Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Seputar Profesionalisme Dalam Sektor Pemerintahan
Hadyan Iman Prasetya
Selasa, 19 September 2023   |   277 kali

Kementerian Keuangan, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan, telah menetapkan 5 (lima) nilai yang wajib menjadi dasar pelaksanaan tugas dan fungsi setiap pimpinan dan seluruh pegawainya. Kelima nilai tersebut adalah Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan. Nilai Profesionalisme, dalam Keputusan ini, dimaknai sebagai berikut,”Dalam ProfesionaIisme terkandung makna bahwa dalam bekerja, Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan melakukannya dengan tuntas dan akurat berdasarkan kompetensi terbaik dan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi.” Selanjutnya, dalam Keputusan ini pula, nilai Profesionalisme dirinci ke dalam 2 (dua) bentuk perilaku utama, yaitu memiliki keahlian dan pengetahuan yang luas dan bekerja dengan hati.

Tulisan singkat ini akan membahas secara spesifik terkait nilai Profesionalisme dalam spektrum yang lebih umum. Secara deskriptif, Tulisan ini akan menilik pada berbagai pendapat dan diskursusnya terkait profesionalisme dalam konteks administrasi publik.

Profesionalisme Administrasi Publik

Dalam catatan James L. Perry, pembahasan terkait profesi dan profesionalisme dalam konteks administrasi publik dapat ditelusuri semenjak tahun 1960-an. Perry mengutip pendapat Dwight Waldo yang menyatakan,”What I propose is that we try to act as a profession without actually being one, and perhaps even without the hope or intention of becoming one in any strict sense.[1] Terkait hal ini, John J. Gargan berpendapat bahwa keprofesionalan dalam konteks pemerintahan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu professional in government dan professional of government. Yang pertama, menurut Gargan, dapat dijelaskan sebagai berikut,”professionals in government, those who have the required “knowledge in a field of science or learning characteristically acquired through education or training equivalent to a bachelor’s or higher degree with major study in or pertinent to the specialized field, as distinguished from general education.” Sedangkan yang kedua, dijelaskan oleh Gargan yaitu keprofesionalan yang terkait dengan,”…those engaged in the supervision, management, and administration of public business.[2]

Dalam konteks Indonesia, Agus Dwiyanto berpendapat bahwa semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), ASN adalah profesi yang membawa implikasi bahwa ASN memiliki standar kompetensi, kode etika, dan kode perilaku.[3] Definisi ASN dalam UU ASN sendiri juga mencantumkan “profesi” sebagai salah satu unsurnya.[4] Pasal 3 UU ASN, sebagaimana disebutkan Dwiyanto, mengatur bahwa, profesi ASN berlandaskan pada prinsip yang berupa (a) nilai dasar, (b) kode etik dan kode perilaku, (c) komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, (d) kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (e) kualifikasi akademik, (f) jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan (g) profesionalitas jabatan.

Dalam sebuah laporan, sebuah divisi yang mengurusi ekonomi dan sosial dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan terkait makna profesionalisme (dan etika) dalam sektor publik. Selengkapnya dalam laporan itu ditulis:

“Within the context of this report, public service professionalism is defined as the overall value that encompasses all other values that guide the public service. They include loyalty, neutrality, transparency, diligence, punctuality, effectiveness, impartiality, and other values that may be specific to the public services of individual countries. Public service professionalism embraces the notion that those people who join the public service need to be inculcated with shared values and trained in basic skills to professionally carry out their official duties. Complementary to this process is a need to set up management structures to ensure that a public service ethos and competence is achieved. Public service ethics is defined as broad norms that delineate how public servants— as agents of the state and, where applicable, as members of an established profession such as accounting, law, etc.—should exercise judgment and discretion in carrying out their official duties.”[5]

Mengapa Profesionalisme Administrasi Publik Penting?

Dalam menjawab pertanyaan yang menjadi subjudul bagian ini, sepenuhnya Penulis menyarikan pendapat Paul R. Verkuil berjudul Valuing Bureaucracy: The Case for Professional Government. Verkuil berpendapat bahwa selayaknya lembaga-lembaga privat, pemerintahan juga dapat bekerja dengan baik apabila dikelola oleh profesional (What it takes to run government well is the same thing it takes to run private firms well: professional managers who have appropriate levels of competence and dedication. These professionals are bureaucrats inevitably…).[6] Verkuil juga menulis bahwa seorang birokrat karir yang profesional dalam pemerintahan memiliki kepakaran atau expertise yang berasal dari pendidikan dan pelatihan, dua diantara kepakaran itu adalah terkait kepakaran teknis dan kepakaran politis (Professionals are said to possess “expertise,” a concept more easily touted than understood. It results from knowledge gained from experience and abilities acquired through education and training… Sidney Shapiro has attempted to define its contours. He identifies many kinds of expertise, but the most salient ones for government professionals are “craft” and “political” expertise. The former deals with practical reason and even instinct, and the latter deals with managing an agency in a political environment… Ultimately expertise leads to professional judgment. And judgment involves the exercise of discretion. Discretion, which is inherent in most management decisions, is exercised by those who have been awarded a level of trust by society.)[7]

Verkuil menambahkan bahwa profesionalisme ditambah dengan pengalaman akan melahirkan birokrat karir yang merepresentasikan agency’s cultural knowledge. Peran birokrat karir ini dapat menjadi komplemen terhadap peran pucuk pimpinan lembaga administratif yang kebanyakan adalah bukan birokrat karir atau merupakan pejabat publik yang ditunjuk secara politis (When a newly appointed political leader joins an agency, an initial challenge is to understand the agency’s mission and culture. Culture includes the many rules and protocols that are embedded in the agency’s practices. The problem of conflicting rules or statutes surrounding specific actions is bound to arise early in the administrator’s tenure. Questions are raised and answers are sought, but these may not be apparent without deep knowledge of the situation. Who does the new leader turn to? The general counsel or division heads may also be newly appointed and unable to explain the situation. Who is next? The agency professionals. The senior career officials with experience. They are the ones who embody the agency’s cultural knowledge. What might take a politically appointed chief of staff or deputy days or weeks to determine, can be learned quickly from the career staff, if their advice is sought. Newcomers may know a conflict exists, but only veterans know why. This is the essence of institutional knowledge…)[8]

Penutup: Memupuk Profesionalisme

Agus Dwiyanto berpendapat setidaknya 4 (empat) hal perlu dilakukan untuk mengembangkan profesionalisme. Satu, Profesionalisme terwujud dengan adanya pendidikan dan pengetahuan luas yang dimiliki oleh aparat. Kedua, perlu dilakukan pelembagaan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diturunkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta didorong oleh keinginan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik dan bermartabat. Ketiga, pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi pengembangan administrator publik sebagai sebuah profesi yang berdiri sendiri. Terakhir, adanya ruang untuk mengambil diskresi.[9]

Berdasar penjabaran singkat dalam Tulisan ini, kiranya dapat dipahami bahwa profesionalisme yang telah diadopsi oleh Kementerian Keuangan sejak tahun 2011, bahkan lebih dahulu dibanding berlakunya UU ASN pada tahun 2014 yang secara eksplisit mengatur profesionalitas ASN, merupakan sebuah tema yang secara luas menjadi diskursus. Dengan demikian, sesuai dengan salah satu aspek makna profesionalisme yang terkait dengan peningkatan kompetensi, Tulisan singkat ini diharapkan dapat mengingatkan kembali pemahaman kognitif kita terkait profesionalisme administrasi publik


Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)


[2] John J. Gargan, The Public Administration Community and the Search for Professionalism, dalam Jack Rabin, et.al. (eds), Handbook of Public Administration (Third Edition), Taylor & Francis Group: New York, 2007, hlm. 1129

[3] Agus Dwiyanto, hlm. Reformasi Birokrasi Kontekstual, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2015, hlm. 117.

[4] Pasal 1 angka 1 UU ASN berbunyi,”Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.”

[5] United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Public Economics and Public Administration, Professionalism and Ethics in the Public Service: Issues and Practices in Selected Regions, UN: New York, 2000, hlm. 5. Diakses melalui https://publicadministration.un.org/publications/content/PDFs/E-Library Archives/2000 Professionalism and Ethics in the Public Service.pdf

[6] Paul R. Verkuil, Valuing Bureaucracy: The Case for Professional Government, Cambridge University Press, 2017, hlm. 93

[7] Ibid, hlm. 98

[8] Ibid, hlm. 101

[9] Agus Dwiyanto, supra no. 3, hlm. 117-119.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini