“Lahhh, ada yang ketangkep lagi nih”
cuit kawan saya di grup whatsapp alumni Prodip angkatan 2000, dini hari
menjelang sahur. Tak lupa kawan tersebut menyertakan link berita satu media
nasional yang menampilkan dengan jelas salah satu pejabat yang tertangkap
tangan lembaga rasuah.
Sontak grup whatsapp menjadi
ramai dengan komentar dan celotehan. Sebagian anggota grup memberikan komentar
bernada hujatan ala haters, sebagian lagi membeberkan biografi si oknum pejabat secara
lengkap ala intelijen, sebagian lagi mengulik media sosial si oknum layaknya
admin lambe turah.
Namun, sesaat menjelang azan shubuh, seorang anggota grup yang memang terkenal bijak (selama berkuliah di kampus Jurang Mangu Timur, si kawan ini selalu di-tua-kan oleh mahasiswa satu angkatan) menulis komen: "10 hari menjelang lebaran idul fitri, saat umat berbondong-bondong iktikaf di masjid, saat emak-emak sedang pusing memilih untuk menghidangkan kue nastar ataukah kastengel, saat bapak-bapak menimbang-nimbang apakah mau memasang keramik ataukah batu alam, saat para mudikers sedang menyusun jadwal untuk packing dan hunting oleh-oleh, ehhh ini ada oknum pejabat yang malah sibuk memperkaya diri sendiri dengan cara-cara yang keliru, sungguh terlalu, menodai Ramadhan dengan korupsi, jangan ditiru yaa kawan-kawan“ demikian cuitnya.
Di satu sisi, tidak berlebihan
memang komentar kawan tersebut. Bayangkan saja, di bulan suci, saat manusia berserah
diri kepada sang Khaliq melalui ibadah puasa, masih ada oknum yang sempat-sempatnya
memanfaatkan kewenangannya untuk menangguk keuntungan secara ilegal. Namun jika
dikaji lebih dalam, perlu disadari juga bahwa tindak pidana korupsi pada
dasarnya tidak memandang waktu dan tempat. Salah satu teori penyebab korupsi yaitu
Willingness and Opportunity to Corrupt menyebutkan bahwa korupsi terjadi jika
terdapat kesempatan atau peluang dan adanya niat atau keinginan. Kesempatan
atau peluang untuk korupsi bisa terjadi karena adanya kelemahan sistem atau
kurangnya pengawasan. Niat atau keinginan biasanya didorong oleh kebutuhan
hidup maupun karena keserakahan.
Kombinasi kedua faktor tersebut memperbesar
potensi terjadinya tindak pidana korupsi. Namun demikian, menurut opini
penulis, faktor niat atau keinginan lebih dominan dalam mendorong terjadinya
korupsi. Logikanya, suatu sistem yang diciptakan pasti akan mempunyai celah,
karena tidak ada sistem yang sempurna. Celah tersebut akan membuka ruang
kesempatan untuk terjadinya tindakan korupsi. Namun apabila para pegawai tidak
memiliki niat, niscaya tindak pidana korupsi itu tidak akan terjadi, meskipun
potensi korupsi tetap ada.
Berbeda halnya jika sejak awal sudah
timbul niat. Walaupun tidak terdapat celah sistem, segala cara akan dicari
untuk mengakali sistem dan memanipulasi regulasi, demi menangguk keuntungan
secara ilegal. Kadar niat ini tergantung kepada tingkat integritas
masing-masing individu yang kemudian secara kolektif membentuk integritas
organisasi.
Bicara tentang integritas, empat
bulan silam, tepatnya tanggal 14 Desember 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) merilis hasil Survey Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2022. Survey yang
telah digelar sejak tahun 2007 ini dilakukan untuk mengukur risiko korupsi di
suatu kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah. Pada tahun 2022, survey
dilakukan di 508 pemerintah kabupaten/kota, 98 kementerian/lembaga, dan 34
provinsi dengan melibatkan total 392.785 responden.
Secara nasional. Indeks SPI Tahun
2022 sebesar 72. Jika dibandingkan hasil SPI Tahun 2021, angka ini turun 0,4
poin. Bagaimana dengan nilai indeks integritas Kementerian Keuangan Tahun 2022?
Berdasarkan hasil survei dan pengolahan data KPK, indeks integritas Kemenkeu
tahun 2022 sebesar 91,04. Namun, terdapat penyesuaian berdasarkan pelaksanaan
FGD dan faktor koreksi sehingga nilai akhir indeks integritas Kemenkeu tahun
2022 sebesar 89,45. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar 0,91 poin
dibandingkan dengan indeks integritas Kemenkeu tahun 2021 sebesar 90,37.
Lantas, apa urgensi survey tersebut?
Pada dasarnya, SPI menggambarkan nilai integritas sebuah lembaga atau instansi.
Makin rendah nilai SPI membuktikan makin rendahnya integritas yang berdampak
pada makin tingginya risiko korupsi di tempat tersebut.
Integritas merupakan antitesis dari
korupsi. Oleh karena itu, kesadaran akan adanya risiko
korupsi di pemerintahan, kementerian, atau lembaga perlu diciptakan maupun terus
ditingkatkan, salah satunya melalui publikasi hasil SPI. Publikasi ini juga
akan mendesak dilakukannya perbaikan sistem pada organisasi agar tidak ada lagi
celah korupsi.
Mengingat tren korupsi banyak
dilakukan oleh pejabat publik melalui penyelahgunaan kekuasaan untuk
tujuan-tujuan ilegal, maka menurut penulis, penguatan integritas para pejabat publik perlu untuk
terus ditingkatkan secara berkesinambungan. Salah seorang akademisi dan cendekiawan
muslim Indonesia, Azyumardi Azra, pernah berujar “Penguatan integritas
para pejabat publik yang berada pada sektor publik kepemerintahan dan juga
dalam otoritas pada sektor swasta serta masyarakat secara keseluruhan terbukti
di banyak negara sebagai salah satu cara efektif untuk membangun sikap dan
kesadaran dalam pemerintahan dan publik yang holistik dalam memberantas atau
setidak-tidaknya mengurangi korupsi secara lebih efektif. Dan, lebih jauh,
adanya integritas mampu memberikan dukungan bagi terciptanya good
governance.”
Mari kita tingkatkan integritas dimanapun,
kapanpun, dan dalam situasi apapun, baik saat dilihat orang maupun saat tiada
seorangpun melihat. Seperti nasehat populer dari seorang sastrawan Inggris, C.J
Lewis “Integritas adalah melakukan hal yang benar, ketika tidak ada yang
melihat.” Karena, integritas adalah mata uang kita, melalui integritas, orang akan menilai seberapa besar dignity kita.