Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berulang kali mengingatkan agar aset negara “berkeringat”, agar aset negara “bekerja”. Maksudnya adalah agar aset atau barang milik negara termanfaatkan, diutilisasi secara optimal, dan berkontribusi positif bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Jangan sampai BMN idle, diam menganggur, atau kurang teroptimalkan.
Dari perspektif siklus pengelolaan BMN, ini merupakan fungsi pengawasan dan pengendalian (wasdal) untuk menjamin utilisasi dan kualitas kinerja BMN. Salah satu instrumen untuk memastikan kinerja aset dimaksud adalah evaluasi kinerja BMN (portofolio aset). Asset performance measurement di sektor publik seperti ini juga dipraktekkan di beberapa negara, antara lain di Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Malaysia (Connie S., 2020).
Kerangka kerja evaluasi kinerja portofolio aset sudah disiapkan sejak program Transformasi Kelembagaan digulirkan tahun 2013. Implementasi evaluasi kinerja portofolio aset sendiri dimulai sejak 2019 dengan pelaksanaan piloting. Dengan mendasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No. 349/2018 tentang Tata Cara Evaluasi Kinerja BMN, program ini berlanjut pada tahun 2020-2022 untuk mengukur kinerja objek BMN yang sebelumnya telah diidentifikasi pada saat pelaksanaan revaluasi aset tahun 2017-2018. Pada kurun waktu 3 tahun tersebut, realisasi evaluasi kinerja portofolio aset adalah 21.216 NUP dari target sejumlah 17.339 NUP. Kegiatan ini diteruskan di tahun ini dan selanjutnya.
Evaluasi kinerja aset sektor publik tentunya berbeda dengan evaluasi kinerja aset privat (aset korporasi). Evaluasi kinerja aset privat umumnya lebih simpel sebab indikator yang diatribusikan pada kinerja aset melulu soal profitabilitas (kemampuannya dalam menghasilkan pendapatan). Evaluasi kinerja aset sektor publik lebih kompleks karena kepentingan yang diwakili oleh aset tersebut lebih beragam, tidak saja aspek finansial, tapi juga ekonomi, sosial, mungkin juga lingkungan.
Terdapat 6 indikator dalam evaluasi kinerja portofolio aset ini, yaitu kepentingan umum, manfaat sosial, kepuasan pengguna, potensi penggunaan masa mendatang, kelayakan finansial, dan kondisi teknis. Khusus untuk pengukuran pada indikator kelayakan finansial, BMN yang menjadi objek harus diklasifikasikan dulu sebagai BMN komersial atau BMN non-komersial sebab fokus pengukurannya akan berbeda. BMN komersial merupakan BMN yang dilakukan Pemanfaatan BMN secara signifikan dan menghasilkan PNBP, sedangkan BMN non-komersial adalah kebalikannya. BMN komersial akan diukur performa finansialnya dari sisi profitabilitas (kemampuannya dalam menghasilkan pendapatan), sementara BMN non-komersial dievaluasi kinerja keuangannya dari segi cost efficiency. Oleh karena itu, untuk pengukuran kinerja pada indikator keuangan untuk BMN komersial, diperlukan kalkulasi untuk memperoleh data keuangan seperti return on asset dan profitability index. Adapun untuk pengukuran kinerja keuangan untuk BMN non-komersial, dibutuhkan data harga sewa aset sejenis di area sekitar sebagai bahan perbandingan adanya indikasi efisiensi atau inefisiensi penggunaan aset sendiri.
Evaluasi kinerja portofolio aset dilakukan oleh Pengelola Barang, dalam hal ini oleh KPKNL. Untuk pelaksanaannya, KPKNL membentuk tim yang terdiri dari 3 orang dan diketuai Kepala Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara. Tim dapat dibentuk lebih dari satu tergantung kebutuhan. Secara singkat, proses kerja evaluasi kinerja portofolio aset dapat digambarkan sebagai berikut.
Identifikasi
objek evaluasi kinerja portofolio aset
Pertama adalah penentuan objek. Yang menjadi objek evaluasi kinerja
portofolio aset adalah BMN pada Pengguna Barang berupa tanah dan/atau bangunan,
dalam hal ini bangunan gedung. Perlu diingat bahwa aspek cost-benefit
juga dipertimbangkan dalam penentuan objek, sehingga signifikansi objek menjadi
konsideran utama.
2. Pengumpulan data (data
collection).
Data terkait dengan 6 indikator pengukuran kinerja digali melalui
berbagai macam metode, yaitu observasi (pengamatan atas objek), wawancara
dengan pihak terkait, termasuk pengumpulan data sekunder misalnya data dari
BPS. Data BPS ini diperlukan utamanya untuk pengukuran kinerja pada indikator
manfaat sosial, di mana dilakukan analisis atas data-data seperti indeks mutu
hidup, indeks pembangunan manusia, angka gini ratio dan lain-lain.
3.
Pengolahan data (data
processing).
Data yang telah dikumpulkan diinput ke dalam aplikasi SIMAN untuk
pengolahan/kalkulasi data lebih lanjut. Kerangka analisis yang digunakan adalah
metode AHP (analytical hierarchy process). Proses ini akan menghasilkan visualisasi
scorecard yang menunjukkan hasil penilaian evaluasi kinerja portofolio aset,
baik tidaknya performa aset. Terkait aplikasi yang digunakan, saat ini
pelaksanaan evaluasi kinerja portofolio aset masih menggunakan aplikasi SIMAN
v1 Modul Portofolio Aset. Namun, seiring dengan pengembangan SIMAN v2 yang
rencananya akan digunakan secara keseluruhan oleh seluruh Kementerian/Lembaga
mulai 2024, telah disiapkan Modul Evaluasi Kinerja BMN dalam aplikasi SIMAN v2
tersebut.
4.
Penyusunan laporan.
Berdasarkan data berikut analisisnya, disusunlah laporan evaluasi
kinerja portofolio aset. Laporan dibuat per lokasi aset, sehingga beberapa BMN
tanah dan/atau bangunan dalam 1 lokasi cukup dibuatkan 1 laporan. Laporan
dilengkapi dengan rekomendasi dari Pengelola Barang berdasarkan hasil evaluasi
kinerja BMN. Laporan dihasilkan oleh aplikasi. Untuk menjamin kualitas laporan,
Kanwil DJKN melakukan reviu atas laporan.
5.
Penyampaian rekomendasi.
Hasil evaluasi kinerja portofolio aset dikomunikasikan kepada
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melalui penyampaian ikhtisar eksekutif
dari laporan evaluasi kinerja portofolio aset, berikut rekomendasi dari
Pengelola Barang agar pengelolaan BMN terkait menjadi lebih baik ke depannya.
6.
Tindak lanjut rekomendasi.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana kemudian hasil evaluasi kinerja portofolio aset ini dikaji lebih lanjut berdasarkan prioritas dan risikonya, untuk dapat digunakan sebagai masukan dalam memperbaiki struktur portofolio aset negara. Harapannya adalah terwujudnya struktur portofolio aset negara yang paling optimal sesuai dengan prinsip value for money.
Lebih lanjut, barangkali perlu untuk mempertimbangkan kemungkinan indikator lain di luar 6 yang sudah ada sebagai parameter pengukuran kinerja aset. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dalam dunia di mana kesadaran akan isu lingkungan dan keberlanjutan semakin menebal, aspek lingkungan (green aspect) perlu menjadi indikator performa aset.
Dalam konteks yang lebih luas, tantangan lainnya barangkali adalah perlu tidaknya kita mempunyai single asset performance measurement method yang powerful yang memadukan/mengkombinasikan berbagai tools yang saat ini digunakan. Sebagaimana diketahui, saat ini Pengelola Barang mempunyai beberapa platform quality assurance terhadap aset negara, seperti analisis kesesuaian dengan standar barang dan standar kebutuhan (SBSK), evaluasi kinerja BMN, juga analisis mengenai manfaat dan dampak ekonomi dan sosial (AMDES), highest and best use (HBU) analysis. Hipotesisnya, keberadaan single asset performance measurement method akan lebih memadukan gerak Pengelola Barang, sekaligus mencapai efektivitas dan efisiensi yang lebih baik.
Naf’an
Widiarso Rafid (KPKNL Palopo)