Mari mengenang Mbah Maridjan, Sang
Juru Kunci Gunung Merapi yang rendah hati. Mbah Maridjan diangkat secara resmi
sebagai Penjaga Merapi pada tahun 1982 menggantikan ayahnya yang telah
meninggal dunia. Mbah Maridjan mendapatkan gelar Mas Penewu Suraksohargo
setelah diangkat menjadi abdi dalem oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Keteguhannya pada prinsip dan
filosofi Jawa Islam tak diragukan. Kesadaran akan pentingnya bertindak dengan
menghormat kepada Sang Pencipta dan Ciptaan-Nya berupa alam semesta itu sendiri
melahirkan kesabaran menempuh apapun peran dalam kehidupan.
“Sing
sapa seneng ngerusak ketentremane alam lan liyan,
bakal
dibendu deneng Pengeran lan dielehake dening tumindake dhewe!"
(Mbah Maridjan)
Barang siapa yang gemar
merusak ketentraman alam dan (apapun) selain dirinya, niscaya akan mendapat
murka Allah, dan akan digugat karena ulahnya sendiri, begitu kata Mbah Maridjan.
Beliau yang berwajah teduh ini,
bersikukuh untuk selalu ngugememi sebuah
laku Memayu hayuning saliro selanjutnya
Memayu hayuning buwono. Bagaimana
menghidupkan hidup dengan meningkatkan kualitas diri pribadi lahir dan batin.
Lalu bagaimana menjaga keberlanjutan Alam Semesta berupa Buwono Alit-Buwono Ageng,
Mikro Kosmos-Makro Kosmos. Semua harus diperhatikan secara seksama agar
berjalan seimbang-selaras.
Mbah Maridjan meninggal saat berusia
83 tahun, saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, dalam menjaga setia
pada tugas dan bakti sebagai penjaga Merapi. Si Mbah yang ramah ini adalah
sosok relijius dengan nilai-nilai Islam dan Jawa lekat pada dirinya.
“Sesungguhnya Aku
sesuai prasangka hamba-Ku!”
(Hadis
Qudsi)
Mbah Maridjan mengingatkan
kepada siapapun yang mendaku penempuh laku pendalaman ilmu Islam dan Jawa,
seyogyanya selalu mengedepankan lelaku mbudidaya roso, yaitu aktivitas
kejiwaan dengan tansah berpikir
bagaimana meraih kedalaman rasa, maka perlu adanya kerangka berpikir positif. Pikiran
baik melahirkan jernihnya atmosfer berpikir putih lalu menumbuhkan keyakinan,
bahwa apapun jerih yang dilakukan akan berdampak kebaikan.
Pikiran keruh melahirkan pola-pola
tidak teratur yang berhilir pada ketergesaan pikir yang premature, keliru, dan
ngawur. Hal ini akan mengeruhkan keadaan jiwa. Jiwa keruh mempengaruhi arah tujuan
hidup yang sejatinya ingin dicapai. Pencapaian kedudukan menjadi manusia dewasa
(Njowo/Njawani) berperasaan malu dan sungkan (iso rumongso-rumongso isin)
terjadi karena proses panjang dalam diri untuk terus berpikir, teliti,
berhati-hati, dan mawas diri.
Mawas diri dalam bersikap
dengan sesama berarti selalu berhati-hati dan menaruh hormat kepada dan ke atas
apa saja, senantiasa berinteraksi dengan berusaha menyampaikan apapun secara santun,
halus, lembut tapi dalam dan penuh makna. Maka dari itu, sudah menjadi
kebiasaan untuk selalu ngati-ati
bersikap hati-hati tapi luwes, meski harus terus mengacu pada nilai-nilai yang
menjadi pegangan dalam bermasyarakat. Sehingga laku itu menjadi budaya, lalu
terbentuklah kebudayaan yang memengaruhi moral setiap individu di dalamnya.
Dus terhadap apapun
perbedaan tidak menjadikan perpecahan. Tumbuh tercerah dalam kesadaran untuk mencegah
adanya konflik, menjaga kerukunan, sadar (Njowo/Njawani) bersama mendewasa, saling
menghormati dengan menjaga selalu perasaan malu dan sungkan (iso rumongso-rumongso isin) menjadi tuntutan
sosial utama dalam etika Islam Jawa.
Sama halnya ketika berpikir
negatif tentang keadaan atau tentang perilaku orang lain. Pikiran negatif
tentang keadaan akan menekan jiwa. Dan jiwa yang mengalami tekanan akan tergoncang
lalu membuat seseorang terganggu kondisi kejiwaannya, seperti halu, galau, was-was,
cemas, stress juga depresi. Pikiran
negatif juga akan memengaruhi tujuan. Sementara pikiran positif akan
memengaruhi hasil, sedangkan perasaan adalah energi yang akan mendorongnya. Jadi apa yang dipikirkan itulah
yang akan mendorong kejadian terjadi, serta Tuhan Yang Maha Berkehendak
Merestui, seperti halnya dalam sebuah hadis qudsi; “Sesungguhnya Aku sesuai prasangka hamba-Ku!”
“Jiwa
alus iku condrone banyu lan lendhut sing mbrojol
selaning garu.
Jiwa wening iku condrone banyu lan lendhut kang wus menep."
(Pepatah Jawa)
Menurut
manusia Jawa dalam ilmu jiwa, bahwa jiwa merupakan sesuatu yang halus dan
transendental. Orang Jawa menyebut jiwa itu ibarat air dan lumpur. Air dan
lumpur yang luwes-lentur hingga mampu melewati sela-sela garu (Banyu lan lendhut sing mbrojol
selaning garu). Begitu musim tanam padi datang, petani akan bersesungguh
untuk mengolah tanah sawahnya sedemikian rupa. Sebuah alat yang berguna juga
indah dibuat. Adalah Garu, alat seperti sisir atau garpu yang dibengkokkan.
Untuk meratakan tanah seorang petani yang sedang menggaru tanah bergerak halus,
hati-hati namun bertenaga. Sebuah gerak yang indah cerminan kelenturan jiwa yang
sesungguh bekerja (luwes ing makarti), selain gambaran kehalusan
budi pekerti dan ketulusan yang murni.
Jiwa itu halus, seperti
ibarat air dan lumpur itu yang walau dibendung lalu digaru tetap masih mengalir
disela-sela garu dan akan tetap tenang. Jiwa akan terlihat bersih ketika tenang.
Condrone banyu lan lendhut kang wus menep. Tetapi ketika
bergejolak ia akan berubah mendadak keruh. Demikian gambaran ruhani atau jiwa
galau, risau, jiwa yang bergejolak, belum tenang (anteng-manteng), belum mau mengendap (menep).
Badan wadag-lah yang
secara lahir dapat memperjalankan fisik, sedang kekuatan batin yang menuntun perjalanan
ruh juga jiwa. Kita sering mendengar bahwa orang Jawa dipengaruhi dengan
kesadarannya untuk mengolah ruhani. Karena kesukaan dengan olah batin ini,
menjadikan penempuh laku ruhani untuk serta merta membersihkan sekaligus
melatih jiwa pada setiap waktu dan kondisi. Melatih jiwa dan menguatkannya agar sumeleh, mengurangi ingin
akan hal yang tidak mungkin, membatasi pada titik henti butuh dan tidak berlebih-lebihan.
Dengan begitu orang akan berpikir positif sehingga hidupnya akan lebih baik.
Berpikir merupakan sebuah prosesi wajib bagi yang mau menjaga laku sebelum
melangkah bertindak dan berperilaku.
“Rahayuning bawana kapurba
waskitaning
manungsa,
Dharmaning manungsa
mahanani rahayuning nagara,
Rahayuning manungsa
dumadi karana kamunangsane!"
(Tri Satya Brata)
Kesejahteraan dunia
tergantung
kepada manusia yang memiliki ketajaman rasa,
tugas utama manusia
adalah menjaga keselamatan
negara, keselamatan
manusia
ditentukan pada
tata
perilakunya dan rasa kemanusiaannya. (Tri Satya Brata).
Matursembahnuwun..! Widjsoen.