Pengurusan Piutang Negara merupakan keseluruhan
proses yang memiliki arti penting dalam konteks Keuangan Negara. Sesuai dengan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Piutang
Negara merupakan salah satu yang termasuk dalam ruang lingkup pengertian
Keuangan Negara. Sehingga pengurusan Piutang Negara yang optimal akan
memberikan implikasi positif pada pengelolaan Keuangan Negara secara keseluruhan.
Namun demikian, secara empiris pengurusan Piutang Negara dalam rangka mengembalikan sejumlah
uang sebesar yang menjadi hak negara atas piutang tersebut kerap menemui tantangan.
Tantangan-tantangan dalam pengurusan Piutang Negara untuk mengembalikan sejumlah uang yang memang menjadi hak negara dapat terwujud dalam beberapa bentuk atau kondisi. Salah satu kondisi yang menjadi tantangan dalam optimalisasi pengurusan Piutang Negara adalah berkaitan dengan tidak adanya barang jaminan yang dapat
dimanfaatkan untuk membayar hutang milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang. Sejatinya permasalahan ketidakadaan barang jaminan dalam pengurusan
Piutang Negara ini telah diatur dan dimitigasi dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 240 Tahun 2016 tentang Pengurusan Piutang Negara. Pasal 1 angka 20 PMK
tersebut mengatur adanya nomenklatur Harta Kekayaan Lain untuk menyebut harta
kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak dilakukan pengikatan sebagai
jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi
jaminan penyelesaian hutang.
Berdasar Pasal 108 PMK 240/2016,
Harta Kekayaan Lain meliputi (a.) barang tidak bergerak, antara lain tanah,
tanah berikut bangunan, kapal dengan isi kotor lebih dari 20 m3 ( dua puluh
meter kubik); (b.) barang bergerak, antara lain kendaraan bermotor, perhiasan,
furnitur, peralatan elektronik; (c.) surat berharga, antara lain saham,
obligasi, bukti piutang, penyertaan modal; (d.) barang tidak berwujud, antara
lain hak cipta, hak paten, hak merek; dan /atau (e.) uang atau harta kekayaan
yang tersimpan di bank.
Pada tulisan ini akan dibahas
mengenai eksistensi Harta Kekayaan Lain tersebut beserta beberapa topik yang
relevan dengan hal tersebut. Dalam tulisan ini, Penulis juga menyarankan agar
kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terhadap Harta Kekayaan Lain
ini mulai dijadikan sebagai opsi yang diutamakan dalam pengurusan Piutang
Negara, mengingat sifat Piutang Negara saat ini yang jarang disertai adanya
Barang Jaminan.
FENOMENA PASCA PUTUSAN MK NO. 77/PUU-IX/2011
Perjalanan rezim hukum Piutang
Negara telah mengalami dinamika yang cukup berarti setelah diucapkannya Putusan
Nomor 77/PUU-IX/2011 oleh majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut
mengadili pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Amar putusan
dalam Putusan a quo telah membawa
dampak berubahnya ruang lingkup piutang yang dapat diurus oleh PUPN. Pasca
Putusan MK tersebut, PUPN tidak lagi berwenang mengurus piutang yang diserahkan
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan salah satu bentuk BUMN yang masuk
dalam kategori ini adalah perbankan.
Menurut Penulis, dengan adanya
Putusan MK No. 77/PUU-IX/2011 yang berdampak bahwa PUPN tidak lagi berwenang
mengurus piutang bank BUMN memiliki keterkaitan dengan fenomena saat ini yang
jamak ditemui. Fenomena yang dimaksud adalah mayoritas Piutang Negara yang
diurus oleh PUPN saat ini tidak disertai dengan jaminan. Keadaan ini berbeda
dengan Piutang Negara ketika PUPN masih berwenang melakukan pengurusan terhadap
piutang bank BUMN. Hal ini menurut Penulis dikarenakan adanya perbedaan sifat
antara hutang atau kredit yang diberikan oleh bank BUMN dengan Piutang Negara.
Dalam dunia perbankan, untuk
memberikan kredit perbankan dianut adanya teori 5 C, yaitu Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral.
Khusus dalam konteks ini, maka variabel Collateral
perlu menjadi perhatian utama. Variabel Collateral
dimaknai sebagai jaminan yang digunakan untuk berjaga-jaga seandainya
debitur tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Bank harus pandai menilai atau
melakukan taksasi harta kekayaan yang dimiliki oleh calon debitur yang akan
dijadikan jaminan. Agar bank tidak mendapatkan kerugian akibat dari debitur
yang tidak bisa mengembalikan dana tersebut. Biasanya nilai jaminan atau agunan
lebih besar dari utang atau kredit yang diberikan oleh debitur (Lailiyah, 2019)[1].
Hal ini berbeda dengan Piutang Negara yang tidak menganut teori 5 C dalam
pemberian hutang, sehingga dapatlah dimaklumi bahwa Piutang Negara yang saat
ini diurus oleh PUPN jamak ditemui tanpa adanya jaminan.
Dengan demikian dapatlah dipahami
bahwa fenomena saat ini di mana Piutang Negara yang diurus PUPN kerap dijumpai
tanpa adanya jaminan adalah merupakan konsekuensi dari telah hilangnya
kewenangan PUPN dalam mengurus piutang bank BUMN akibat dari Putusan MK No.
77/PUU-IX/2011. Oleh karena keadaan saat ini yang demikian, Penulis berpendapat
bahwa sudah saatnya PUPN dalam pengurusan Piutang Negara mulai berfokus dalam
optimalisasi Harta Kekayaan Lain sebagai upaya untuk mengembalikan hak negara
atas piutang yang dimilikinya.
HARTA KEKAYAAN LAIN DAN JAMINAN UMUM
Jika dicermati definisi Harta
Kekayaan Lain sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu yang termaktub
dalam Pasal 1 angka 20 PMK 240 Tahun 2016, maka dapatlah dipahami bahwa Harta
Kekayaan Lain memiliki sifat yang hampir sama dengan konsep Jaminan Umum yang
dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Jaminan Umum dalam hukum perdata
Indonesia didasarkan pada bunyi Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Pasal a quo selengkapnya
berbunyi,”Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan
perorangan debitur itu.”
Dalam konteks jaminan, hukum
perdata Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam Jaminan Perorangan dan
Jaminan Kebendaan. Kemudian Jaminan Kebendaan tersebut dibagi lebih lanjut
meliputi Jaminan Khusus dengan Jaminan Umum. Jaminan Umum dalam sistem hukum
perdata Indonesia sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diatur dalam Pasal
1131 dan 1132 KUHPerdata. Sedangkan dalam konteks Jaminan Khusus, dalam
perkembangan hukum jaminan kebendaan, saat ini meliputi Gadai (Pasal 1150-1160
KUHPerdata), Hipotik (Pasal 1162-1232 KUHPerdata), Hak Tanggungan
(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996), Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999),
serta Resi Gudang (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 jo. Undang-Undang 9 Tahun 2006) (Abubakar, 2015)[2].
Sistematika hukum perdata
Indonesia yang membedakan antara Jaminan Umum dengan Jaminan Khusus sejatinya
juga dianut dalam rezim hukum Piutang Negara, dalam hal ini PMK 240/2016. Hal
tersebut terlihat dari adanya pembedaan nomenklatur antara Harta Kekayaan Lain
dan Barang Jaminan. Pasal 1 angka 19 PMK 240/2016 menyebutkan bahwa,”Barang
Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang
yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang.” Sedangkan lembaga jaminan
yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah lembaga jaminan khusus sebagaimana
dikenal dalam sistem hukum perdata Indonesia. Sehingga, konsep Barang Jaminan
dalam PMK 240/2016 merupakan Jaminan Khusus, sedangkan konsep Harta Kekayaan
Lain adalah Jaminan Umum.
Pasal 1131 KUHPerdata sebagai
dasar eksistensi Jaminan Umum dalam perikatan hutang-piutang dinilai ”berperan
selaku bentengnya setiap perikatan yang terjadi dalam kehidupan sosial,
sehingga siapapun rekan seperikatan yang menderita rugi akibat ulah sepihak
lain, pasti bakal bisa dipulihkan kendati wajib melewati proses yang sudah
dibakukan” (Isnaeni, 2018)[3].
Selain itu, ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata juga mengandung makna bahwa Jaminan
Umum ini dilahirkan karena undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian
jaminan sebelumnya (Sitompul, 2004)[4].
Pendapat-pendapat tersebut kiranya sejalan dengan Harta Kekayaan Lain yang
memang diatur sebagai sarana pemenuhan kewajiban Penanggung Hutang dan tidak
terdapat perjanjian jaminan sebelumnya terhadap Harta Kekayaan Lain tersebut.
OPTIMALISASI KEWENANGAN PARATE
EXECUTIE
Sejalan dengan kesadaran bahwa PUPN harus mulai
berfokus pada Harta Kekayaan Lain, maka kewenangan PUPN yang selama ini telah
dimilikinya yaitu berupa parate executie
menjadi sangat penting dan sebuah keniscayaan untuk mengusahakannya secara
optimal. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh
PUPN adalah kewenangan parate executie
dalam rangka pengurusan Piutang Negara.
Definisi parate executie yang diberikan oleh doktrin adalah kewenangan untuk
menjual atas kekuasaan sendiri atau parate
executie, diberikan arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditor bisa
melaksanakan eksekusi obyek jaminan, tanpa harus meminta fiat dari Ketua
Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara, untuk itu ada
aturan mainnya sendiri tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu
melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih
murah (Panjaitan, 2018).[5]
Kelebihan parate executie sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya adalah (a.) tanpa didahului sita jaminan dan sita
eksekusi dan (b.) tanpa fiat pengadilan yang keduanya merupakan prosedur
eksekusi sesuai Hukum Acara Perdata yang pada kenyataanya memerlukan waktu yang
panjang dan biaya tidak murah (Poesoko, 2008).[6]
Kewenangan parate executie terhadap Harta Kekayaan Lain yang dimiliki oleh
PUPN harus dilaksanakan secara maksimal, mengingat bahwa Harta Kekayaan Lain
dalam hukum perdata adalah termasuk pada Jaminan Umum. Sedangkan di dalam
konteks hukum acara perdata, untuk memenuhi haknya terhadap Jaminan Umum, kreditor
harus menempuh proses litigasi. Proses litigasi yang harus ditempuh adalah
mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri dan meminta sita jaminan
atas harta kekayaan debitur tersebut (Harahap, 2005).[7]
Dengan adanya kewenangan parate executie,
PUPN tidak perlu menempuh proses litigasi sebagaimana dijelaskan tersebut dalam
rangka eksekusi terhadap Harta Kekayaan Lain.
Selain itu, kewenangan parate executie terhadap Harta Kekayaan
Lain juga harus secara optimal dilaksanakan mengingat sifat Jaminan Umum yang bukan
merupakan jaminan bagi kreditur preferen. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
bahwa Jaminan Umum diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menurut J. Satrio
Pasal a quo mengandung makna asas
-asas hubungan ekstern kreditor yang meliputi:
Selanjutnya patut dipahami pula
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,”Barang-barang itu
menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan
barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila
di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.” Makna
ketentuan Pasal 1132 tersebut adalah bahwa Jaminan Umum berkedudukan hanya
sebagai kreditur konkuren[9],
tanpa ada keistimewaan. Oleh karenanya Harta Kekayaan Lain yang merupakan Jaminan
Umum maka dalam pelunasannya bersifat konkuren.
Sifat konkuren pada Harta
Kekayaan Lain tersebut sudah sepatutnya disikapi oleh PUPN dengan memfungsionalisasikan
kewenangan parate executie, seperti melakukan
penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain yang dimiliki Penanggung Hutang. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 182 PMK 240/2016, Penyitaan yang dilakukan oleh PUPN tersebut
merupakan sita eksekusi, yang dalam konteks hukum acara perdata merupakan
proses untuk mengeksekusi Jaminan Umum. Penyitaan oleh PUPN yang dipersamakan
dengan sita eksekusi mengandung makna adanya sifat paksaan bagi pihak debitur
(Aziezi, 2019)[10]. Penyitaan
ini kemudian juga diikuti dengan kewenangan yang dimiliki oleh PUPN untuk
menjual barang sitaan melalui lelang (Pasal 238 PMK 240/2016). Dengan demikian,
jika PUPN dapat menggunakan kewenangan parate
executie secara optimal meskipun Harta Kekayaan Lain merupakan Jaminan Umum
yang bersifat konkuren, maka PUPN akan tetap dapat mendapat pelunasan hutang
yang menjadi hak negara.
[1]
Ashofatul Lailiyah, 2014,
Urgensi Analisa 5C Pada Pemberian Kredit Perbankan Untuk Meminimalisir Resiko, Jurnal Yuridika, Volume 29 No. 2,
Mei-Agustus 2014, hal. 217-232.
[2]
Lastuti Abubakar, 2015, Telaah
Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan
Nasional), Buletin Hukum Kebanksentralan, Vol. 12, Nomor 1, Januari-Juni 2015,
hal. 1-16.
[3]
Moch. Isnaeni, 2018, Rancangan Kontruksi
Undang-Undang Perikatan Nasional, Materi dalam Konferensi Nasional V Hukum
Perdata Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK), diunduh dari https://drive.google.com/drive/folders/1Svc01i9A0N_-N0NUaUIrVIKPASB4wJtJ
[4]
Zulkarnain Sitompul, 2004, Jaminan Kredit: Kendala dan Masalah,
diunduh dari https://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/makalah-hkgmver1.pdf
[5]
Rose Panjaitan, 2018, Pengaturan
dan Pelaksanaan Parate Eksekusi Diluar Hukum Acara Perdata, Jurnal Notaire, Vol. 1 No. 1 Juni 2018,
hal. 135-152.
[6]
Herowati Poesoko, 2008, Parate
Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT),
LaksBang Pressindo: Yogyakarta.
[7]
M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, Sinar Grafika: Jakarta.
[8]
Niken Prasetyawati & Tony
Hanuraga, 2015, Jaminan Kebendaan Dan Jaminan Perorangan Sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang, Jurnal
Sosial Humaniora, Vol. 8 No. 1 Juni 2015, hal. 120-134.
[9]
Sularto, 2012, Perlindungan
Hukum Kreditur Separatis Dalam Kepailitan, Jurnal
Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, hal. 187-375.
[10] M. Tanziel Aziezi, et.al., 2019, Kertas Kebijakan: Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di
Indonesia, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).