Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bima > Artikel
Selayang Pandang Pengurusan Sengketa Hukum Keperdataan Di Peradilan
Ahmad Girindra Wardhana
Rabu, 04 Oktober 2023   |   5007 kali

Latar Belakang

Hukum Perdata menurut Prof. Subekti yakni Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiel”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Sedangkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yakni Hukum perdata adalah hukum antar-perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.

Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. R. Subekti berpendapat hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya. Sedangkan M.H Tirtaamidjaja mengatakan hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materil.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesich Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan di bidang pidana. Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu ada atau tidaknya sesuatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar.

Ini berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari insiatif orang yang dirugikan. Misalnya apabila terjadi suatu tubrukan tanpa adanya suatu pengaduan, pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaaan dilakukan, terdakwa dihadapkan di muka sidang. Oleh karena dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah perkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat merubah atau mencabut kembali gugatannya. Adapun fungsi hukum acara perdata adalah rangkaian cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil.

Asas Hukum Perdata

Asas –asas hukum acara perdata ini dikaitkan dengan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan baik umum, maupun khusus. Menurut Benny Rijanto dalam bukunya berjudul Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata (hal. 126-138), terdapat 10 asas hukum acara perdata, yaitu mencakup :

1.         Hakim bersifat menunggu, hal ini menerangkan bahwa Hakim menunggu diajukannya perkara atau gugatan dan diartikan bahwa Hakim tidak boleh aktif mencari perkara atau “menjemput bola” di masyarakat.

2.           Hakim pasif, artinya bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim. Hal ini dapat dilihat bahwa Penggugatlah yang menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, juga tergantung para pihak (penggugat/tergugat) suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan, misalnya lewat perdamaian atau gugatan dicabut, dan semuanya tergantung para pihak, bukan pada Hakim.

3.      Hakim aktif, dan ini dimaksudkan bahwa Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, seperti : memimpin jalannya persidangan, menentukan pemanggilan, menetapkan hari sidang, karena jabatan memanggil sendiri saksi (apabila perlu), serta memerintahkan alat bukti untuk disampaikan di depan persidangan, membantu para pihak mencari kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Dan pada intinya Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.

4.      Sidang pengadilan terbuka untuk umum, yang artinya bahwa setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan dan ini secara tegas dituangkan dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU 48/2009;

5.           Mendengar kedua belah pihak, yang berarti bahwa kedua belah pihak harus diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama, dengan kata lain hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya (audi et alteram partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide).

6.       Putusan harus disertai alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini merupakan argumentasi sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif.

7.         Hakim harus menunjuk dasar hukum putusannya, sehingga dalam perkara perdata Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, karena Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).

8.           Hakim harus memutus semua tuntutan, dan ketika harus memutus semua tuntutan penggugat, maka Hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur).

9.           Beracara dikenakan biaya. Seseorang yang akan beperkara dikenakan biaya perkara, yang meliputi meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya meterai. Namun demikian, bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara, dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat.

10.      Tidak ada keharusan mewakilkan, hal ini memperjelas bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan pada orang lain (kuasa) untuk beperkara di muka pengadilan, sehingga dapat saja terjadi langsung pemeriksaan terhadap para pihak yang beperkara. Namun demikian, para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa hukumnya apabila dikehendaki. Sebab, bagi pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa beperkara di pengadilan, kuasa hukum yang mengetahui hukum tentu sangat membantu pihak yang bersangkutan.

Dalam prakteknya, pemberlakukan hukum perdata di Indonesia tidak lepas dari kenyataan bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda dan juga Pemerintah Pendudukan Jepang, hingga ketika Indonesia merdeka pun, aturan mengenai hukum keperdataan masih mengadopsi mengikuti regulasi yang berlaku sejak zaman Hindia Belanda. Perbaikan regulasi dengan menerbitkan undang – undang yang baru di ranah keperdataan (lex specialis) tidak serta merta menghapus/menggantikan seluruh ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie). Di era modern, sumber pengaturan keperdataan di Indonesia, dapat dirujuk pada ketentuan yang ada sebagai berikut:

1.        Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

HIR ini dibagi dua yaitu bagian hukum acara pidana dan acara perdata, yang diperuntukkan bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka Landraad. Bagian acara pidana dari Pasal 1 sampai dengan 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371. Bagian acara perdata dari Pasal 115 sampai dengan 245. Sedangkan titel ke 15 yang merupakan peraturan rupa-rupa (Pasal 372 s.d 394) meliputi acara pidana dan acara perdata.

2.        Reglement Voor de Buitengewesten (RBg)

Rbg yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 adalah pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk di luar Jawa dan Madura.

3.     Burgelijke Wetboek voor Indonesie (BW) / Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.

4.        Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memuat juga beberapa hukum acara.

5.        Di Tingkat banding berlaku UU No 20 Tahun 1947 untuk Jawa dan Madura

6.        Undang-Undang No 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

7.        Undang – Undang keperdataan yang bersifat lex specialis (missal : kewarganegaraan, perkawinan, kepailitan, persaingan usaha, dll)

8.        Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung

9.        Yurisprudensi

10.    Doktrin.

11.    Adat Kebiasaan

Gugatan

Sebagaimana diketahui dalam asas hukum perdata, bahwa perkara keperdataan baru muncul ketika penggugat mengajukan permohonan gugatannya ke pengadilan. Gugatan adalah merupakan suatu tuntutan hak yang merupakan tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “Eigenrichting” (Main Hakim Sendiri). Suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, dan ini merupakan suatu syarat utama agar dapat diterimanya suatu tuntutan hak oleh pengadilan untuk diperiksa. Dalam ketentuan HIR dan Rbg tidak mengatur secara tegas tentang syarat-syarat pembuatan suatu gugatan, namun dalam prakteknya gugatan paling tidak memenuhi ketentuan ketentuan sebagai berikut:

1.   Syarat Formal:

        a.   Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan.

    b.   Materai. Dalam praktek jika gugatan itu tidak bermaterai bukanlah mengakibatkan gugatan itu menjadi batal akan tetapi oleh pengadilan akan mengembalikan untuk dibubuhi materai).

      c.   Tanda Tangan. Suatu gugatan haruslah ditanda tangani oleh si Penggugat atau oleh kuasanya yang khusus untuk itu (Seorang kuasa tidak dibenarkan mengajukan gugatan secara lisan). Sedangkan apabila gugatan yang dibubuhi dengan cap jempol maka harus dilegalisir (vide Putusan MA tgl 4 Juli 1978, Reg No. 480 K/Sip/1975).

2.   Syarat Substansi:

        a.   Identitas para pihak secara jelas diuraikan mengenai para penggugat atau tergugat (Nama Lengkap, Umur / tempat dan tanggal lahir, Pekerjaan , dan Alamat atau Domisili. Dalam hal para pihak dalam gugatan itu belum lengkap maka maka gugatan itu akan dinyatakan tidak dapat di terima (NO/Niet Onvankelijke Verklaard).

        b.   Posita (Fundamentum Petendi). Posita adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan (middelen van den eis). Dalam prakteknya, posita ini mencakup antara lain: Objek Perkara, Fakta-fakta Hukum, Qualifikasi perbuatan tergugat, Uraian Kerugian, dan Hubungan Posita dengan Petitum.

    c.   Petitum. Petitum/kesimpulan dari suatu gugatan yang biasanya terdiri dari dua bagian yaitu Petitum Primair (berisikan hal pokok yang mohon dikabulkan oleh pengadilan) dan Petitum Subsidair (yang isinya memberi kebebasan kepada Hakim untuk mengabulkan lain dari Petitum Primair).

 

Bagaimana Menyusun Isi Gugatan dan Kemana diajukan?

Untuk menyusun sebuah gugatan pertama sekali yang harus diperhatikan adalah kompetensi dari Peradilan, dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh Penggugat, bahwa gugatannya diajukan kepada badan Pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili persoalan tersebut. Tujuan utama membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili sebelum menyusun isi dari sebuah gugatan adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah Pengadilan Mana yang benar-benar tepat dan berwenang mengadili suatu sengketa atau suatu kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang dituju tidak berwenang mengadilinya atau dengan kata lain gugatan yang diajukan diluar yurisdiksi pengadilan tersebut.

Setelah surat Gugatan selesai dibuat dan telah diberikan Materai secukupnya dan di tanda tangani oleh Penggugat atau kuasanya maka penggugat mendaftarkan surat Gugatannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dituju dengan membayar sejumlah biaya yang telah ditentukan oleh Panitera Pengadilan, sering disebut dengan POP (Panjar Ongkos Perkara). Pasal 121 ayat (1) HIR menyatakan sesudah surat Gugatan itu didaftarkan oleh Panitera Pengadilan didalam daftar yang telah disediakan untuk itu, maka Ketua Pengadilan dengan Penetapannya menentukan hari dan Jam waktu perkara tersebut di periksa di muka Pengadilan, untuk itu maka oleh Pengadilan akan memanggil atau memberitahukan kepada para pihak yang berperkara

Perubahan, Pencabutan, dan Penggabungan Surat Gugatan

Sebagaimana yang dibicarakan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat setelah di panggil oleh Juru sita, maka pada tanggal yang telah ditentukan para pihak datang ke Pengadilan untuk menghadiri siding, di ruang Pengadilan maka salah satu pertanyaan yangkan dikemukakan oleh hakim setelah dibaca surat Gugatannya adalah apakah surat Gugatan akan dilakukan perobahan, jika Penggugat menyatakan akan melakukan perobahan maka hal itu di perkenankan oleh Hakim.

Mencabut Gugatan adalah tindakan untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah di daftarkan di Pengadilan, hal ini terjadi karena Penggugat tidak ingin melanjutkan gugatannya atau juga adanya kekeliruan dari Penggugat dalam mengajukan gugatannya. Pencabutan Gugatan dapat dilakukan sebelum gugatan itu di periksa di Persidangan atau sebelum tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat. HIR dan RBG tidak mengatur tentang pencabutan Gugatan ini, untuk merujuk masalah pencabutan gugatan ini maka ada diatur dalam Pasal 271 RV yang menentukan bahwa gugatan dapat dicabut oleh Penggugat sebelum tergugat memberikan jawaban. Bila mana tergugat telah memberikan jawabannya, maka gugatan tidak dapa dicabut atau ditarik kembali kecuali di setujui oleh tergugat.

Penggabungan beberapa gugatan dalam satu perkara dapat dilakukan kedalam beberapa masalah ke dalam satu gugatan. Secara teknis, penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan disebut juga komulasi gugatan atau samenvoeging van voerdering. Yang berarti Penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum kedalam satu gugatan (M.Yahya Harahap, SH. 2005) Penggabungan ini meliputi baik menyangkut subjek ataupun objek nya.

Kesimpulan

Dalam banyak segi dan memperhatikan substansi hukum perdata itu merupakan perkara “privat materiel”, dimana itu tidak hanya merupakan hubungan hukum perorangan dengan perorangan, namun juga perorangan dengan badan usaha/badan hukum/badan publik, bahkan antar badan hukum dengan badan hukum/badan publik, sehingga pihak yang berkecimpung dalam penanganan perkara, khususnya hukum keperdataan, perlu mempelajari berbagai disiplin ilmu (agama, ekonomi, bisnis, teknik, manajemen, industry, dll), yang mana dalam praktiknya tidak lepas dari memunculkan /melekat adanya hubungan hukum maupun perbuatan hukum.

Sebagai gambaran, dalam penanganan perkara di sebuah institusi negara, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Negara c.q. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), gugatan perdata umumnya menyasar dalam operasionalisasi layanan di bidang Pengelolaan Kekayaan Negara, Lelang dan Pengurusan Piutang Negara, dimana gugatannya diajukan ke Pengadilan Negeri setempat / PTUN. Dari mulai permasalahan gugatan masyarakat terkait kepemilikan aset negara, permasalahan lelang dimana umumnya terkait permasalahan eksekusi Hak Tanggungan, sampai dengan terkait pengurusan Piutang Negara yang pada umumnya berhubungan dengan antara lain, Barang Jaminan dari debitur, proses sita barang jaminan, dan/atau penjualan barang jaminan.

Referensi :

1.   Herzien Inlandsch Reglement (HIR);

2.   Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg);

3.   Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4.   M. Rasyid, Laila dan Herinawati, Hukum Acara Perdata Cet. I. Lhokseumawe : Unimal Press, 2015.

5.   Benny Rijanto, Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2021.

 

(Penulis : Ahmad Girindra Wardhana – Seksi Hukum dan Informasi)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini