A. Latar
Belakang
Sebelum
keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25
September 2012, PUPN/DJKN berwenang untuk menerima dan mengurus piutang negara
yang diserahkan bank-bank BUMN/D. Namun sejak putusan MK tersebut diumumkan
maka PUPN tidak lagi bertugas melakukan pengurusan serta pengawasan terhadap
piutang/kredit yang telah dikeluarkan oleh BUMN/D. Karena piutang BUMN/D tidak
termasuk lagi dalam ruang lingkup piutang negara yang tidak wajib diserahkan
pengurusannya kepada PUPN.
Putusan
tersebut merupakan proses akhir perkara gugatan uji materil Undang-undang Nomor
49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terhadap
Undang-undang Dasar 1945. Inti dari putusan tersebut menyatakan beberapa frasa
dalam UU No.49 Prp 1960 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Singkatnya bahwa PUPN tidak lagi bertugas
untuk mengurus dan mengawasi kredit/piutang yang dikeluarkan oleh BUMN/D.
Pasca
putusan tersebut DJKN/PUPN segera menindaklanjuti putusan berupa inventarisir
berkas kasus piutang negara (BKPN) yang berdasarkan data aplikasi Simple per
tanggal 28 September 2012 berjumlah 119.175 BKPN aktif dan 22.854 BKPN PSBDT bernilai
Rp27,80 Triliun atau sekitar 36,09 persen dari seluruh piutang negara yang
diurus senilai Rp77,03 Triliun. Pengembalian BKPN harus dilaksanakan secepatnya
dengan tetap menjaga akuntabilitas dan transparansi karena menyangkut nama baik
DJKN. Sebelum diserahkan dilakukan rekonsiliasi dahulu dengan penyerah piutang
agar piutang negara dapat dilanjutkan pengurusannya oleh penyerah piutang.
Dampak
hukum dari putusan MK tersebut dengan pertimbangan dalam frasa-frasa nya yaitu:
satu, frasa “atau badan-badan yang dimaksudkan
dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur tentang tugas
PUPN untuk mengurus piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya; dua. frasa “/Badan-badan Negara” dalam
Pasal 4 ayat (4) yang mengatur tentang tugas PUPN untuk melakukan pengawasan
terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan; tiga. frasa “atau badan-badan yang baik
secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 yang
mengatur tentang ruang lingkup piutang negara; dan empat, frasa “dan Badan-badan Negara”; dalam Pasal 12 ayat (1) yang
mengatur tentang kewajiban penyerah piutang untuk menyerahkan piutangnya.
Kesimpulannya
adalah piutang bank BUMN/D harus segera dialihkan/dikembalikan kepada penyerah
piutang bersangkutan. Namun sebelum penjelasan lebih lanjut, yang perlu
dipahami bersama adalah bahwa prinsip yang dimaksud dengan pengembalian piutang
sebenarnya adalah pengurusan piutang yang dikembalikan dan bukan sekadar Berkas Kasus
Piutang Negara (BKPN) yang dikembalikan. Hal ini perlu dipahami supaya
tidak ada salah persepsi di lingkungan DJKN bahwa yang dikembalikan nanti
adalah bundel BKPN saja.
Dalam
rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengembalikan
pengurusan Piutang yang berasal dari penyerahan Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah kepada masing-masing Penyerah Piutang diterbitkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.06/2013 tentang Tata Cara Pengembalian
Pengurusan Piutang Yang Berasal dari Penyerahan BUMN/D dan Badan Usaha yang
Modalnya sebagian atau seluruhnya Dimiliki oleh BUMN/D.
Inti
dari PMK tersebut adalah proses/tahapan yang harus dilaksanakan DJKN/KPKNL guna
memastikan bahwa pada saat piutang tersebut dikembalikan kepada penyerah piutang
dapat segera ditindaklanjuti berupa: 1. Inventarisasi dan verifikasi; 2. Rekonsiliasi
dengan Penyerah Piutang; 3. Pengembalian pengurusan piutang yang dituangkan
dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) Pengembalian.
Sebagaimana
yang telah penulis uraikan di atas, DJKN/PUPN telah secara patuh melaksanakan
putusan MK dengan pertimbangan PUPN sudah tidak bertugas untuk mengurus dan
mengawasi piutang/kredit yang dikucurkan oleh bank BUMN/D. Namun tidak semua institusi atau lembaga
negara lainnya serta masyarakat yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi
pengurusan piutang BUMN/D memahami konsekuensi hukum dari putusan Mahkamah
Konstitusi. Atas dasar tersebut penulis tertarik untuk melakukan tinjauan hukum
terhadap dampak hukum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011
tanggal 25 September 2012 tidak hanya untuk DJKN/PUPN atau Penyerah Piutang
tetapi juga lembaga negara lainnya dan masyarakat yang terkait dengan putusan
tersebut.
B. Pembahasan
Untuk
melakukan tinjauan hukum terkait dampak hukum putusan MK tersebut penulis dapat
memberikan contoh belum sepenuhnya putusan MK dijalankan oleh lembaga negara
dan masyarakat lainnya. Belum lama ini KPKNL Pontianak dan Kanwil DJKN
Kalbar menerima surat dari Ombudsman
terkait permintaan angkat sita dan cabut blokir terhadap jaminan piutang dari
BUMN yang dulu pernah diurus sebelum putusan MK terbit.
Penulis
dapat gambarkan permohonan pencabutan blokir sita objek jaminan tumpang tindih debitur
Bank Mandiri yang diajukan permohonan pemecahan sertipikat oleh Pihak Ketiga.
Pemecahan sertipikat tanah dimohon kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Kuburaya
dimana terjadi tumpang tindih dengan jaminan debitur Bank Mandiri. Dikarenakan
di atas tanah jaminan debitur Bank Mandiri masih terdapat catatan blokir sita
dari juru sita KPKNL Pontianak, maka pemecahan tidak bisa dilaksanakan.
Sedangkan piutang negara debitur bank Mandiri telah dikembalikan oleh KPKNL
Jakarta I dengan Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara Nomor SPPPN-294/PUNC.10.01/2014
tanggal 24 Juni 2014. Penyitaan dan pemblokiran dilaksanakan oleh KPKNL
Pontianak melaksanakan tugas pembantuan yang dimohonkan oleh KPKNL Jakarta I.
Berdasarkan
Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.06/2013, PUPN/KPKNL dalam
rangka pengembalian piutang negara untuk menindaklanjuti putusan MK harus
melaksanakan sebagai berikut: satu, PUPN
Cabang melaksanakan penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan atas
Barang Jaminan yang tercantum dalam lampiran Berita Acara Serah Terima
Pengembalian dalam hal barang jaminan disita paling lambat 3 (tiga) bulan; dua, KPKNL melakukan cabut blokir Barang Jaminan yang tercantum dalam
lampiran Berita Acara Serah Terima Pengembalian BKPN paling lambat 3 (tiga)
bulan.
Menurut
pandangan penulis, dalam melaksanakan putusan MK, harus diperhatikan adalah dasar hukum yang
lebih tinggi di atasnya yaitu UUD 1945, UU tentang Mahkamah Konstitusi serta
peraturan perundang-undangan lainnya yaitu :
1.
Pasal
24C ayat (1) UUD 1945
yaitu mahkamah
konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutuskan
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka sifat putusan MK adalah final. Yang dimaksud
dengan putusan MK bersifat final adalah putusan MK langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final
and binding).
Menurut
Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan
tidak bisa dianulir oleh lembaga apa pun. Jika bersifat final, harus diikuti
dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Hal tersebut juga pernah
ditegaskan oleh Prof Mahfud MD yang mengingatkan
bahwa setiap putusan MK bersifat final dan mengikat, suka atau tidak suka semua
pihak wajib untuk mematuhi putusan MK.
2.
Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU
MK”) menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Yang
dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding).Jadi, akibat
hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap
putusan tersebut. Arti sifat mengikat bermakna putusan MK
tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
3.
Pasal
77 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 mengatur bahwa putusan MK memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum.
4.
Selain
itu, putusan MK juga memiliki sifat erga omnes yaitu putusan Mahkamah Konstitusi
berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Menurut Bagir
Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi
semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan
datang. Sehingga, ketika suatu undang-undang dinyatakan tidak berlaku karena
bertentangan dengan undang-undang dasar, maka menjadi batal dan tidak sah untuk
setiap orang.
Karena
sifat erga omnes ini, putusan MK memiliki kedudukan sebagaimana hukum
yang diciptakan oleh para pembentuk undang-undang lainnya (DPR dan presiden)
atau dengan kata lain, putusan MK memiliki kedudukan layaknya undang-undang.
Berdasarkan
beberapa dasar hukum yang penulis uraikan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa dampak hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011
tanggal 25 September 2012 tidak hanya untuk DJKN/PUPN atau Penyerah Piutang
tetapi juga lembaga negara lainnya dan masyarakat yang terkait dengan putusan
tersebut. Artinya produk kegiatan
pengurusan yang dikeluarkan oleh DJKN/KPKNL/PUPN sepanjang pengurusan piutang
dari bank BUMN/D tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan
frasa pada putusan MK.
C. Kesimpulan
dan Saran
Dari latar belakang dan pembahasan
panjang yang penulis uraikan sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. DJKN/PUPN tidak lagi bertugas
melakukan pengurusan serta pengawasan terhadap piutang/kredit yang telah
dikeluarkan oleh BUMN/D;
2. Pengurusan piutang negara BUMN/D
beralih kepada penyerah piutang sebagaimana yang tertuang dalam Berita Acara
Serah Terima (BAST) Pengembalian Piutang Negara dan Lampirannya.
3. Produk kegiatan pengurusan yang
dikeluarkan oleh DJKN/KPKNL/PUPN sepanjang pengurusan piutang dari bank BUMN/D
tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan frasa pada
putusan MK.
Saran
yang dapat penulis sampaikan adalah DJKN perlu melakukan koordinasi dan sinergi
dengan lembaga negara lainnya serta masyarakat yang terkait dengan putusan MK
ini agar putusan ini dapat dijalankan sesuai amanah UUD 1945 dan UU Mahkamah
Konstitusi.
Demikian
yang dapat penulis sampaikan. Mohon maaf dalam hal ada kekeliruan dan pandangan
yang berbeda. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Dasar
Hukum:
1.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diubah
kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
3. Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang
Penulis
: Agus Rodani
Pegawai
pada Kanwil DJKN Kalimantan Barat