Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Kalimantan Barat > Artikel
Tinjauan Hukum Terhadap Kekuatan Hukum Produk PUPN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011
Agus Rodani
Rabu, 22 November 2023   |   152 kali

 

A.      Latar Belakang

 

Sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012, PUPN/DJKN berwenang untuk menerima dan mengurus piutang negara yang diserahkan bank-bank BUMN/D. Namun sejak putusan MK tersebut diumumkan maka PUPN tidak lagi bertugas melakukan pengurusan serta pengawasan terhadap piutang/kredit yang telah dikeluarkan oleh BUMN/D. Karena piutang BUMN/D tidak termasuk lagi dalam ruang lingkup piutang negara yang tidak wajib diserahkan pengurusannya kepada PUPN.

Putusan tersebut merupakan proses akhir perkara gugatan uji materil Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terhadap Undang-undang Dasar 1945. Inti dari putusan tersebut menyatakan beberapa frasa dalam UU No.49 Prp 1960 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Singkatnya bahwa PUPN tidak lagi bertugas untuk mengurus dan mengawasi kredit/piutang yang dikeluarkan oleh BUMN/D.

Pasca putusan tersebut DJKN/PUPN segera menindaklanjuti putusan berupa inventarisir berkas kasus piutang negara (BKPN) yang berdasarkan data aplikasi Simple per tanggal 28 September 2012 berjumlah 119.175 BKPN aktif dan 22.854 BKPN PSBDT bernilai Rp27,80 Triliun atau sekitar 36,09 persen dari seluruh piutang negara yang diurus senilai Rp77,03 Triliun. Pengembalian BKPN harus dilaksanakan secepatnya dengan tetap menjaga akuntabilitas dan transparansi karena menyangkut nama baik DJKN. Sebelum diserahkan dilakukan rekonsiliasi dahulu dengan penyerah piutang agar piutang negara dapat dilanjutkan pengurusannya oleh penyerah piutang.

Dampak hukum dari putusan MK tersebut dengan pertimbangan dalam frasa-frasa nya yaitu: satu,  frasa “atau badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur tentang tugas PUPN untuk mengurus piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya; dua. frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) yang mengatur tentang tugas PUPN untuk melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan; tiga. frasa “atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 yang mengatur tentang ruang lingkup piutang negara; dan empat, frasa “dan Badan-badan Negara”; dalam Pasal 12 ayat (1) yang mengatur tentang kewajiban penyerah piutang untuk menyerahkan piutangnya.

Kesimpulannya adalah piutang bank BUMN/D harus segera dialihkan/dikembalikan kepada penyerah piutang bersangkutan. Namun sebelum penjelasan lebih lanjut, yang perlu dipahami bersama adalah bahwa prinsip yang dimaksud dengan pengembalian piutang sebenarnya adalah pengurusan piutang yang dikembalikan dan bukan sekadar Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang dikembalikan. Hal ini perlu dipahami supaya tidak ada salah persepsi di lingkungan DJKN bahwa yang dikembalikan nanti adalah bundel BKPN saja.

Dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengembalikan pengurusan Piutang yang berasal dari penyerahan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah kepada masing-masing Penyerah Piutang diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.06/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Pengurusan Piutang Yang Berasal dari Penyerahan BUMN/D dan Badan Usaha yang Modalnya sebagian atau seluruhnya Dimiliki oleh BUMN/D.

Inti dari PMK tersebut adalah proses/tahapan yang harus dilaksanakan DJKN/KPKNL guna memastikan bahwa pada saat piutang tersebut dikembalikan kepada penyerah piutang dapat segera ditindaklanjuti berupa: 1. Inventarisasi dan verifikasi; 2. Rekonsiliasi dengan Penyerah Piutang; 3. Pengembalian pengurusan piutang yang dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) Pengembalian.

Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas, DJKN/PUPN telah secara patuh melaksanakan putusan MK dengan pertimbangan PUPN sudah tidak bertugas untuk mengurus dan mengawasi piutang/kredit yang dikucurkan oleh bank BUMN/D.  Namun tidak semua institusi atau lembaga negara lainnya serta masyarakat yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi pengurusan piutang BUMN/D memahami konsekuensi hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi. Atas dasar tersebut penulis tertarik untuk melakukan tinjauan hukum terhadap dampak hukum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 tidak hanya untuk DJKN/PUPN atau Penyerah Piutang tetapi juga lembaga negara lainnya dan masyarakat yang terkait dengan putusan tersebut.

 

B.      Pembahasan

 

Untuk melakukan tinjauan hukum terkait dampak hukum putusan MK tersebut penulis dapat memberikan contoh belum sepenuhnya putusan MK dijalankan oleh lembaga negara dan masyarakat lainnya. Belum lama ini KPKNL Pontianak dan Kanwil DJKN Kalbar  menerima surat dari Ombudsman terkait permintaan angkat sita dan cabut blokir terhadap jaminan piutang dari BUMN yang dulu pernah diurus sebelum putusan MK terbit.

Penulis dapat gambarkan permohonan pencabutan blokir sita objek jaminan tumpang tindih debitur Bank Mandiri yang diajukan permohonan pemecahan sertipikat oleh Pihak Ketiga. Pemecahan sertipikat tanah dimohon kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Kuburaya dimana terjadi tumpang tindih dengan jaminan debitur Bank Mandiri. Dikarenakan di atas tanah jaminan debitur Bank Mandiri masih terdapat catatan blokir sita dari juru sita KPKNL Pontianak, maka pemecahan tidak bisa dilaksanakan. Sedangkan piutang negara debitur bank Mandiri telah dikembalikan oleh KPKNL Jakarta I dengan Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara Nomor SPPPN-294/PUNC.10.01/2014 tanggal 24 Juni 2014. Penyitaan dan pemblokiran dilaksanakan oleh KPKNL Pontianak melaksanakan tugas pembantuan yang dimohonkan oleh KPKNL Jakarta I.

Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.06/2013, PUPN/KPKNL dalam rangka pengembalian piutang negara untuk menindaklanjuti putusan MK harus melaksanakan sebagai berikut: satu, PUPN Cabang melaksanakan penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan atas Barang Jaminan yang tercantum dalam lampiran Berita Acara Serah Terima Pengembalian dalam hal barang jaminan disita paling lambat 3 (tiga) bulan; dua, KPKNL melakukan cabut blokir Barang Jaminan yang tercantum dalam lampiran Berita Acara Serah Terima Pengembalian BKPN paling lambat 3 (tiga) bulan.

Menurut pandangan penulis, dalam melaksanakan putusan MK,  harus diperhatikan adalah dasar hukum yang lebih tinggi di atasnya yaitu UUD 1945, UU tentang Mahkamah Konstitusi serta peraturan perundang-undangan lainnya yaitu :

1.     Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yaitu mahkamah konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

 

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sifat putusan MK adalah final. Yang dimaksud dengan putusan MK bersifat final adalah putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

 

Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apa pun. Jika bersifat final, harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Hal tersebut juga pernah ditegaskan oleh Prof Mahfud MD yang mengingatkan bahwa setiap putusan MK bersifat final dan mengikat, suka atau tidak suka semua pihak wajib untuk mematuhi putusan MK.

 

2.     Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Arti sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

 

3.     Pasal 77 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 mengatur bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

 

4.     Selain itu, putusan MK juga memiliki sifat erga omnes yaitu putusan Mahkamah Konstitusi berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Sehingga, ketika suatu undang-undang dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan undang-undang dasar, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang.

Karena sifat erga omnes ini, putusan MK memiliki kedudukan sebagaimana hukum yang diciptakan oleh para pembentuk undang-undang lainnya (DPR dan presiden) atau dengan kata lain, putusan MK memiliki kedudukan layaknya undang-undang.

 

Berdasarkan beberapa dasar hukum yang penulis uraikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dampak hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 tidak hanya untuk DJKN/PUPN atau Penyerah Piutang tetapi juga lembaga negara lainnya dan masyarakat yang terkait dengan putusan tersebut. Artinya produk kegiatan pengurusan yang dikeluarkan oleh DJKN/KPKNL/PUPN sepanjang pengurusan piutang dari bank BUMN/D tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan frasa pada putusan MK.

 

C.      Kesimpulan dan Saran

 

Dari latar belakang dan pembahasan panjang yang penulis uraikan sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1.       DJKN/PUPN tidak lagi bertugas melakukan pengurusan serta pengawasan terhadap piutang/kredit yang telah dikeluarkan oleh BUMN/D;

2.       Pengurusan piutang negara BUMN/D beralih kepada penyerah piutang sebagaimana yang tertuang dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) Pengembalian Piutang Negara dan Lampirannya.

3.       Produk kegiatan pengurusan yang dikeluarkan oleh DJKN/KPKNL/PUPN sepanjang pengurusan piutang dari bank BUMN/D tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan frasa pada putusan MK.

 

Saran yang dapat penulis sampaikan adalah DJKN perlu melakukan koordinasi dan sinergi dengan lembaga negara lainnya serta masyarakat yang terkait dengan putusan MK ini agar putusan ini dapat dijalankan sesuai amanah UUD 1945 dan UU Mahkamah Konstitusi.

 

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Mohon maaf dalam hal ada kekeliruan dan pandangan yang berbeda. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

 

Dasar Hukum:

1.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.       Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

3.       Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

 

 

Penulis : Agus Rodani

Pegawai pada Kanwil DJKN Kalimantan Barat

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini