“Gratifikasi
merupakan akar dari korupsi” adalah frasa yang sudah sangat familiar
digaungkan dalam semangat memberantas korupsi di lingkungan ASN, khususnya di
lingkungan Kementerian Keuangan. Pengetahuan dasar mengenai gratifikasi sudah
menjadi materi wajib bagi para ASN Kemenkeu terutama yang berada di unit
vertikal sebagai garda terdepan pelayanan publik. Akan tetapi, perlu disadari
bahwa gratifikasi juga merupakan salah satu sumber terjadinya konflik
kepentingan dan konflik kepentingan sendiri merupakan faktor pendorong
terjadinya tindak pidana korupsi.
Di dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi, sering kali terdapat istilah konflik kepentingan. Konotasi negatif
melekat padanya karena apabila terjadi di lingkungan kerja, maka akan
memengaruhi kinerja dan reputasi instansi. Walaupun istilah tersebut sudah
dikenal luas oleh publik, definisinya masih menjadi diskusi di dalam praktik
penyelenggaraan pemerintah. Chris MacDonald, Michael McDonald, dan Wayne Norman
mendefinisikan konflik kepentingan sebagai situasi di mana seseorang, seperti
petugas publik, pegawai, atau seorang profesional, memiliki kepentingan pribadi
dengan memengaruhi tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas kantor atau
organisasinya.[1]
Sementara itu, definisi konflik kepentingan menurut Pasal 1 ayat (14)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan adalah :
“kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang
sehingga dapat memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan
dan/atau yang dilakukannya.”
Kementerian Keuangan juga mengatur
mengenai gratifikasi dalam PMK Nomor : 7/PMK.09/2017 Tentang Pedoman
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pada Pasal 1 ayat
(1) PMK tersebut, dijelaskan pengertian gratifikasi sebagai pemberian dalam
arti luas, yakni uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di
luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Sementara itu, walaupun Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan juga menjadi salah satu
aturan yang diadopsi oleh PMK Nomor : 7/PMK.09/2017, namun dalam Pasal 1 ayat
(7) PMK tersebut nomenklatur yang digunakan bukanlah ‘konflik kepentingan’
melainkan ‘benturan kepentingan’ yang berarti situasi di mana ASN Kemenkeu
memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi atau kepentingan
kelompok atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat
mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Sebagai payung hukum ASN, dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara salah satu
landasan yang wajib dimiliki ASN sebagai profesi adalah kode etik dan kode
perilaku. Kode etik dan kode perilaku tersebut bertujuan untuk menjaga martabat
dan kehormatan ASN. Di dalam Pasal 5 ayat (2) UU ASN, kode etik dan kode
perilaku berisi pengaturan perilaku agar pegawai ASN :
a.
Melaksanakan
tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi;
b.
Melaksanakan
tugasnya dengan cermat dan disiplin;
c.
Melayani
dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan;
d.
Melaksanakan
tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Melaksanakan
tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika
pemerintahan;
f.
Menjaga
kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara;
g.
Menggunakan
kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan
efisien;
h.
Menjaga
agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya;
i. Memberikan
informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan
informasi terkait kepentingan kedinasan;
j. Tidak
menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan
jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri
sendiri atau untuk orang lain;
k.
Memegang
teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN, dan
l.
Melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.
Sesuai dengan poin h, seorang pegawai
ASN wajib menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan
tugasnya. Beberapa sumber konflik kepentingan yang wajib dijadikan perhatian
bagi ASN adalah sebagai berikut :[2]
a.
Kekuasaan
dan kewenangan penyelenggara negara yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan;
b. Perangkapan
jabatan, yakni seorang penyelenggara negara menduduki dua atau lebih jabatan
publik sehingga sulit menjalankan jabatannya secara profesional, independen,
dan akuntabel;
c. Hubungan
afiliasi, yakni hubungan yang dimiliki seorang penyelenggara negara dengan
pihak tertentu baik karena hubungan darah, perkawinan, maupun pertemanan yang
dapat memengaruhi keputusannya;
d. Gratifikasi,
yakni pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan,
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya[3];
e. Kelemahan
sistem organisasi, yakni keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan
pelaksanaan kewenangan penyelenggara negara yang disebabkan karena aturan,
struktur, dan budaya organisasi yang ada; dan
f. Kepentingan
pribadi, yakni keinginan/kebutuhan seorang penyelenggara negara mengenai suatu
hal yang bersifat pribadi.
Kementerian Keuangan sebagai instansi
yang memiliki semangat tinggi dalam pemberantasan korupsi sadar bahwa konflik
kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong
terjadinya tindak pidana korupsi. Situasi yang menyebabkan seorang pegawai ASN
menerima gratifikasi atas suatu keputusan/jabatan merupakan salah satu contoh
kejadian yang sering dihadapi ASN dan dapat menimbulkan konflik kepentingan. Beberapa
bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini
antara lain adalah:[4]
a.
Penerimaan
gratifikasi dapat membawa vested interest
(kepentingan pribadi) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga
independensi ASN dapat terganggu;
b.
Penerimaan
gratifikasi dapat memengaruhi objektivitas dan penilaian profesional ASN;
c.
Penerimaan
gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak
pidana korupsi.
Normalisasi penerimaan gratifikasi
sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada ASN dalam suatu acara pribadi atau
pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar akan memegaruhi ASN yang
bersangkutan. Pembiaran atas hal tersebut, cepat atau lambat, berpotensi
menimbukan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang disandang
oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan dari pemberi, dan pada
saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu demi kepentingan pemberi sebagai
balas jasa.
Oleh karena itu, salah satu cara
sebagai wujud preventif lahirnya benturan kepentingan pada ASN Kemenkeu adalah
dengan mengatur cara pelaporan gratifikasi yang diterima oleh ASN Kemenkeu. Di
dalam PMK Nomor : 7/PMK.09/2017, terdapat dua cara sebagai berikut :
a.
Pelaporan
gratifikasi melalui UPG atau Unit Pengendali Gratifikasi (Pasal 9)
Pada
kantor vertikal, yang ditunjuk menjadi UPG adalah Seksi Kepatuhan Internal.
Setiap bulannya, Seksi Kepatuhan Internal meminta laporan penanganan
gratifikasi yang berisi penerimaan/penolakan gratifikasi oleh ASN yang nantinya akan diteruskan kepada UPG kantor wilayah lalu berjenjang hingga ke UPG kantor pusat.
b.
Pelaporan
gratifikasi melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 11)
Diajukan apabila dalam hal lebih dari 7 hari kerja sejak gratifikasi diterima belum dilaporkan, maka laporan dilakukan secara langsung kepada KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal Gratifikasi diterima. Laporan ini dapat disampaikan langsung ke Kantor KPK atau dikirim melalui pos, e-mail, atau situs KPK.
Selain
itu, untuk mewujudkan kepastian hukum maka di dalam Pasal 23 PMK Nomor : 7/PMK.09/2017 telah diatur pula
mengenai pengenaan sanksi kepada ASN Kemenkeu yang menerima gratifikasi yang
berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang
bersangkutan akan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai
ASN Kementerian Keuangan yang sudah memahami nilai-nilai Kementerian Keuangan,
sudah seharusnya kita mampu memelihara integritas dan profesionalisme sehingga dapat
menghindari benturan kepentingan terutama yang bersumber dari gratifikasi.
Semangat anti korupsi wajib diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan
fungsi karena berani jujur itu hebat.
Penulis : Fildzah Rio, Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bandung
[1] Chris
MacDonald, Michael McDonald, and Wayne Norman, “Charitable Conflicts of Interest,” Journal of Business Ethics 39:1-2, 67-74, Aug. 2002. p.68
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi
Penyelenggara Negara, hal. 4
[3]
Pasal 12 ayat B Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
[4]
Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010, hal.7