Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Medan > Artikel
Transformasi Penyelenggaraan Mediasi di Pengadilan dari Konvensional Menjadi Elektronik
Agung Prasetya
Kamis, 28 Desember 2023   |   540 kali

 

A.  Latar Belakang Mediasi Konvensional

Mediasi merupakan proses perundingan atau permufakatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa/berselisih, yang prosesnya terpisah dari litigasi, dengan dibantu mediator netral dari kalangan hakim ataupun nonhakim dengan meninjau berbagai opsi penyelesaian perselisihan/persengketaan guna mencapai suatu kesepakatan para pihak, dengan jangka waktu tertentu. Dasar hukum yang melatarbelakangi mediasi pertama di Indonesia ialah berdasarkan:

a.   Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal 130 HIR/154 RBg.);

b.      Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

c.      PERMA RI No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

d.      PERMA RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

e.      Keputusan Ketua MA RI No 108/KMA/SK/VI/2016 Tahun 2016 Tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan;

f.       PERMA RI No. 3 Tahun 2022 Tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik.

Perubahan itu merupakan upaya Mahkamah Agung RI untuk menyelenggarakan sistem proses peradilan yang lebih cepat, murah, sederhana dan tentunya mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi sehingga tercipta transformasi sistem mediasi yang kekinian. Regulasi mengenai proses mediasi yang telah diatur tersebut berlaku dalam proses berperkara baik di peradilan umum maupun di peradilan agama.

B.  Ruang Lingkup Mediasi di Pengadilan

Ketika selesai pemeriksaan legal standing (red-keadaan/kedudukan pihak yang memenuhi syarat dan hak menurut hukum) para pihak suatu perkara perdata pada persidangan di pengadilan, proses berikutnya ialah mediasi. Bermula dari Majelis Hakim suatu perkara yang menyampaikan penjelasan mengenai mediasi kepada para pihak kemudian penjelasan itu dituangkan ke dalam pernyataan penjelasan dan ditandatangani oleh para pihak. Dari tahap itu, Majelis Hakim suatu perkara menawarkan penggunaan jasa mediator dari kalangan hakim di Pengadilan tersebut atau juga dapat dilakukan oleh mediator eksternal yang mana biayanya akan ditanggung oleh para pihak jika menggunakan jasa mediator eksternal. Mayoritas penentuan mediator oleh para pihak yang berperkara itu memilih mediator dari kalangan hakim yang bertugas dalam Pengadilan tempat berperkara itu. Kemudian ketika para pihak telah bersepakat, Ketua Pengadilan melalui Majelis Hakim Perkara menunjuk seorang Mediator dari kalangan hakim (selain dari Hakim Pemeriksa Perkara yang memutus) serta menyusun jadwal mediasi.

Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum pihak berperkara wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi. Seluruh perkara perdata yang didaftarkan ke suatu Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek (putusan tanpa kehadiran Tergugat tanpa alasan sah) dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung. Ada pula beberapa sidang perkara yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi, yakni yang telah ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) PERMA RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Namun atas dasar kesepakatan para pihak yang berperkara, jangka waktu Mediasi dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berakhir jangka waktu dari 30 hari kerja yang pertama itu. Atas perpanjangan jangka waktu Mediasi itu, Mediator menyampaikan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai dengan alasannya. Selama berlangsungnya Mediasi, masing-masing pihak berperkara dapat mengajukan Resume Mediasi yang berisikan duduk perkara dan usulan perdamaian, kemudian disampaikan kepada pihak lainnya dan Mediator. Materi perundingan Mediasi juga tidak terbatas pada posita (red-duduk perkara dan dalil) dan petitum (red-hal yang diminta/digugat) gugatan. Hasil dari proses Mediasi dapat berupa berhasil mencapai kesepakatan atau pun tidak berhasil mencapai kesepakatan, dengan masing-masing terdapat konsekuensi hukumnya.

C.  Transformasi Penyelenggaraan Mediasi Elektronik

Melalui PERMA RI No. 3 Tahun 2022 Tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik, para pihak yang bersengketa disediakan opsi oleh pengadilan untuk melaksanakan mediasi secara elektronik. Mediasi Elektronik merupakan alternatif tata cara di pengadilan dalam hal para pihak menghendaki proses Mediasi dengan menggunakan sarana elektronik. Sehingga ketika seluruh pihak yang berperkara sepakat untuk melakukan mediasi secara elektronik, Hakim Pemeriksa Perkara menyerahkan formulir persetujuan Mediasi Elektronik untuk ditandatangani para pihak yang berperkara dan/atau kuasanya. Namun jika salah satu pihak berperkara tidak berkehendak/tidak menyetujui pelaksanaan Mediasi Elektronik, maka Mediasi dilaksanakan secara konvensional/kehadiran fisik. Penyelenggaraan Mediasi Elektronik berlandaskan prinsip-prinsip yaitu:

a.      Sukarela;

b.      Rahasia;

c.      Efektif;

d.      Aman;

e.      Akses terjangkau.

Proses Mediasi secara konvensional/fisik dengan elektronik sebenarnya tidak berbeda secara substantif, hanya tataran formil bentuk penyelenggaraannya yang berbeda. Pada Mediasi Elektronik mengandung fleksibilitas yang cukup kepada para pihak berperkara dalam hal pemilihan bentuk Mediasi apakah akan diselenggarakan secara konvensional atau Elektronik, kemudian dalam hal penentuan Aplikasi/Ruang Virtual Mediasi Elektronik. Mediator mengajukan usulan kepada para pihak berperkara untuk menentukan Aplikasi yang dapat digunakan dalam menyelenggarakan pertemuan dan pengiriman dokumen elektronik. Dari penentuan Aplikasi itu, para pihak berperkara wajib mempertimbangkan segi efektivitas, efisiensi, dan kemudahan dalam penggunaan serta biaya, kemudian penentuan pemilihan Aplikasi itu dituangkan dalam suatu persetujuan tertulis. Soal biaya penyediaan Ruang Virtual terkait Aplikasinya termasuk yang harus diperhatikan para pihak berperkara karena akan ditanggung oleh para pihak berperkara.

Bagi Mediator hakim harus melakukan proses Mediasi Elektronik dari ruang mediasi di pengadilan. Namun dalam keadaan tertentu, Mediator hakim dapat melakukan proses Mediasi di luar ruang mediasi di pengadilan dengan tetap menjaga prinsip kerahasiaan. Kemudian bagi Mediator nonhakim bersertifikat dapat melakukan proses Mediasi Elektronik dari ruang mediasi di pengadilan atau tempat lain yang disetujui oleh para pihak. Salah satu dari pihak berperkara pun dapat menggunakan ruang Mediasi di pengadilan untuk melakukan pertemuan Mediasi Elektronik dengan pertimbangan keterbatasan akses teknologi informasi dan komunikasi yang tetap disetujui tertulis oleh pihak lainnya.

Jika dalam proses Mediasi Konvensional, para pihak berperkara yang menyampaikan Resume Mediasi secara fisik, maka dalam Mediasi Elektronik, penyampaian E-Resume (red-bentuk Resume secara elektronik) melalui Sistem Informasi Pengadilan. Di sisi lain, dalam hal Para Pihak tidak beracara/bersidang secara elektronik, dan memilih Mediasi Elektronik, maka Para Pihak menyampaikan Resume kepada Mediator secara elektronik. Mediator dalam proses Mediasi Elektronik berwenang menjelaskan jadwal pertemuan dan etika pertemuan Mediasi Elektronik kepada para pihak berperkara. Panggilan pertemuan Mediasi Elektronik kepada para pihak oleh Mediator juga dilakukan secara elektronik melalui alamat virtual Mediasi Elektronik, serta itu merupakan panggilan yang sah dan patut. Ada pula batasan dalam Mediasi Elektronik bagi para pihak berperkara yakni dilarang mengambil foto dan perekaman secara audio atau audio visual selama pertemuan Mediasi Elektronik. Mediator melaporkan hasil Mediasi Elektronik kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara melalui Sistem Informasi Pengadilan. Kemudian jika hasil Mediasi Elektronik berhasil mencapai kesepakatan, maka kesepakatan perdamaian itu dilakukan oleh para pihak berperkara dengan bantuan Mediator melalui sarana elektronik dengan pembubuhan tanda tangan elektronik. Namun jika para pihak tidak memiliki tanda tangan elektronik yang tervalidasi, maka penandatanganan kesepakatan perdamaian dapat dilakukan secara manual dalam suatu pertemuan fisik antara para pihak berperkara dengan Mediator.

Penafian/Penyangkalan: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Referensi:

a.      SEMA RI No. 1 Tahun 2002

b.      PERMA RI No. 2 Tahun 2003;

c.      PERMA RI No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

d.      PERMA RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;

e.      PERMA RI No. 3 Tahun 2022 Tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik.

Penulis: Agung Prasetya

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini