Hobi kok korupsi. Kalimat pendek
itu terlontar dari kolega penulis saat menyaksikan berita beberapa pejabat yang
terciduk operasi tangkap tangan Komisi Pemberantaran Korupsi (KPK). Benar juga ya, kok para oknum tersebut
menjadikan korupsi sebagai hobi alias kebiasaan. Padahal dalam seluruh kitab
agama , umat dilarang untuk mencuri atau melakukan perbuatan nista lainnya,
termasuk tentunya korupsi. Dan pemerintahan di negara manapun pasti juga melarang
tindak pidana tersebut. Lhaa ini sudah jelas-jelas dilarang, tapi kok masih ada
sebagian oknum yang mempraktekkannya, bahkan menjadikannya sebuah hobi. Korupsi
kok dijadikan hobi.
Harus diakui, tindak pidana yang
berasal dari bahasa latin, corruptus ini memang merajalela di permukaan bumi.
Tidak hanya di Indonesia, nyaris di seluruh belahan dunia praktek-praktek
korupsi dengan segala macam modusnya acap ditemui. Tidak hanya di institusi
publik, institusi privat pun menjadi ajang tindak pidana ini. Ada pelaku yang
memang sudah berniat sedari awal, ada yang ikut-ikutan, ada yang karena melihat
kesempatan, ada juga yang awalnya tidak tahu menahu tapi ketika turut menangguk keuntungan
dari tindak pidana tersebut, merekapun larut didalamnya.
Pertanyaan terbesarnya adalah,
kenapa korupsi bisa terjadi? Atau dengan kata lain, mengapa seseorang atau
sekumpulan orang melakukan tindakan korupsi?
Beberapa ahli telah merumuskan
teori-teori atas terjadinya korupsi, antara lain Robert Kitgaard yang terkenal
dengan teori CDMA_nya (Corruption = Directionary + Monopoli – Accountability).
Kitgaard menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan
monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas.
Sedangkan ahli yang lain, Jack
Bologne, merumuskan terjadinya korupsi dengan metode GONE (Greed + Opportunity
+ Need + Expose). Menurut Bologne, korupsi dapat terjadi karena adanya
keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan
pengungkapan (expose). Individu pelaku korupsi lekat dengan sifat serakahnya.
Organisasi, insitusi, maupun masyarakat dalam keadaan tertentu membuka faktor kesempatan
bagi seorang individu untuk berbuat curang, antara lain dengan pembiaran atau tidak melaporkan jika melihat adanya tindak kecurangan. Faktor kebutuhan hidup juga
berpotensi melecut seseorang untuk berbuat korupsi. Semakin tinggi kebutuhan dan gaya hidup yang tidak diimbangi dengan pemasukan yang sah, individu akan mencoba-coba mencari celah untuk berbuat curang. Sementara faktor
pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang ditanggung oleh
pelaku korupsi apabila tertangkap, dimana ketegasan penegakan hukum menjadi salah satu komponen dalam unsur ini.
Dari beberapa teori
tersebut, penyebab korupsi dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal (ketamakan, keserakahan,
moralitas yang rendah, serta gaya hidup hedonism) dan faktor eksternal
(kepentingan politik dalam rangka mempertahankan jabatan/posisi, budaya
organisasi, kurang memadainya sistem akuntabilitas, dan lemahnya pengendalian
manajemen). Dan kedua faktor tersebut, menurut John Dalberg-Acton biasanya lekat
dengan kekuasaan. John Dalberg-Acton menyatakan bahwa power tends to
corrupt, but absolute power corrupts absolutely (sifat kekuasaan
selalu memiliki kecenderungan yang disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti
disalahgunakan). Oleh karena itu, setiap negara idealnya membatasi kekuasaan
dengan menciptakan suatu aturan atau menggunakan hukum yang telah berlaku.
Pernyataan Acton itu tidak
berlebihan. Menurut sejarah, salah satu perusahaan dagang terbesar di dunia,
ambruk gara-gara mabuk kekuasaan dan korupsi merajalela di tubuh organisasinya.
Perusahaan dagang itulah yang pernah mengeruk kekayaan nusantara berupa
rempah-rempah dan sumber daya yang lain selama berabad-abad lamanya. Perusahaan itu adalah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dilansir dari
website DutchReview.com, asset VOC diestimasi sebesar USD7,9 trilun. Jika memakai
valuasi kurs hari ini, kekayaannya sama dengan gabungan kekayaan 20 perusahaan
top dunia, semisal Apple, Google, Amazon, atau Microsoft. Namun, eksistensi VOC
yang didirikan pada tahun 1602 hanya mampu bertahan sekitar 200 tahun saja.
VOC yang bergelimang harta
kekayaan dan asset, tamat dikarenakan korupsi yang dilakukan aparat-aparatnya.
Praktik-praktik suap, jual beli jabatan, sampai upeti dari bawahan kepada
atasan mendorong para pegawai VOC untuk berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi
dan sumber dana agar dapat menduduki suatu posisi penting. Setelah mendapatkan
posisi, mereka akan berlomba-lomba untuk mempertahankannya sembari mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan organisasi. Akibatnya,
organisasi menjadi tidak sehat. Lambat laun, akibat praktik korupsi yang semakin merajalela, VOC semakin rapuh,
ibarat tumor ganas yang tidak kunjung diobati atau diamputasi. Dan akhirnya,
pada tahun 1799, perusahaan dagang yang kaya raya itupun kolaps dan bangkrut. Setelah bangkrut, akronim VOC pun diplesetkan dari Vereenigde Oostindische Company (Perusahaan
Dagang Hindia Timur Belanda) menjadi vergaan onder corruptie (hancur karena
korupsi).
Beralih ke kondisi hari ini,
tidak dipungkiri praktik-praktik korupsi masih acap dilakukan oleh oknum-oknum
yang memiliki kekuasaan atau kewenangan. Merujuk quote dari John Dalberg-Acton di atas tadi,
dapat ditafsirkan bahwa sekecil apapun kewenangan yang dimiliki seseorang,
potensi korup tetap ada. Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama untuk
bersama-sama saling bahu-membahu dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Sesuai undang-undang, upaya pemberantasan korupsi memang menjadi tugas
lembaga KPK. Namun masing-masing dari kitapun dapat berperan untuk mendukung
upaya itu. Memulai niat bekerja adalah ibadah, semenjak dari rumah untuk menuju
kantor, dan bekerja sesuai aturan dan norma adalah salah satunya. Jika bukan
kita yang peduli pada keberlangsungan institusi serta bangsa dan negara ini,
siapa lagi? Cukuplah VOC yang runtuh kejayaannya karena “ditelan” korupsi.
Cukup VOC saja.
Selamat Hari Anti Korupsi
Sedunia, 9 Desember 2021.
Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan
Informasi KPKNL Kisaran.