Latar
Belakang
Hukum Perdata menurut Prof. Subekti yakni Hukum
perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiel”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan. Sedangkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yakni Hukum
perdata adalah hukum antar-perorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam
pergaulan masyarakat.
Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara
Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan
itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata. R. Subekti berpendapat hukum acara itu
mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan
dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.
Sedangkan M.H Tirtaamidjaja mengatakan hukum acara perdata ialah suatu akibat
yang timbul dari hukum perdata materil.
Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang
mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene
Indonesich Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata
dan di bidang pidana. Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu ada atau
tidaknya sesuatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang
merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar.
Ini berbeda dengan sifat hukum acara pidana
yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari insiatif orang yang
dirugikan. Misalnya apabila terjadi suatu tubrukan tanpa adanya suatu
pengaduan, pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaaan
dilakukan, terdakwa dihadapkan di muka sidang. Oleh karena dalam hukum acara
perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang
besar terhadap jalannya perkara, setelah perkara diajukan, ia dalam batas-batas
tertentu dapat merubah atau mencabut kembali gugatannya. Adapun fungsi hukum
acara perdata adalah rangkaian cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum
perdata materiil.
Asas Hukum Perdata
Asas –asas hukum acara perdata ini
dikaitkan dengan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan
peradilan baik umum, maupun khusus. Menurut Benny Rijanto dalam bukunya berjudul Sejarah, Sumber,
dan Asas-asas Hukum Acara Perdata (hal. 126-138), terdapat 10 asas
hukum acara perdata, yaitu mencakup :
1. Hakim
bersifat menunggu, hal ini menerangkan bahwa Hakim menunggu diajukannya perkara
atau gugatan dan diartikan bahwa Hakim tidak boleh aktif mencari perkara atau
“menjemput bola” di masyarakat.
2.
Hakim
pasif, artinya bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
kepada hakim ditentukan oleh pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim. Hal ini
dapat dilihat bahwa Penggugatlah yang menentukan apakah ia akan mengajukan
gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, juga tergantung para pihak
(penggugat/tergugat) suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan, misalnya
lewat perdamaian atau gugatan dicabut, dan semuanya tergantung para pihak,
bukan pada Hakim.
3. Hakim
aktif, dan ini dimaksudkan bahwa Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke
pengadilan, seperti : memimpin jalannya persidangan, menentukan pemanggilan,
menetapkan hari sidang, karena jabatan memanggil sendiri saksi (apabila perlu),
serta memerintahkan alat bukti untuk disampaikan di depan persidangan, membantu
para pihak mencari kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Dan
pada intinya Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang
dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.
4. Sidang
pengadilan terbuka untuk umum, yang artinya bahwa setiap orang boleh
menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan dan ini secara
tegas dituangkan dalam Pasal 13
ayat (1) dan (2) UU 48/2009;
5.
Mendengar kedua belah pihak, yang berarti
bahwa kedua belah pihak harus diperlakukan
sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama, dengan kata lain hakim tidak
boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak
lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya (audi et alteram
partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie
horen alle beide).
6. Putusan
harus disertai alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan
ini merupakan argumentasi sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat,
para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai
nilai objektif.
7. Hakim
harus menunjuk dasar hukum putusannya, sehingga dalam perkara perdata Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya, karena Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
8.
Hakim harus memutus semua tuntutan, dan
ketika harus memutus semua tuntutan penggugat, maka Hakim tidak boleh memutus
lebih atau lain dari pada yang dituntut (iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur).
9.
Beracara
dikenakan biaya. Seseorang yang akan beperkara dikenakan biaya perkara,
yang meliputi meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan, pemberitahuan para
pihak, serta biaya meterai. Namun demikian, bagi yang tidak mampu membayar
biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan
mendapat izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara, dan dengan
melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat.
10. Tidak ada keharusan mewakilkan, hal ini
memperjelas bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan
pada orang lain (kuasa) untuk beperkara di muka pengadilan, sehingga dapat saja
terjadi langsung pemeriksaan terhadap para pihak yang beperkara. Namun demikian,
para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa hukumnya apabila dikehendaki.
Sebab, bagi pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa beperkara di pengadilan,
kuasa hukum yang mengetahui hukum tentu sangat membantu pihak yang
bersangkutan.
Dalam prakteknya, pemberlakukan
hukum perdata di Indonesia tidak lepas dari kenyataan bahwa Indonesia pernah
dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda dan juga Pemerintah Pendudukan Jepang,
hingga ketika Indonesia merdeka pun, aturan mengenai hukum keperdataan masih
mengadopsi mengikuti regulasi yang berlaku sejak zaman Hindia Belanda.
Perbaikan regulasi dengan menerbitkan undang – undang yang baru di ranah
keperdataan (lex specialis) tidak serta merta menghapus/menggantikan seluruh
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie). Di era
modern, sumber pengaturan keperdataan di Indonesia, dapat dirujuk pada
ketentuan yang ada sebagai berikut:
1.
Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
HIR ini dibagi dua yaitu bagian hukum acara pidana dan acara
perdata, yang diperuntukkan bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa dan
Madura untuk berperkara di muka Landraad. Bagian acara pidana dari Pasal 1 sampai
dengan 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371. Bagian acara perdata dari
Pasal 115 sampai dengan 245. Sedangkan titel ke 15 yang merupakan peraturan
rupa-rupa (Pasal 372 s.d 394) meliputi acara pidana dan acara perdata.
2.
Reglement Voor de Buitengewesten (RBg)
Rbg yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927
adalah pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan
berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk di luar Jawa
dan Madura.
3. Burgelijke Wetboek voor Indonesie (BW) / Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.
4.
Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang memuat juga beberapa hukum acara.
5.
Di Tingkat banding berlaku UU No 20 Tahun 1947
untuk Jawa dan Madura
6.
Undang-Undang
No 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung.
7.
Undang
– Undang keperdataan yang bersifat lex specialis (missal : kewarganegaraan,
perkawinan, kepailitan, persaingan usaha, dll)
8.
Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
9.
Yurisprudensi
10.
Doktrin.
11.
Adat Kebiasaan
Gugatan
Sebagaimana
diketahui dalam asas hukum perdata, bahwa perkara keperdataan baru muncul
ketika penggugat mengajukan permohonan gugatannya ke pengadilan. Gugatan adalah
merupakan suatu tuntutan hak yang merupakan tindakan yang bertujuan untuk
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “Eigenrichting” (Main Hakim Sendiri).
Suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, dan ini merupakan
suatu syarat utama agar dapat diterimanya suatu tuntutan hak oleh pengadilan
untuk diperiksa. Dalam ketentuan HIR dan Rbg tidak mengatur secara tegas
tentang syarat-syarat pembuatan suatu gugatan, namun dalam prakteknya gugatan
paling tidak memenuhi ketentuan ketentuan sebagai berikut:
1. Syarat Formal:
a. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan.
b. Materai. Dalam praktek jika gugatan itu tidak bermaterai bukanlah mengakibatkan gugatan itu menjadi batal akan tetapi oleh pengadilan akan mengembalikan untuk dibubuhi materai).
c. Tanda Tangan. Suatu gugatan haruslah ditanda tangani oleh si Penggugat atau oleh kuasanya yang khusus untuk itu (Seorang kuasa tidak dibenarkan mengajukan gugatan secara lisan). Sedangkan apabila gugatan yang dibubuhi dengan cap jempol maka harus dilegalisir (vide Putusan MA tgl 4 Juli 1978, Reg No. 480 K/Sip/1975).
2. Syarat Substansi:
a. Identitas para pihak secara jelas diuraikan mengenai para penggugat atau tergugat (Nama Lengkap, Umur / tempat dan tanggal lahir, Pekerjaan , dan Alamat atau Domisili. Dalam hal para pihak dalam gugatan itu belum lengkap maka maka gugatan itu akan dinyatakan tidak dapat di terima (NO/Niet Onvankelijke Verklaard).
b. Posita (Fundamentum Petendi). Posita adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan (middelen van den eis). Dalam prakteknya, posita ini mencakup antara lain: Objek Perkara, Fakta-fakta Hukum, Qualifikasi perbuatan tergugat, Uraian Kerugian, dan Hubungan Posita dengan Petitum.
c. Petitum. Petitum/kesimpulan dari suatu gugatan yang biasanya terdiri dari dua bagian yaitu Petitum Primair (berisikan hal pokok yang mohon dikabulkan oleh pengadilan) dan Petitum Subsidair (yang isinya memberi kebebasan kepada Hakim untuk mengabulkan lain dari Petitum Primair).
Bagaimana Menyusun Isi Gugatan dan Kemana diajukan?
Untuk menyusun sebuah gugatan pertama sekali yang harus
diperhatikan adalah kompetensi dari Peradilan, dalam mengajukan gugatan harus
diperhatikan benar-benar oleh Penggugat, bahwa gugatannya diajukan kepada badan
Pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili persoalan tersebut.
Tujuan utama membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili sebelum menyusun isi
dari sebuah gugatan adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah Pengadilan
Mana yang benar-benar tepat dan berwenang mengadili suatu sengketa atau suatu
kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak
keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru mengakibatkan gugatan tidak dapat
diterima atas alasan pengadilan yang dituju tidak berwenang mengadilinya atau
dengan kata lain gugatan yang diajukan diluar yurisdiksi pengadilan tersebut.
Setelah surat Gugatan selesai dibuat dan telah diberikan Materai secukupnya dan di tanda tangani oleh Penggugat atau kuasanya maka penggugat mendaftarkan surat Gugatannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dituju dengan membayar sejumlah biaya yang telah ditentukan oleh Panitera Pengadilan, sering disebut dengan POP (Panjar Ongkos Perkara). Pasal 121 ayat (1) HIR menyatakan sesudah surat Gugatan itu didaftarkan oleh Panitera Pengadilan didalam daftar yang telah disediakan untuk itu, maka Ketua Pengadilan dengan Penetapannya menentukan hari dan Jam waktu perkara tersebut di periksa di muka Pengadilan, untuk itu maka oleh Pengadilan akan memanggil atau memberitahukan kepada para pihak yang berperkara
Perubahan, Pencabutan, dan Penggabungan Surat Gugatan
Sebagaimana yang dibicarakan
sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat setelah di panggil oleh
Juru sita, maka pada tanggal yang telah ditentukan para pihak datang ke
Pengadilan untuk menghadiri siding, di ruang Pengadilan maka salah satu
pertanyaan yangkan dikemukakan oleh hakim setelah dibaca surat Gugatannya
adalah apakah surat Gugatan akan dilakukan perobahan, jika Penggugat menyatakan
akan melakukan perobahan maka hal itu di perkenankan oleh Hakim.
Mencabut Gugatan adalah tindakan
untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah di daftarkan di Pengadilan, hal
ini terjadi karena Penggugat tidak ingin melanjutkan gugatannya atau juga
adanya kekeliruan dari Penggugat dalam mengajukan gugatannya. Pencabutan
Gugatan dapat dilakukan sebelum gugatan itu di periksa di Persidangan atau
sebelum tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat.
HIR dan RBG tidak mengatur tentang pencabutan Gugatan ini, untuk merujuk
masalah pencabutan gugatan ini maka ada diatur dalam Pasal 271 RV yang
menentukan bahwa gugatan dapat dicabut oleh Penggugat sebelum tergugat
memberikan jawaban. Bila mana tergugat telah memberikan jawabannya, maka
gugatan tidak dapa dicabut atau ditarik kembali kecuali di setujui oleh
tergugat.
Penggabungan beberapa gugatan dalam satu perkara dapat dilakukan kedalam beberapa masalah ke dalam satu gugatan. Secara teknis, penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan disebut juga komulasi gugatan atau samenvoeging van voerdering. Yang berarti Penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum kedalam satu gugatan (M.Yahya Harahap, SH. 2005) Penggabungan ini meliputi baik menyangkut subjek ataupun objek nya.
Kesimpulan
Dalam banyak segi dan memperhatikan
substansi hukum perdata itu merupakan perkara “privat
materiel”,
dimana itu tidak hanya merupakan hubungan hukum perorangan dengan perorangan, namun juga perorangan dengan badan usaha/badan hukum/badan publik,
bahkan antar badan hukum dengan badan hukum/badan publik, sehingga pihak yang
berkecimpung dalam penanganan perkara, khususnya hukum keperdataan, perlu
mempelajari berbagai disiplin ilmu (agama, ekonomi, bisnis, teknik, manajemen,
industry, dll), yang mana dalam praktiknya tidak lepas dari memunculkan
/melekat adanya hubungan hukum maupun perbuatan hukum.
Sebagai
gambaran, dalam penanganan perkara di sebuah institusi negara, seperti
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara c.q. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL), gugatan perdata umumnya menyasar dalam operasionalisasi layanan
di bidang Pengelolaan Kekayaan Negara, Lelang
dan Pengurusan Piutang Negara, dimana gugatannya diajukan ke Pengadilan Negeri setempat
/ PTUN. Dari mulai permasalahan gugatan masyarakat terkait kepemilikan aset
negara, permasalahan lelang dimana umumnya terkait permasalahan eksekusi Hak
Tanggungan, sampai dengan terkait pengurusan Piutang Negara yang pada umumnya
berhubungan dengan antara lain, Barang Jaminan dari debitur, proses sita barang
jaminan, dan/atau penjualan barang jaminan.
Referensi :
1.
Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
2.
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in De
Gewesten Buiten Java en Madura (RBg);
3.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
4.
M. Rasyid, Laila dan Herinawati, Hukum Acara Perdata Cet. I. Lhokseumawe
: Unimal Press, 2015.
5.
Benny
Rijanto, Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2021.
(Penulis : Ahmad Girindra Wardhana – Seksi Hukum
dan Informasi)