Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Aceh > Artikel
Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Kebutuhan Penyediaan Rumah Layak Huni di Provinsi Aceh
Fajri Andari
Rabu, 11 Oktober 2023   |   1363 kali

    Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya tidak diiringi dengan pertumbuhan penyediaan perumahan bagi masyarakat. Perbedaaan ini mengakibatkan kebutuhan akan tempat tinggal masih sangat tinggi dan menyebabkan harga rumah terus melambung mengikuti permintaan yang tak kunjung terpenuhi. 

    Di sisi lain, faktor finansial juga berpengaruh terhadap daya beli dan keputusan masyarakat untuk memiliki sebuah rumah. Bahkan, keterbatasan finansial juga mempengaruhi masyarakat untuk memiliki hunian yang layak.Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, hunian yang layak adalah hunian yang memiliki persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni.

    Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) mengkategorikan sebuah tempat tinggal layak huni apabila memenuhi 4 kriteria, yaitu memiliki kecukupan luas tempat tinggal 7,2 m2 per kapita, memiliki akses terhadap air bersih, memiliki akses terhadap air minum yang layak, memiliki akses terhadap sanitasi yang layak, dan memiliki ketahanan bangunan.

    Dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, penyediaan hunian yang layak merupakan sebuah usaha yang tak terpisahkan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Keterbatasan masyarakat dalam memperoleh akses terhadap hunian yang layak menjadi alasan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mengisi gap tersebut dalam meningkatkan keterjangkauan dan kemudahan akses.

    Pemerintah telah dan sedang memberikan berbagai fasilitas atau kemudahan bagi masyarakat, salah satunya adalah melalui subsidi kepemilikan rumah. Kebijakan pemerintah merupakan perwujudan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) Nomor 11 poin 1, yaitu memastikan tersedianya akses terhadap penyediaan perumahan yang cukup, aman, dan terjangkau yang memenuhi kebutuhan dasar (layak huni) selambatnya pada tahun 2030.

    Untuk mempercepat implementasi penyediaan akses bagi masyarakat dalam memperoleh hunian layak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Peraturan tersebut mewajibkan pemerintah untuk memberikan kemudahan fasilitas kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memiliki hunian. MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Namun, dengan beragamnya dinamika dan kondisi MBR di setiap daerah, hal ini mengakibatkan demand yang berbeda-beda menurut sosial, ekonomi, dan budaya dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah dalam penyediaan tempat tinggal layak huni dalam mensejahterakan masyarakat.

    Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini berusaha memotret kondisi MBR dan penyediaan hunian perumahan yang ada di Provinsi Aceh dengan tujuan agar dapat mendukung ekosistem pembiayaan perumahan melalui penyediaan, kepemilikan dan keterhunian rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Upaya untuk mewujudkan perumahan yang layak dan terjangkau secara merata memerlukan data yang berkelanjutan untuk dapat menggambarkan kondisi yang ada. Melalui artikel ini, Tim Riset Kanwil DJKN Aceh mencoba mengangkat diskusi mengenai demand side hunian bagi MBR di Provinsi Aceh yang diharapkan dapat berkontribusi untuk membantu pemerintah dan seluruh stakeholders ekosistem perumahan dalam mengimplementasikan kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Aceh.

    Berdasarkan Profil Perumahan Indonesia 2021 yang dirilis oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 25 Maret 2022, rumah tangga yang dikelompokkan sebagai MBR yaitu rumah tangga dengan kelompok pendapatan rata-rata antara Rp4juta s.d. Rp8juta. Hal ini turut didukung oleh Keputusan Menteri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/KPTS/M/2023 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya, bahwa besaran penghasilan MBR untuk wilayah Sumatera adalah Rp8.000.000 untuk umum dengan status kawin serta satu orang untuk peserta Tapera.

    Namun demikian, karena data yang diperoleh dari BPS Provinsi Aceh merupakan hasil survei berdasarkan pengeluaran rumah tangga, maka penelitian ini mengasumsikan jika pendapatan dan pengeluaran rumah tangga adalah setara. Sehingga data pengeluaran rumah tangga menjadi acuan perhitungan profil pendapatan rata-rata untuk kategori MBR di Provinsi Aceh. 

    Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai MBR di Provinsi Aceh dan kaitannya dengan kebutuhan terhadap akses hunian layak, maka penelitian ini terbagi dalam 3 tahap pembahasan, yaitu (1) pemetaan MBR, (2) MBR yang belum memiliki hunian milik sendiri, dan (3) MBR yang menempati rumah tinggal tidak layak huni. Dari ketiga fokus pembahasan tersebut diharapkan adanya benang merah dalam memotret kondisi MBR sehingga dapat membantu pemerintah dan stakeholders terkait dalam meningkatkan kesejahteraan MBR di Provinsi Aceh dalam kaitannya dengan program penyediaan hunian layak.

Masyarakat Berpenghasilan Rendah

    Berdasarkan pengolahan data Susenas Provinsi Aceh 2022, Tim Riset dan Inovasi Kanwil DJKN Aceh mendapatkan 2 jenis bentuk data MBR di Provinsi Aceh. Pertama adalah data berupa persentase penduduk MBR di setiap kabupaten/kota dan yang kedua adalah data jumlah penduduk MBR. Dalam melakukan analisis, penelitian ini data jumlah rumah tangga MBR yang akan dijelaskan lebih lanjut dengan data persentase rumah tangga MBR.

    Untuk memperdalam analisis pada penelitian ini, kami memutuskan untuk berfokus pada kabupaten/kota dengan jumlah RT MBR tertinggi di Provinsi Aceh. Kami menemukan bahwa 5 (lima) kabupaten/kota dengan jumlah rumah tangga pengeluaran 4.000.000 s.d. 8.000.000 yang tertinggi secara berurutan yaitu Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Aceh Utara. Jumlah RT MBR di 5 kabupaten ini mewakili 195.655 RT atau 15,25 psersen jumlah RT di Provinsi Aceh. Terdapat hal yang menarik di Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Timur, yaitu mayoritas rumah tangga yang terdapat di kabupaten tersebut termasuk ke dalam kelompok MBR dengan persentase masing-masing secara berurutan 46,18% dan 41,81%. Hal ini menunjukkan bahwa di 5 kabupaten tersebut, khususnya di Bireuen dan Aceh Timur, implementasi program bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat MBR melalui pemenuhan kebutuhan perumahan dapat menjangkau cakupan lebih luas.

    Status kepemilikan rumah berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS terbagi atas rumah milik sendiri, rumah sewa, rumah dinas, dan rumah bebas sewa. Berdasarkan data Susenas 2021, Aceh berada di peringkat 13 nasional dengan jumlah rumah tangga sebanyak 1.400.666 RT. Berdasarkan status tempat tinggal, sebanyak 80,51% RT tinggal di rumah milik sendiri sedangkan sisanya tinggal di rumah sewa, rumah dinas, atau rumah bebas sewa/lainnya. Untuk menyamakan persepsi dalam pembahasan ini, berikut beberapa istilah yang terkait dengan status kepemilikan rumah:

  • Rumah milik sendiri Apabila tempat tinggal rumah tangga tersebut pada saat survei adalah milik Kepala Rumah Tangga (KRT) atau salah satu Anggota Rumah Tangga (ART), termasuk rumah yang masih dalam angsuran kredit atau status sewa beli.
  • Rumah sewa Rumah yang disewa KRT atau salah satu ART.
  • Rumah dinas Rumah yang disediakan suatu instansi tempat bekerja salah satu ART, baik dengan sewa maupun tidak.
  • Rumah bebas sewa Tempat tinggal yang diperoleh dari pihak lain di luar rumah tangga tersebut dan ditempati tanpa mengeluarkan suatu pembayaran apapun.

    Seiring pertambahan jumlah RT di Aceh pada periode 2019-2021, tren kepemilikan rumah secara konsisten meningkat, melampaui penambahan RT yang tidak memiliki rumah. Pada periode tersebut, jumlah RT di Aceh yang memiliki rumah sendiri mengalami kenaikan sebanyak 82.240 RT, lebih tinggi daripada penambahan RT yang tidak memiliki rumah sebanyak 21.123 RT. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keinginan dari RT baru untuk memiliki rumah sendiri dan adanya potensi untuk pemenuhan kebutuhan rumah bagi RT di Aceh yang belum memiliki rumah sendiri.

    Untuk menyelaraskan dengan analisis pada RT MBR di Provinsi Aceh, kami membandingkan jumlah RT MBR yang telah memiliki rumah dengan yang belum memiliki rumah. Sejalan dengan analisa awal kami, data menunjukkan bahwa kabupaten dengan MBR tertinggi di Aceh memiliki kemampuan daya beli yang cukup untuk memiliki hunian. Ini ditunjukkan dengan tingkat kepemilikian hunian di 5 kabupaten tersebut telah melebihi tingkat 85%. Kami berasumsi bahwa secara keseluruhan RT MBR di 5 kabupaten tersebut memiliki rumah, baik dengan cara membangun sendiri ataupun dengan memanfaatkan program KPR.

    Namun, kami menemukan fakta yang menarik di Kota Banda Aceh. Walaupun bukan merupakan daerah yang memiliki RT MBR tertinggi (27.506 RT MBR), Kota Banda Aceh merupakan kabupaten/kota dengan RT MBR yang belum memiliki rumah sendiri tertinggi, dengan 10.285 RT MBR. Dari jumlah RT MBR yang belum memiliki rumah sendiri, 8.860 RT MBR masih menempati rumah sewa atau masih menempati rumah keluarga/orang tua, sedangkan sisanya menempati rumah sewa. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat RT MBR yang besar di Kota Banda Aceh yang belum memiliki akses untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam memperoleh hunian. Namun, perlu dikaji lebih jauh juga mengenai status kependudukan RT di kota Banda Aceh. Sebagai ibu kota provinsi, Banda Aceh memiliki banyak pendatang yang belum memiliki minat untuk memiliki rumah. Terdapat 4 kabupaten dan 1 kota yang ada dalam 5 peringkat tertinggi RT MBR dan RT MBR yang belum memiliki hunian sendiri, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Utara secara berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa jika kelima Kabupaten/Kota tersebut merupakan daerah yang sesuai penerapan program penyediaan hunian untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kelayakan Hunian Rumah MBR

    Sebagai bentuk pelaksanaan amanah Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Rumah adalah bagian kebutuhan pokok yang terdiri dari sandang, pangan, dan papan/tempat tinggal. Sebuah rumah harus dapat memenuhi hierarki terendah menurut Maslow, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar dan fisiologis. Pada tingkatan yang lebih baik, rumah diharapkan dapat memenuhi hierarki kebutuhan pada tingkatan selanjutnya seperti kebutuhan rasa aman, penghargaan, sosial dan aktualiasasi diri. Dengan demikian, kelayakan fisik sebuah hunian menjadi syarat wajib bagi tempat tinggal agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

    Badan Pusat Statistik, dalam laman resminya, menyampaikan bahwa sejak tahun 2019 rumah tangga diklasifikasikan memiliki akses terhadap hunian/rumah layak huni apabila memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu: 1) kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m2 per kapita (sufficient living space); 2) memiliki akses terhadap air minum layak; 3) memiliki akses terhadap sanitasi layak; 4)    ketahanan bangunan (durable housing), yaitu atap terluas berupa beton/ genteng/ seng/ kayu/ sirap; dinding terluas berupa tembok/plesteran anyaman bambu/kawat, kayu/papan dan batang kayu; dan lantai terluas berupa marmer/ granit/ keramik/ parket/vinil/karpet/ ubin/tegel/teraso/ kayu/papan/ semen/bata merah.

    Berdasarkan konsep kelayakan hunian tersebut, penelitian ini lebih memperdalam analisis terhadap rumah tangga MBR yang memiliki hunian sendiri tetapi belum memenuhi konsep layak huni. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memotret kondisi RT MBR yang belum sejahtera dengan tujuan memberikan insight dalam pengembangan program peningkatan tempat tinggal layak huni yang tepat sasaran dalam mensejahterakan masyarakat di Provinsi Aceh.

    Dengan menyandingkan data total RT, persentase MBR dan persentase MBR yang menempati rumah tidak layak huni maka diperoleh data jumlah MBR yang menempati rumah tinggal tidak layak di masing-masing kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh. Terdapat 5 kabupaten dengan jumlah MBR menempati rumah tidak layak huni tertinggi, yaitu Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Aceh Utara secara berurutan. Kami menemukan hal yang menarik, yaitu 5 kabupaten dengan RT MBR menempati rumah tidak layak adalah sama dengan 5 kabupaten dengan jumlah RT MBR tertinggi di Provinsi Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun RT MBR di 5 kabupaten tersebut telah memiliki hunian sendiri dengan persentase lebih dari 85 persen, tetapi lebih dari 24 persen dari jumlah tersebut masih tinggal di rumah tidak layak huni. Dari 5 kabupaten tersebut masih terdapat RT MBR yang memiliki hunian tetapi belum dapat dikategorikan sebagai RT sejahtera karena tidak memenuhi kriteria tempat tinggal yang layak, baik karena ketidakcukupan luas, keterbatasan akses air minum, keterbatasan akses sanitasi, dan atau ketegori ketahanan bangunan. Berdasarkan hal ini masih dibutuhkan peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, untuk mengintervensi penyediaan kepemillikan rumah bagi RT MBR di Provinsi Aceh dan atau penyediaan akses finansial untuk menigkatkan daya beli masyarakat, baik untuk akses kepemilikan rumah dan atau untuk meningkatkan kategori tempat tinggal menjadi layak huni. Intervensi yang pada daerah yang tepat dapat mempercepat pemerintah untuk mencapai output SDG ke 11 dalam penyediaan perumahan untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang diharapkan.

Kesimpulan

    Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa 89,37% rumah tangga di Provinsi Aceh merupakan rumah tangga berpenghasilan kurang dari sama dengan Rp8juta. Berdasarkan data tersebut, kami meyakini bahwa sebagian besar masyarakat Aceh mengalami daya beli yang rendah untuk memiliki sebuah rumah tinggal yang baik. Selanjutnya, hanya 37,51% rumah tangga di Provinsi Aceh yang tergolong Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan rata-rata pengeluaran antara Rp4juta sampai dengan Rp8juta, sedangkan 51,86% rumah tangga merupakan termasuk golongan rumah tangga berpenghasilan rentan dengan rata-rata pengeluaran kurang dari Rp4juta. Hal ini menunjukkan, secara keseluruhan, sebagian besar masyarakat Aceh masih hidup dalam tingkatan belum sejahtera. Untuk memperdalam analisis ini, kami berfokus pada rumah tangga MBR di setiap kota/kabupaten dan memilih 5 kota/kabupaten dengan jumlah rumah tangga MBR tertinggi agar nantinya dapat kami sandingkan dengan analisis penyediaan hunian layak bagi MBR di Provinsi Aceh. Lima kota/kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Aceh Utara.

    Lebih lanjut, penelitian kami menunjukkan bahwa lebih dari 85% rumah tangga MBR di lima kabupaten tersebut telah memiliki rumah tinggal. Hanya sebagian kecil jumlah rumah tangga MBR yang masih tinggal di hunian bukan milik sendiri. Hal yang menarik adalah data menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh memiliki 10.285 RT MBR (37,39%) yang masih menempati hunian bukan milik sendiri dan ini lebih tinggi dari pada kabupaten dengan jumlah RT MBR tertinggi yang tidak memiliki hunian sendiri. Hal ini menempatkan Kota Banda Aceh sebagai daerah yang sesuai untuk penyediaan hunian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selain di Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Utara.

    Namun, walaupun mayoritas rumah tangga MBR di 5 kabupaten tersebut telah memiliki hunian sendiri, hunian tersebut masih tergolong ke dalam rumah tinggal tidak layak. Menariknya, 5 kabupaten dengan jumlah RT MBR Tidak Layak Huni tertinggi adalah sama dengan 5 kabupaten dengan jumlah RT MBR tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat Aceh di 5 kabupaten tersebut, berkaitan dengan tempat tinggal layak, masih belum maksimal. Rumah tangga MBR masih mengalami daya beli yang rendah untuk meningkatkan kategori huniannya menjadi tempat tinggal layak huni. Sehingga menurut kami, dibutuhkan penyediaan akses finansial yang terjangkau yang lebih luas bagi MBR untuk meningkatkan kesejahteraan huniannya.

    Pada akhirnya, artikel ini berkontribusi dalam memetakan kebutuhan masyarakat Aceh terhadap tempat tinggal layak huni dengan berfokus pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang ada di Provinsi Aceh, khususnya di 5 kabupaten dengan jumlah rumah tangga MBR tertinggi. Hasil akhir menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan penyediaan akses untuk kebutuhan perumahan bagi rumah tangga MBR di Provinsi Aceh secara mudah dan luas. Penyediaan akses ini dapat melalui penyediaan KPR yang terjangkau bagi MBR yang belum memiliki tempat tinggal dan atau penyediaan akses finansial terjangkau untuk meningkatkan rumah tinggal MBR menjadi layak huni untuk kesejahteraan masyakarat. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Aceh, harus dapat bekerja sama bersama seluruh stakeholders dalam ekosistem perumahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat. Tujuan ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDG’s) Nomor 11 dalam poin 1, yaitu pemerintah memastikan tersedianya akses terhadap penyediaan perumahan yang cukup, aman, dan terjangkau yang memenuhi kebutuhan dasar (layak huni) pada 2030.

Penulis: Tim Riset Kanwil DJKN Aceh

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini