Reformasi
birokrasi yang menjadi agenda besar Pemerintah RI dalam satu dekade terakhir
telah mengubah pola kerja di kantor-kantor pemerintahan. Kini seluruh instansi
pemerintah dituntut untuk berorientasi pada budaya kerja anti korupsi,
berkinerja tinggi, dan memberikan pelayanan publik yang semakin berkualitas.
Kepuasan stakeholder menjadi faktor penting yang digaungkan di setiap
kesempatan.
Sebetulnya
siapa saja kelompok stakeholder instansi pemerintah? Freeman (1984) dan Freeman
dkk (2010) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan/organisasi.
Umumnya, pihak yang dianggap sebagai stakeholder utama adalah para konsumen.
Bagi instansi pemerintah, konsumen di sini adalah para pengguna layanan dan
masyarakat secara umum. Tidak hanya sebatas itu, kelompok masyarakat lain juga
merupakan stakeholder instansi pemerintah, misalnya seperti pelaku bisnis,
politikus, instansi pemerintah lain, dan sebagainya.
Selain
para pihak eksternal, stakeholder suatu instansi pemerintah juga mencakup
seluruh pegawainya. Mengutip Lambert (2012) pada Freudenreich dkk (2020),
pegawai kerap tidak dianggap sebagai kelompok stakeholder, dan lebih sering
dianggap sebagai sumber daya atau aset intelektual. Padahal mereka memiliki
pengetahuan, kemampuan, dan aktivitas yang merupakan aspek kritis dalam proses
pencapaian tujuan perusahaan/organisasi. Para pegawai berperan besar dalam
pelaksanaan program, layanan, dan inovasi, sekaligus juga menjadi “wajah”
organisasi karena merekalah yang bersinggungan langsung dengan pengguna
layanan.
Organisasi
mengelola pegawainya sejak dari proses perekrutan hingga pemutusan hubungan
kerja. Selama aktif bekerja, pegawai diharapkan terlibat dalam proses
penciptaan nilai dengan mencurahkan pengetahuan dan kemampuannya, dan sebagai
imbalan akan mendapat gaji, tunjangan, pelatihan, hak cuti, dan manfaat sosial
lainnya. Konsep ini memiliki tendensi memperlakukan pegawai sebagai pihak yang
pasif, bukan sebagai stakeholder aktif. Padahal sebagai manusia yang memiliki
kebutuhan dan harapan, pegawai memiliki karakteristik yang berbeda dari jenis
sumber daya lain. Dengan pendekatan manajemen stakeholder dalam
mengelola sumber daya manusia, proses penciptaan nilai dilakukan bersama dan
untuk pegawai sebagai salah satu kelompok stakeholder.
Di
Kementerian Keuangan, pengelolaan sumber daya manusia (SDM) terus diperbaiki
dan ditingkatkan dari waktu ke waktu. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
hal yang dapat di-highlight sebagai kemajuan dalam manajemen pegawai
Kemenkeu antara lain digitalisasi data pegawai melalui aplikasi HRIS, kebijakan
remunerasi pegawai, fasilitas diklat online melalui aplikasi Kemenkeu Learning
Center (KLC), assessment center dan uji kompetensi yang berdasarkan
sistem merit, manajemen talenta, serta Internal Job Vacancy (IJV). Data
kepegawaian yang lengkap dan terintegrasi akan memudahkan proses staffing
dan profiling pegawai. Selain itu, di sisi pegawai, digitalisasi dan
penyimpanan dokumen kepegawaian tentu akan mempermudah proses administrasi
misalnya seperti kenaikan pangkat.
Terkait
program pengembangan pegawai, Kemenkeu kini juga memfasilitasi pegawainya dengan
layanan belajar daring melalui aplikasi KLC. Aplikasi ini menjadikan proses
pembelajaran dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, sesuai dengan tagline
yang diusung yaitu “Belajar Tanpa
Batas”. Selanjutnya, para pegawai yang telah memenuhi kriteria juga
dapat masuk dalam sebuah talent pool yang dikembangkan untuk menyiapkan pegawai
pada posisi tertentu baik di struktural maupun fungsional. Pertanyaan dasar
yang perlu disampaikan kembali pada titik ini adalah “Apakah terdapat sarana
bagi pegawai untuk menyampaikan aspirasi, minat, bakat, maupun kebutuhan yang
di luar rencana organisasi untuk mereka?”
Kemenkeu
jelas telah mengambil langkah untuk memastikan para pegawainya dapat menyampaikan
preferensi masing-masing dalam pengembangan diri. Selain terus melengkapi formasi
fungsionalnya, Kemenkeu pada 2021 membuka program IJV yang memungkinkan para
pegawai untuk “memilih” langsung unit kerja yang diinginkan. Meski masih belum
spesifik hingga ke variabel terkecil, namun melalui program ini, para pegawai
yang berminat dapat mengikuti seleksi untuk bekerja dan ditempatkan di unit
yang diinginkan. Sebelumnya, sangat sedikit pilihan yang dapat diambil oleh
seorang pegawai Kemenkeu, selain mengikuti keputusan organisasi untuk ditempatkan
di unit kerja. Bahkah, banyak juga yang “terjebak” ke posisi-posisi tertentu
yang bukan merupakan jenis pekerjaan yang disukai. Bukankah pada umumnya
manusia akan lebih bersemangat dan produktif ketika bekerja dalam bidang yang
menjadi minatnya?
Untuk
mengetahui minat, bakat, dan kemampuan pegawai yang tidak tampak di basis data
kepegawaian, pada akhir 2021 lalu Biro SDM Kemenkeu memulai sebuah survei
bertajuk Pemetaan&Peminatan Keahlian/Kemampuan Teknis. Seluruh pegawai
Kemenkeu diwajibkan untuk mengisi survei tersebut. Di dalamnya pegawai
dihadapkan pada kurang lebih sembilan belas pilihan keahlian. Pilihan yang
disediakan tidak hanya meliputi keahlian teknis seputar core business
Kemenkeu saja, tapi juga meliputi keahlian umum seperti kehumasan, hukum, enterprise
architecture, statistika, teknik, dan teknologi informasi. Partisipan
survei diminta untuk memilih bidang keahlian yang diminati atau dikuasai, serta
mencantumkan referensi pembelajaran yang telah ditempuh di bidang tersebut.
Referensi pembelajaran dapat berupa pendidikan atau pelatihan formal ataupun
otodidak.
Mengelola
lebih dari 80 ribu pegawai bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Namun berbagai
terobosan di bidang kepegawaian yang dilakukan Kemenkeu menunjukkan arah
kebijakan yang memperhitungkan pegawai yang tidak hanya sebagai aset yang
bersifat pasif, namun juga sebagai stakeholder yang dipedulikan
kepuasannya. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan proses value creation
yang timbal balik, tidak hanya bagi organisasi tapi juga bagi pegawai. Pemetaan
minat pegawai memang baru sebuah langkah awal, masih banyak tindak lanjut yang
dibutuhkan, dan banyak program serta kebijakan yang perlu disusun. Namun,
berdasarkan bukti yang ada, dapat diyakini bahwa pengelolaan SDM Kemenkeu
berada di lintasan yang tepat.
Penulis:
Melliana Andriani Susanto/Kasi HI KPKNL Tarakan
Sumber: