerintah, yaitu fungsi koordinasi. Apabila menilik pada struktur keanggotaan
PUPN yang menempatkan unsur Kementerian Keuangan sebagai Ketua sekaligus
anggota PUPN, baik Pusat maupun Cabang, maka fungsi koordinasi memang
selayaknya dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
Selanjutnya, dalam konteks kegiatan rulemaking
dan adjudication, pada tulisan yang lain Penulis telah berpendapat
bahwa PUPN merupakan bentuk agency adjudication dalam bidang
penyelesaian piutang negara.[22] Dengan demikian, fungsi
koordinasi PUPN selama ini telah dilaksanakan dalam bentuk ajudikasi. Mengingat
bahwa fungsi koordinasi pada proses ajudikasi telah dilaksanakan, maka sudah
sepatutnya PUPN memulai adanya upaya penyusunan kebijakan atau rulemaking secara
koordinatif guna menghasilkan sebuah kebijakan yang lebih handal dalam
mendukung proses penyelesaian piutang negara. Secara teoritis, sesuai pendapat
Freeman dan Rossi, penyusunan kebijakan secara bersama dengan melibatkan
seluruh institusi yang memiliki kewenangan merupakan salah satu upaya untuk
memperkuat tercapaianya tujuan dari pendelegasian kewenangan itu sendiri.[23]
Penutup
Pembahasan singkat dalam Tulisan ini menunjukkan bahwa struktur keanggotaan PUPN yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah dapat dipandang sebagai bentuk interagency administration, sebagaimana digagas oleh Marisam. Pemahaman yang demikian akan membawa pada adanya urgensi fungsi koordinasi yang harus dilakukan oleh PUPN. Fungsi koordinasi tersebut hingga saat ini telah dilakukan dalam konteks ajudikasi administratif, sehingga berdasarkan teori-teori yang ada sejatinya PUPN memiliki legitimasi untuk bergerak pada ranah penyusunan kebijakan dalam bidang piutang negara dengan melibatkan seluruh instansi anggotanya. Tentunya, tidak lain bahwa tujuan dari penyusunan kebijakan tersebut adalah guna mewujudkan penyelesaian piutang negara yang optimal demi kepentingan publik secara luas, mengingat penyelesaian piutang negara adalah bagian dari pengelolaan keuangan negara yang akuntabel.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1] Pasal
1263 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Keuangan
[2]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Piutang
Negara pada Kementerian Negara/Lembaga, Bendahara Umum Negara dan Pengurusan
Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara
[3] Ibid,
Pasal 5 ayat (1).
[4] Ibid,
Pasal 13 s.d. Pasal 28; Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara; Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara
[5] Pasal 4
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara; Pasal
3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang
Negara
[6]
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan
Piutang Negara
[7] Pasal
2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang
Negara
[8] Pasal
3 Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
[9] Ibid,
Pasal 4.
[10] Ibid,
Pasal 5.
[11] Ibid,
Pasal 5 ayat (2); Pasal 33 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara.
[12] Jason
Marisam, Interagency Administration, 45 Arizona State Law Journal 183,
185-186, 2013. Versi singkat dari artikel ini dapat dilihat dalam Jason
Marisam, We Live in an Interagency World, melalui tautan https://www.theregreview.org/2013/05/28/28-marisam-interagency-coordination/
[13] Ibid.
[14] Ibid,
191.
[15] Ibid,
195.
[16] Ibid,
197.
[17] Ibid,
192.
[18]
Jeffrey J. Rachlinski, Rulemaking versus Adjudication: A Psychological
Perspective, 32 Florida State University Law Review 529, 2005.
[19] Jody
Freeman dan Jim Rossi, Agency Coordination in Shared Regulatory Space, 125 Harvard
Law Review 1134, 1155-1181, 2012.
[20] Bijal
Shah, Uncovering Coordinated Interagency Adjudication, 128 Harvard Law
Review 807, 830-850, 2015.
[21] Ian
Scott dan Ting Gong, Coordinating Government Silos: Challenges and
Oppportunities, 1 Global Public Policy and Governance 20, 2021.
[22] Hadyan
Iman Prasetya, Karakteristik PUPN dalam Perspektif Agency Adjudication, diakes
pada https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/15631/Karakteristik-PUPN-dalam-Perspektif-Agency-Adjudication.html
[23]
Freeman dan Rossi, lihat catatan no. 19, hlm. 1193.