Kementerian Keuangan, melalui Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian
Keuangan, telah menetapkan 5 (lima) nilai yang wajib menjadi dasar pelaksanaan
tugas dan fungsi setiap pimpinan dan seluruh pegawainya. Kelima nilai tersebut
adalah Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan. Nilai
Profesionalisme, dalam Keputusan ini, dimaknai sebagai berikut,”Dalam ProfesionaIisme
terkandung makna bahwa dalam bekerja, Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan Kementerian Keuangan melakukannya dengan tuntas dan akurat
berdasarkan kompetensi terbaik dan penuh tanggung jawab dan komitmen yang
tinggi.” Selanjutnya, dalam Keputusan ini pula, nilai Profesionalisme dirinci
ke dalam 2 (dua) bentuk perilaku utama, yaitu memiliki keahlian dan pengetahuan
yang luas dan bekerja dengan hati.
Tulisan singkat ini akan membahas secara
spesifik terkait nilai Profesionalisme dalam spektrum yang lebih umum. Secara
deskriptif, Tulisan ini akan menilik pada berbagai pendapat dan diskursusnya
terkait profesionalisme dalam konteks administrasi publik.
Profesionalisme Administrasi Publik
Dalam catatan James L. Perry, pembahasan
terkait profesi dan profesionalisme dalam konteks administrasi publik dapat
ditelusuri semenjak tahun 1960-an. Perry mengutip pendapat Dwight Waldo yang
menyatakan,”What I propose is that we try to act as a profession without
actually being one, and perhaps even without the hope or intention of becoming
one in any strict sense.”[1] Terkait hal ini, John J.
Gargan berpendapat bahwa keprofesionalan dalam konteks pemerintahan dapat
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu professional in government dan professional
of government. Yang pertama, menurut Gargan, dapat dijelaskan sebagai
berikut,”…professionals
in government, those who have the required “knowledge in a field of science or
learning characteristically acquired through education or training equivalent
to a bachelor’s or higher degree with major study in or pertinent to the
specialized field, as distinguished from general education.” Sedangkan yang kedua, dijelaskan oleh
Gargan yaitu keprofesionalan yang terkait dengan,”…those engaged in the
supervision, management, and administration of public business.”[2]
Dalam konteks Indonesia, Agus Dwiyanto
berpendapat bahwa semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), ASN adalah profesi yang membawa
implikasi bahwa ASN memiliki standar kompetensi, kode etika, dan kode perilaku.[3] Definisi ASN dalam UU ASN
sendiri juga mencantumkan “profesi” sebagai salah satu unsurnya.[4] Pasal 3 UU ASN,
sebagaimana disebutkan Dwiyanto, mengatur bahwa, profesi ASN berlandaskan pada
prinsip yang berupa (a) nilai dasar, (b) kode etik dan kode perilaku, (c)
komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, (d)
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (e) kualifikasi
akademik, (f) jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan (g)
profesionalitas jabatan.
Dalam sebuah laporan, sebuah divisi yang
mengurusi ekonomi dan sosial dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan
terkait makna profesionalisme (dan etika) dalam sektor publik. Selengkapnya
dalam laporan itu ditulis:
“Within the context of this
report, public service professionalism is defined as the overall value that
encompasses all other values that guide the public service. They include
loyalty, neutrality, transparency, diligence, punctuality, effectiveness,
impartiality, and other values that may be specific to the public services of
individual countries. Public service professionalism embraces the notion that
those people who join the public service need to be inculcated with shared
values and trained in basic skills to professionally carry out their official
duties. Complementary to this process is a need to set up management structures
to ensure that a public service ethos and competence is achieved. Public
service ethics is defined as broad norms that delineate how public servants— as
agents of the state and, where applicable, as members of an established
profession such as accounting, law, etc.—should exercise judgment and
discretion in carrying out their official duties.”[5]
Mengapa Profesionalisme Administrasi
Publik Penting?
Dalam menjawab pertanyaan yang menjadi
subjudul bagian ini, sepenuhnya Penulis menyarikan pendapat Paul R. Verkuil
berjudul Valuing Bureaucracy: The Case for Professional Government.
Verkuil berpendapat bahwa selayaknya lembaga-lembaga privat, pemerintahan juga
dapat bekerja dengan baik apabila dikelola oleh profesional (What it takes
to run government well is the same thing it takes to run private firms well:
professional managers who have appropriate levels of competence and dedication.
These professionals are bureaucrats inevitably…).[6] Verkuil juga menulis bahwa
seorang birokrat karir yang profesional dalam pemerintahan memiliki kepakaran
atau expertise yang berasal dari pendidikan dan pelatihan, dua diantara
kepakaran itu adalah terkait kepakaran teknis dan kepakaran politis (Professionals
are said to possess “expertise,” a concept more easily touted than understood.
It results from knowledge gained from experience and abilities acquired through
education and training… Sidney Shapiro has attempted to define its contours. He
identifies many kinds of expertise, but the most salient ones for government
professionals are “craft” and “political” expertise. The former deals with
practical reason and even instinct, and the latter deals with managing an
agency in a political environment… Ultimately expertise leads to professional
judgment. And judgment involves the exercise of discretion. Discretion, which
is inherent in most management decisions, is exercised by those who have been
awarded a level of trust by society.)[7]
Verkuil menambahkan bahwa
profesionalisme ditambah dengan pengalaman akan melahirkan birokrat karir yang
merepresentasikan agency’s cultural knowledge. Peran birokrat karir ini
dapat menjadi komplemen terhadap peran pucuk pimpinan lembaga administratif
yang kebanyakan adalah bukan birokrat karir atau merupakan pejabat publik yang
ditunjuk secara politis (When a newly appointed political leader joins an
agency, an initial challenge is to understand the agency’s mission and culture.
Culture includes the many rules and protocols that are embedded in the agency’s
practices. The problem of conflicting rules or statutes surrounding specific
actions is bound to arise early in the administrator’s tenure. Questions are
raised and answers are sought, but these may not be apparent without deep
knowledge of the situation. Who does the new leader turn to? The general
counsel or division heads may also be newly appointed and unable to explain the
situation. Who is next? The agency professionals. The senior career officials
with experience. They are the ones who embody the agency’s cultural knowledge.
What might take a politically appointed chief of staff or deputy days or weeks
to determine, can be learned quickly from the career staff, if their advice is
sought. Newcomers may know a conflict exists, but only veterans know why. This
is the essence of institutional knowledge…)[8]
Penutup: Memupuk Profesionalisme
Agus Dwiyanto berpendapat setidaknya 4
(empat) hal perlu dilakukan untuk mengembangkan profesionalisme. Satu, Profesionalisme
terwujud dengan adanya pendidikan dan pengetahuan luas yang dimiliki oleh
aparat. Kedua, perlu dilakukan pelembagaan nilai-nilai, sikap, dan perilaku
yang diturunkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta didorong
oleh keinginan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik dan
bermartabat. Ketiga, pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi pengembangan
administrator publik sebagai sebuah profesi yang berdiri sendiri. Terakhir,
adanya ruang untuk mengambil diskresi.[9]
Berdasar penjabaran singkat dalam Tulisan ini, kiranya dapat dipahami bahwa profesionalisme yang telah diadopsi oleh Kementerian Keuangan sejak tahun 2011, bahkan lebih dahulu dibanding berlakunya UU ASN pada tahun 2014 yang secara eksplisit mengatur profesionalitas ASN, merupakan sebuah tema yang secara luas menjadi diskursus. Dengan demikian, sesuai dengan salah satu aspek makna profesionalisme yang terkait dengan peningkatan kompetensi, Tulisan singkat ini diharapkan dapat mengingatkan kembali pemahaman kognitif kita terkait profesionalisme administrasi publik
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1]
James L. Perry, What if We Took Professionalism Seriously?, The 2017 John
Gaus Award Lecture, diakses dari https://www.cambridge.org/core/services/aop-cambridge-core/content/view/D857416870B8CBBB70B2D9CF2AF4FFF8/S1049096517001810a.pdf/div-class-title-the-2017-john-gaus-award-lecture-what-if-we-took-professionalism-seriously-div.pdf
[2]
John J. Gargan, The Public Administration Community and the Search for
Professionalism, dalam Jack Rabin, et.al. (eds), Handbook of Public
Administration (Third Edition), Taylor & Francis Group: New York, 2007,
hlm. 1129
[3]
Agus Dwiyanto, hlm. Reformasi Birokrasi Kontekstual, Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta, 2015, hlm. 117.
[4]
Pasal 1 angka 1 UU ASN berbunyi,”Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya
disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.”
[5]
United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Public
Economics and Public Administration, Professionalism and Ethics in the Public
Service: Issues and Practices in Selected Regions, UN: New York, 2000, hlm. 5.
Diakses melalui https://publicadministration.un.org/publications/content/PDFs/E-Library Archives/2000 Professionalism and Ethics in the Public Service.pdf
[6]
Paul R. Verkuil, Valuing Bureaucracy: The Case for Professional Government,
Cambridge University Press, 2017, hlm. 93
[7]
Ibid, hlm. 98
[8]
Ibid, hlm. 101
[9]
Agus Dwiyanto, supra no. 3, hlm. 117-119.