Dewasa ini, pengelolaan kinerja
menjadi salah satu tools yang diterapkan pada seluruh instansi pemerintah.
Kinerja yang dikelola secara sistematis mulai dari puncak pimpinan sampai level
terbawah akan membawa organisasi mencapai tujuan dan misi yang telah
dirumuskan.
Namun, mengelola kinerja bukanlah
hal yang mudah dan menjadi sebuah tantangan tersendiri yang harus dihadapi
setiap pimpinan organisasi. Robert Baccal dalam bukunya yang berjudul Performance
Management (2005) menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi setiap top manajer adalah
bagaimana menemukan cara mengelola kinerja organisasi dan menyiapkan
segala sesuatu yang diperlukan dalam rangka melaksanakan tugas, mendorong
jajarannya untuk melakukan pekerjaan dengan benar sekaligus membantu organisasi
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, factor kepemimpinan
(leadership) memegang peranan yang sangat penting. Top manajer diharuskan
memiliki semangat “ing ngarso sung tulodho” (di depan memberikan contoh), ing
madyo mangun karso (di tengah-tengah jajarannya mampu membaur dan melaksanakan
tusi secara bersama-sama), dan “tut
wuri handayani” (mendorong jajarannya untuk melaksanakan tugas sesuai job
description dan target kinerja masing-masing).
Top
manajer dituntut untuk mampu melakukan komunikasi mengenai misi, visi, strategi,
kebijakan dan proses organiasi di seluruh level
organisasi. Dia
juga diharuskan mampu menciptakan dan mempertahankan nilai-nilai bersama,
keadilan dan model etis untuk perilaku di semua tingkat organisasi, menginspirasi, mendorong
serta mampu memberdayakan dan mengakui
kontribusi jajarannya.
Namun demikian, tetap diperlukan
dukungan dan komitmen dari seluruh jajaran di bawahnya. Tanpa adanya dukungan dari
jajaran, seluruh rumusan kebijakan hanyalah narasi-narasi di atas kertas. Tanpa
adanya komitmen dari jajaran, seluruh upaya yang dicontohkan, dibaurkan, dan
didorong oleh top manajer akan berhenti di tempat.
Menurut Mowday et.al. dalam Meyer
& Allen (1997), komitmen organisasi merupakan tingkat identifikasi dan
keterlibatan individu dalam suatu organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa
komitmen organisasi memiliki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif,
tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan pegawai dalam memberikan kontribusi
yang berarti pada organisasinya. Melalui komitmen, pegawai tidak hanya sekedar
menjadi perangkat organisasi, tapi lebih dari itu, mereka mempunyai rasa
memiliki (sense of ownership) dan tanggung jawab atas berputarnya roda
organisai untuk mencapai tujuan bersama.
Kolaborasi antara dua factor tersebut
niscaya akan menjadikan katalisator dalam pertumbuhan dan sustainability organisasi.
Organisasi tidak sekedar mencapai tujuan, namun lebih jauh lagi, organisasi
akan survive dalam menghadapi segala macam tantangan dan perubahan yang
terjadi.
Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi
Kepatuhan Internal KPKNL Lhokseumawe