Yeeaayyy libur lagi, demikian
celoteh beberapa keponakan penulis awal triwulan kedua tahun lalu. Walaupun
sebenarnya bukan libur, melainkan metode belajar diubah dari tatap muka menjadi
daring, namun yang namanya anak-anak, sebagian tetap menganggap belajar dari
rumah adalah hari libur. Ahhh, dulu, duluuu sekali, kitapun demikian. Entah
sekarang setelah memasuki dunia kerja, yang telah menghadapkan kita dengan work
timelines dan target kinerja.
Dan itu juga yang pertama-tama
dirasakan oleh sebagian para guru sebagai tenaga pendidik. Ada perasaan lega membayangkan
setiap hari tidak perlu lagi untuk terburu-buru berangkat ke sekolah,
menyiapkan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka, menagih pekerjaan
rumah yang telah ditugaskan di hari-hari sebelumnya. Namun seiring berjalannya waktu,
ditemukan fenomena dimana sebagian tenaga pendidik mengaku kewalahan menghadapi
proses belajar mengajar dengan daring maupun kombinasi daring-luring. Mereka mengaku kehilangan feel of interaction yang biasanya didapatkan melalu kegiatan
belajar mengajar tatap muka. Hal tersebut salah satunya dikarenakan minimnya interaksi secara
langsung dengan anak didiknya. Selain itu, para guru dibuat kewalahan dengan “kondisi
yang memaksa” mereka untuk menggunakan teknologi, salah satunya dalam penyusunan
materi belajar mengajar berbasis komputer (video, presentasi, kuis). Padahal waktu
terus berjalan, sedangkan mereka tetap diberikan target untuk mempersiapkan
anak didik dalam menghadapi ulangan harian, ujian tengah semester, ujian
semester, ujian kenaikan kelas, maupun ujian akhir.
Pun demikian dengan anak didik
maupun orang tua didik. Anak didik lambat laun merasakan kebosanan karena “harus”
setiap hari belajar melalui media daring. Mereka merindukan suasana interaksi dan
intimasi dengan teman sebaya maupun guru-gurunya. Belum lagi dengan proses transfer
ilmu dari guru yang hanya bisa disaksikan melalui video, tidak secara langsung.
Ada momen-momen penting yang hilang di usia pendidikan mereka. Orang tua didik
juga tidak kalah kewalahan. Selain harus menyiapkan dan mengawasi anak-anak
untuk selalu mengikuti KBM melalui daring (agar tidak bolos), merekapun harus memastikan
sarana prasarana untuk anak-anak, mulai dari gadget sampai ketersediaan kuota
internet.
Tanpa disadari, pandemi telah
membawa suatu “pemaksaan” kepada seluruh pihak dalam proses KBM, salah satunya dengan memaksimalkan penggunaan teknologi digital (digitalisasi). Pandemi menyadarkan kepada kita bahwa
digitalisasi merupakan era yang tidak akan terbendung. Sekarang atau nanti,
penggunaan perangkat digital dengan segala turunannya merupakan kenisccayaan,
tidak hanya dalam dunia pendidikan, namun dalam segala bidang. Guru “dipaksa”
untuk belajar menyusun presentasi maupun konten video edukasi. Anak didik “dipaksa”
untuk mempelajari presentasi, video edukasi dari guru-guru, maupun tugas-tugas
sekolah berbasis extension file komputer. Orang tua pun “dipaksa” untuk
mempelajari operasionalisasi dan pernak-pernik media daring, gadget maupun softwarenya. Kondisi-kondisi
tersebut pada akhirnya berhasil mengubah cara berfikir (the ways
of thinking), cara belajar (the ways of learning) dan
cara bersikap (the ways of behave) bagi seluruh pihak yang terkait dalam proses KBM.
Memang harus diakui, era digital adalah keniscayaan. Namun demikian,
menurut hemat penulis, era digital tetap perlu diimbangi dengan sisi humanisme KBM.
Interaksi antara guru dengan murid, maupun anak didik dengan teman sebayanya
perlu untuk dipertahankan. Agar guru tidak kehilangan feel of interaction. Agar
anak didik tidak kehilangan nilai-nilai sosial yang terbentuk dari interaksi di
sekolah. Agar orang tua pun tetap mendapatkan jaminan bahwa anak-anaknya mendapatkan masa-masa dan momentum di usia pendidikannya serta nilai-nilai moral-etika dari para tenaga pendidik.
Dunia boleh berubah. Era digital
telah datang dan harus dihadapi. Pandemi pun telah mengajarkan kepada kita bahwa
digitalisasi merupakan suatu keniscayaan. Namun, pendidikan tatap muka tetap
harus diberikan secara proporsional. Agar marwah belajar mengajar tidak
kehilangan jati dirinya. Agar anak-anak kita, generasi penerus tetap bisa
berinteraksi dengan guru maupun teman-teman sebaya. Agar mereka tidak
kehilangan nilai-nilai sosial, baik itu interaksi, kolaborasi, maupun intimasi
dengan teman maupun gurunya. Seperti petuah bijak yang dikatakan BIll Gates, salah satu pendiri Microsoft, bahwa t
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru,
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku,
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku,
Sebagai prasasti terima kasihku, tuk pengabdianmu
(nukilan lagu Hyme Guru, karya Sartono)
Selamat Hari Guru, 25 November 2021
Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan
Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran