Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Telaah Eksistensi Harta Kekayaan Lain dalam Pengurusan Piutang Negara Menurut Hukum Jaminan
Hadyan Iman Prasetya
Senin, 16 November 2020   |   2596 kali

Pengurusan Piutang Negara merupakan keseluruhan proses yang memiliki arti penting dalam konteks Keuangan Negara. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Piutang Negara merupakan salah satu yang termasuk dalam ruang lingkup pengertian Keuangan Negara. Sehingga pengurusan Piutang Negara yang optimal akan memberikan implikasi positif pada pengelolaan Keuangan Negara secara keseluruhan. Namun demikian, secara empiris pengurusan Piutang Negara dalam rangka mengembalikan sejumlah uang sebesar yang menjadi hak negara atas piutang tersebut kerap menemui tantangan. 

Tantangan-tantangan dalam pengurusan Piutang Negara untuk mengembalikan sejumlah uang yang memang menjadi hak negara dapat terwujud dalam beberapa bentuk atau kondisi. Salah satu kondisi yang menjadi tantangan dalam optimalisasi pengurusan Piutang Negara adalah berkaitan dengan tidak adanya barang jaminan yang dapat dimanfaatkan untuk membayar hutang milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. Sejatinya permasalahan ketidakadaan barang jaminan dalam pengurusan Piutang Negara ini telah diatur dan dimitigasi dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240 Tahun 2016 tentang Pengurusan Piutang Negara. Pasal 1 angka 20 PMK tersebut mengatur adanya nomenklatur Harta Kekayaan Lain untuk menyebut harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak dilakukan pengikatan sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi jaminan penyelesaian hutang.

Berdasar Pasal 108 PMK 240/2016, Harta Kekayaan Lain meliputi (a.) barang tidak bergerak, antara lain tanah, tanah berikut bangunan, kapal dengan isi kotor lebih dari 20 m3 ( dua puluh meter kubik); (b.) barang bergerak, antara lain kendaraan bermotor, perhiasan, furnitur, peralatan elektronik; (c.) surat berharga, antara lain saham, obligasi, bukti piutang, penyertaan modal; (d.) barang tidak berwujud, antara lain hak cipta, hak paten, hak merek; dan /atau (e.) uang atau harta kekayaan yang tersimpan di bank.

Pada tulisan ini akan dibahas mengenai eksistensi Harta Kekayaan Lain tersebut beserta beberapa topik yang relevan dengan hal tersebut. Dalam tulisan ini, Penulis juga menyarankan agar kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terhadap Harta Kekayaan Lain ini mulai dijadikan sebagai opsi yang diutamakan dalam pengurusan Piutang Negara, mengingat sifat Piutang Negara saat ini yang jarang disertai adanya Barang Jaminan.

FENOMENA PASCA PUTUSAN MK NO. 77/PUU-IX/2011

Perjalanan rezim hukum Piutang Negara telah mengalami dinamika yang cukup berarti setelah diucapkannya Putusan Nomor 77/PUU-IX/2011 oleh majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut mengadili pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Amar putusan dalam Putusan a quo telah membawa dampak berubahnya ruang lingkup piutang yang dapat diurus oleh PUPN. Pasca Putusan MK tersebut, PUPN tidak lagi berwenang mengurus piutang yang diserahkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan salah satu bentuk BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah perbankan.

Menurut Penulis, dengan adanya Putusan MK No. 77/PUU-IX/2011 yang berdampak bahwa PUPN tidak lagi berwenang mengurus piutang bank BUMN memiliki keterkaitan dengan fenomena saat ini yang jamak ditemui. Fenomena yang dimaksud adalah mayoritas Piutang Negara yang diurus oleh PUPN saat ini tidak disertai dengan jaminan. Keadaan ini berbeda dengan Piutang Negara ketika PUPN masih berwenang melakukan pengurusan terhadap piutang bank BUMN. Hal ini menurut Penulis dikarenakan adanya perbedaan sifat antara hutang atau kredit yang diberikan oleh bank BUMN dengan Piutang Negara.

Dalam dunia perbankan, untuk memberikan kredit perbankan dianut adanya teori 5 C, yaitu Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral. Khusus dalam konteks ini, maka variabel Collateral perlu menjadi perhatian utama. Variabel Collateral dimaknai sebagai jaminan yang digunakan untuk berjaga-jaga seandainya debitur tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Bank harus pandai menilai atau melakukan taksasi harta kekayaan yang dimiliki oleh calon debitur yang akan dijadikan jaminan. Agar bank tidak mendapatkan kerugian akibat dari debitur yang tidak bisa mengembalikan dana tersebut. Biasanya nilai jaminan atau agunan lebih besar dari utang atau kredit yang diberikan oleh debitur (Lailiyah, 2019)[1]. Hal ini berbeda dengan Piutang Negara yang tidak menganut teori 5 C dalam pemberian hutang, sehingga dapatlah dimaklumi bahwa Piutang Negara yang saat ini diurus oleh PUPN jamak ditemui tanpa adanya jaminan.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa fenomena saat ini di mana Piutang Negara yang diurus PUPN kerap dijumpai tanpa adanya jaminan adalah merupakan konsekuensi dari telah hilangnya kewenangan PUPN dalam mengurus piutang bank BUMN akibat dari Putusan MK No. 77/PUU-IX/2011. Oleh karena keadaan saat ini yang demikian, Penulis berpendapat bahwa sudah saatnya PUPN dalam pengurusan Piutang Negara mulai berfokus dalam optimalisasi Harta Kekayaan Lain sebagai upaya untuk mengembalikan hak negara atas piutang yang dimilikinya.

HARTA KEKAYAAN LAIN DAN JAMINAN UMUM

Jika dicermati definisi Harta Kekayaan Lain sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu yang termaktub dalam Pasal 1 angka 20 PMK 240 Tahun 2016, maka dapatlah dipahami bahwa Harta Kekayaan Lain memiliki sifat yang hampir sama dengan konsep Jaminan Umum yang dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Jaminan Umum dalam hukum perdata Indonesia didasarkan pada bunyi Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal a quo selengkapnya berbunyi,”Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”

Dalam konteks jaminan, hukum perdata Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan. Kemudian Jaminan Kebendaan tersebut dibagi lebih lanjut meliputi Jaminan Khusus dengan Jaminan Umum. Jaminan Umum dalam sistem hukum perdata Indonesia sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Sedangkan dalam konteks Jaminan Khusus, dalam perkembangan hukum jaminan kebendaan, saat ini meliputi Gadai (Pasal 1150-1160 KUHPerdata), Hipotik (Pasal 1162-1232 KUHPerdata), Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996), Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999), serta Resi Gudang (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 jo. Undang-Undang 9 Tahun 2006) (Abubakar, 2015)[2].

Sistematika hukum perdata Indonesia yang membedakan antara Jaminan Umum dengan Jaminan Khusus sejatinya juga dianut dalam rezim hukum Piutang Negara, dalam hal ini PMK 240/2016. Hal tersebut terlihat dari adanya pembedaan nomenklatur antara Harta Kekayaan Lain dan Barang Jaminan. Pasal 1 angka 19 PMK 240/2016 menyebutkan bahwa,”Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang.” Sedangkan lembaga jaminan yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah lembaga jaminan khusus sebagaimana dikenal dalam sistem hukum perdata Indonesia. Sehingga, konsep Barang Jaminan dalam PMK 240/2016 merupakan Jaminan Khusus, sedangkan konsep Harta Kekayaan Lain adalah Jaminan Umum.

Pasal 1131 KUHPerdata sebagai dasar eksistensi Jaminan Umum dalam perikatan hutang-piutang dinilai ”berperan selaku bentengnya setiap perikatan yang terjadi dalam kehidupan sosial, sehingga siapapun rekan seperikatan yang menderita rugi akibat ulah sepihak lain, pasti bakal bisa dipulihkan kendati wajib melewati proses yang sudah dibakukan” (Isnaeni, 2018)[3]. Selain itu, ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata juga mengandung makna bahwa Jaminan Umum ini dilahirkan karena undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya (Sitompul, 2004)[4]. Pendapat-pendapat tersebut kiranya sejalan dengan Harta Kekayaan Lain yang memang diatur sebagai sarana pemenuhan kewajiban Penanggung Hutang dan tidak terdapat perjanjian jaminan sebelumnya terhadap Harta Kekayaan Lain tersebut.

OPTIMALISASI KEWENANGAN PARATE EXECUTIE

Sejalan dengan kesadaran bahwa PUPN harus mulai berfokus pada Harta Kekayaan Lain, maka kewenangan PUPN yang selama ini telah dimilikinya yaitu berupa parate executie menjadi sangat penting dan sebuah keniscayaan untuk mengusahakannya secara optimal. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh PUPN adalah kewenangan parate executie dalam rangka pengurusan Piutang Negara.

Definisi parate executie yang diberikan oleh doktrin adalah kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate executie, diberikan arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditor bisa melaksanakan eksekusi obyek jaminan, tanpa harus meminta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara, untuk itu ada aturan mainnya sendiri tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih murah (Panjaitan, 2018).[5] Kelebihan parate executie sebagaimana telah disebutkan sebelumnya adalah (a.) tanpa didahului sita jaminan dan sita eksekusi dan (b.) tanpa fiat pengadilan yang keduanya merupakan prosedur eksekusi sesuai Hukum Acara Perdata yang pada kenyataanya memerlukan waktu yang panjang dan biaya tidak murah (Poesoko, 2008).[6] 

Kewenangan parate executie terhadap Harta Kekayaan Lain yang dimiliki oleh PUPN harus dilaksanakan secara maksimal, mengingat bahwa Harta Kekayaan Lain dalam hukum perdata adalah termasuk pada Jaminan Umum. Sedangkan di dalam konteks hukum acara perdata, untuk memenuhi haknya terhadap Jaminan Umum, kreditor harus menempuh proses litigasi. Proses litigasi yang harus ditempuh adalah mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri dan meminta sita jaminan atas harta kekayaan debitur tersebut (Harahap, 2005).[7] Dengan adanya kewenangan parate executie, PUPN tidak perlu menempuh proses litigasi sebagaimana dijelaskan tersebut dalam rangka eksekusi terhadap Harta Kekayaan Lain.

Selain itu, kewenangan parate executie terhadap Harta Kekayaan Lain juga harus secara optimal dilaksanakan mengingat sifat Jaminan Umum yang bukan merupakan jaminan bagi kreditur preferen. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Jaminan Umum diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menurut J. Satrio Pasal a quo mengandung makna asas -asas hubungan ekstern kreditor yang meliputi:

  1.         Seorang  kreditor  boleh  mengambil  pelunasan  dari  setiap  bagian    dari  harta kekayaan debitor;
  2.         Setiap bagian kekayaan debitor dapat dijual guna  pelunasan tagihan kreditor;
  3.         Hak tagihan  kreditor hanya  dijamin dengan harta benda  debitor  saja,  tidak dengan "persoon debitor " (Prasetyawati & Hanoraga, 2015)[8]

Selanjutnya patut dipahami pula ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,”Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.” Makna ketentuan Pasal 1132 tersebut adalah bahwa Jaminan Umum berkedudukan hanya sebagai kreditur konkuren[9], tanpa ada keistimewaan. Oleh karenanya Harta Kekayaan Lain yang merupakan Jaminan Umum maka dalam pelunasannya bersifat konkuren.

Sifat konkuren pada Harta Kekayaan Lain tersebut sudah sepatutnya disikapi oleh PUPN dengan memfungsionalisasikan kewenangan parate executie, seperti melakukan penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain yang dimiliki Penanggung Hutang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 182 PMK 240/2016, Penyitaan yang dilakukan oleh PUPN tersebut merupakan sita eksekusi, yang dalam konteks hukum acara perdata merupakan proses untuk mengeksekusi Jaminan Umum. Penyitaan oleh PUPN yang dipersamakan dengan sita eksekusi mengandung makna adanya sifat paksaan bagi pihak debitur (Aziezi, 2019)[10]. Penyitaan ini kemudian juga diikuti dengan kewenangan yang dimiliki oleh PUPN untuk menjual barang sitaan melalui lelang (Pasal 238 PMK 240/2016). Dengan demikian, jika PUPN dapat menggunakan kewenangan parate executie secara optimal meskipun Harta Kekayaan Lain merupakan Jaminan Umum yang bersifat konkuren, maka PUPN akan tetap dapat mendapat pelunasan hutang yang menjadi hak negara.

Penulis: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana pada KPKNL Bontang)

[1] Ashofatul Lailiyah, 2014, Urgensi Analisa 5C Pada Pemberian Kredit Perbankan Untuk Meminimalisir Resiko, Jurnal Yuridika, Volume 29 No. 2, Mei-Agustus 2014, hal. 217-232.

[2] Lastuti Abubakar, 2015, Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum Kebanksentralan, Vol. 12, Nomor 1, Januari-Juni 2015, hal. 1-16.

[3] Moch. Isnaeni, 2018, Rancangan Kontruksi Undang-Undang Perikatan Nasional, Materi dalam Konferensi Nasional V Hukum Perdata Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK), diunduh dari https://drive.google.com/drive/folders/1Svc01i9A0N_-N0NUaUIrVIKPASB4wJtJ

[4] Zulkarnain Sitompul, 2004, Jaminan Kredit: Kendala dan Masalah, diunduh dari https://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/makalah-hkgmver1.pdf

[5] Rose Panjaitan, 2018, Pengaturan dan Pelaksanaan Parate Eksekusi Diluar Hukum Acara Perdata, Jurnal Notaire, Vol. 1 No. 1 Juni 2018, hal. 135-152.

[6] Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang Pressindo: Yogyakarta.

[7] M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika: Jakarta.

[8] Niken Prasetyawati & Tony Hanuraga, 2015, Jaminan Kebendaan Dan Jaminan Perorangan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 8 No. 1 Juni 2015, hal. 120-134.

[9] Sularto, 2012, Perlindungan Hukum Kreditur Separatis Dalam Kepailitan, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, hal. 187-375.

[10] M. Tanziel Aziezi, et.al., 2019, Kertas Kebijakan: Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di Indonesia, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini