Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) selaku instansi vertikal di daerah
dan kepanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN) mempunyai tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara dan
lelang. KPKNL dalam menjalankan tugasnya sering digugat oleh
debitur/ masyarakat yang merasa dirugikan. Gugatan biasanya dilakukan melalui
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gugatan
perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri biasanya terkait dengan pelaksanaan
lelang yang dilaksanakan KPKNL, dimana debitur meminta agar pelaksanaan lelang
dibatalkan. Gugatan yang diajukan melalui Pengadilan Agama permasalahannya juga
sama seperti yang diajukan melalui Pengadilan Negeri. Perbedaannya gugatan yang
melalui Pengadilan Agama hanya pihak kreditur yang berlabel syariah. Sedangkan
gugatan yang diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya terkait
Risalah Lelang sebagai berita acara pelaksanaan lelang dianggap sebagai Produk
TUN.
Hal-hal
yang perllu diperhatikan dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
sebagai berikut:
1.
Perlu mengetahui terlebih
dahulu apa itu yang dimaksud dengan sengketa TUN.
Sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (Ps 1 angka 10 UU No 51/2009)
2.
Perlu mengetahui terlebih
dahulu apa itu yang dimaksud produk TUN.
Hal
ini nantinya berguna bagi kita untuk memberikan jawaban gugatan, apakah produk
KPKNL yang digugat merupakan produk TUN atau bukan. Produk TUN sesuai ketentuan
merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat
Tata Usaha Negara, guna lebih jelasnya dapat kita pelajari berdasarkan Pasal 1
angka 9 UU No.51 Tahun 2009, sebagai berikut :
“Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hokum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata”.
Perlu dipahami juga bahwa bentuk surat/produk pemerintah yang
masuk kategori TUN berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No.51 Tahun 2009, memiliki
beberapa karakteristik sebagai berikut :
a.
Penetapan
tertulis hal ini untuk memudahkan dalam pembuktian.
b.
Dikeluarkan
oleh Badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.
Bersifat konkret,
artinya tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
d.
Bersifat
individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap
nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan.
e.
Bersifat
final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain
belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban
pada pihak yang bersangkutan.
3.
Perlu mengetahui kekhususan
hukum acara Pengadilan Tata Usaha Negara.
Beracara
di Pengadilan Tata Usaha Negara berbeda dengan beracara di Pengadilan Negeri,
Agama atau Militer. Perbedaan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan lainnya dapat
dilihat dari kekhususan hukum acara Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kekhususan hukum acara Pengadilan tata usaha negara sebagai berikut:
a.
Hakim bersifat aktif, maksudnya adalah untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak
dalam sengketa yaitu Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dan Penggugat (Orang atau Badan Hukum Perdata). Asas keaktifan
hakim secara prinsip memberikan kewenangan yang luas kepada hakim pengadilan Tata
Usaha Negara dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara menyangkut
pembagian beban pembuktian dan penentuan hal-hal yang harus dibuktikan.
Konsekuensi dari keberadaan asas keaktifan hakim adalah dimungkinkannya
penerapan asas ultra petita yang pertama kali dituangkan dalam Putusan MA Nomor:
5K/TUN/1992 tanggal 23 Mei 1991, yaitu tindakan hakim menyempurnakan atau
melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak kepadanya.
b.
Azas Erga Omes,
maksudnya adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara mengikat secara publik, tidak hanya mengikat para pihak yang bersengketa
saja. Hal ini sebagai konsekuensi sifat sengketa tata usaha negara yang
merupakan sengketa hukum publik.
c.
Presumtio Justae Causa yaitu
keputusan harus selalu dianggap sah. Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu
harus dianggap sah/menurut hukum (rechmatig) sampai ada pembatalannya.
d.
Kedudukan Para Pihak yang tidak
seimbang,maksudnya pihak Penggugat posisinya lebih rendah dibanding dengan
Tergugat (Badan/Pejabat Publik).
e.
Proses dismisal (rapat
permusyawaratan). dismissal process adalah kewenangan Ketua
Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi
perkara-perkara yang dianggap tak layak untuk disidangkan oleh majelis.
Pasalnya, bila perkara itu disidangkan, akan membuang-buang waktu, tenaga dan
biaya.
f.
Sidang persiapan, Pemeriksaan Persiapan merupakan tahapan pendahuluan sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara atau suatu tahapan
untuk mematangkan perkara. Dalam hukum Acara Tata Usaha Negara ada kewajiban
bagi Hakim untuk mengadakan Pemeriksaan Persiapan sebelum memeriksa pokok
sengketanya. Acara Pemeriksaan Persiapan dilakukan setelah melewati acara Rapat
Permusyawaratan atau setelah gugatan lewat sensor tahap pertama dan sebelum
pemeriksaan sengketa dilakukan.
Dalam pemeriksaan persiapan
sebagaimana dimaksud, hakim wajib:
1)
Memberi
nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam
jangka waktu 30 hari.
2)
Dapat
meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan. Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan
gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat terima
3)
Terhadap
putusannya tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan
gugatan baru.
Maksud disediakannya acara Pemeriksaan Persiapan
adalah guna mengimbangi dan mengatasi kesulitan Penggugat memperoleh informasi
atau data yang berada dalam kekuasaan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara.
g.
Asas Self Respect yaitu
kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya
diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang, tanpa adanya kewenangan
bagi Peradilan Tata Usaha Negara menjatuhkan sanksi.
4.
Kita juga harus mengetahui
tahapan-tahapan apa yang ada dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebenarnya bagaimana tahapan
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara?
Tahapan dalan beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara yang perlu diketahui teman-teman seksi hukum dan informasi
adalah sebagai berikut:
a.
Penggugat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) terkait dengan putusan
yang dikeluarkan Badan/Pejabat Publik.
b.
Ketua
Pengadilan TUN akan melakukan rapat permusyawaratan (Dissmisal proses). Hal ini
guna menentukan apakah perkara yang diajukan penggugat layak untuk disidangkan
Majelis hakim, Pasalnya, bila perkara itu
disidangkan, akan membuang-buang waktu, tenaga dan biaya.
c.
Pengadilan
TUN akan memanggil para pihak yang berperkara untuk hadir dipersidangan.
d.
Hakim TUN
melakukan pemeriksaan persiapan, dimana apabila ada kesalahan-kesalahan dalam
gugatan pihak penggugat supaya memperbaiki gugatan, jika sudah dilakukan
perbaikan maka tahap berikutnya pemeriksaan para pihak baik surat kuasanya atau
surat ijin beracara bagi pengacara.
e.
Hakim
melakukan pemeriksaan perkara seperti proses sidang pada umumnya dimulai
dengan adanya gugatan dari Pihak Penggugat maka Pihak Tergugat akan memberikan
jawaban, dilanjutkan dengan Replik, Duplik, bukti para pihak, Kesimpulan dan
Putusan.
f.
Putusan
yang telah dikeluarkan Majelis Hakim jika para pihak tidak puas maka seperti
pada peradilan lainnya dapat melakukan upaya banding, kasasi dan Peninjauan
Kembali.
KPKNL dalam menjalankan tugas dibidang
pengelolan kekayaan negara dan lelang, sering digugat melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara. Hal yang menjadi pokok perkara gugatan adalah Risalah Lelang yang
dianggap sebagai produk TUN dan meminta Majelis Hakim TUN untuk membatalkan
risalah lelang dimaksud.
Apakah Risalah Lelang yang dibuat Pejabat
Fungsional Pelelang/Pejabat Lelang merupakan produk Tata Usaha Negara?
Risalah Lelang merupakan produk Tata Usaha
Negara atau bukan, untuk menjawab pertanyaan itu perlu kita sandingkan dengan
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009. Akan kita coba untuk
mengupasnya sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 9 UU No.51 Tahun 2009 sebagai
berikut :
1.
Penetapan
tertulis hal ini untuk memudahkan dalam pembuktian.
Bahwa Risalah Lelang merupakan
Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang menggambarkan proses pelaksanaan lelang
dari mulai permohonan lelang sampai dengan pelaksanaan lelang bentuknya
tertulis.
2.
Dikeluarkan
oleh Badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Risalah Lelang merupakan berita acara pelaksanaan lelang yang
dibuat oleh Pejabat Lelang, Pejabat Lelang sediri bukan merupakan pejabat publik.
Pejabat Lelang sesuai dengan Pasal 1 (44) Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor : 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Lelang,
Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
diberi wewenang khusus untuk melaksanakan lelang.
3.
Bersifat
konkret, artinya tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat
ditentukan.
Risalah Lelang bersifat konkret
karena menjelaskan pelaksanaan lelang dari mulai adanya permohonan lelang,
proses penawaran lelang dan menentukan siapa pemenang lelangnya.
4.
Bersifat
individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju.
Risalah Lelang merupakan berita
acara pelaksanaan lelang. Dimulai dengan adanya permohonan lelang dari pihak
kreditur/pemilik barang yang akan menjual barangnya secara lelang. Ada peserta
lelang yang menyetorkan uang jaminan dan sudah mengajukan penawaran diatas
harga limit serta dinyatakan sebagai pemenang lelang. Hal ini tidak bersifat
individual melainkan umum karena hanya menggambarkan dan menjelaskan
proses pelaksanaan lelang, dimana dalam pelaksanaan lelang terkadang lebih dari
satu orang yang mengajukan penawaran.
5.
Bersifat
final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Risalah Lelang tidak bersifat
final namun ada proses lain yang harus dilalui yaitu melakukan proses balik
nama, untuk barang tetap dengan mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan
sedangkan untuk barang bergerak/kendaraan bermotor ke kantor Samsat.
Dari
pembahasan tersebut jelas bahwa risalah lelang bukan merupakan objek TUN,
Risalah Lelang beserta turunannya (salinan dan kutipan) yang merupakan berita
acara pelaksanaan lelang yang dibuat Pejabat Lelang bukanlah suatu keputusan
TUN. Risalah Lelang bukan objek TUN karena didalam Risalah Lelang tidak
mengandung unsur beslissing atau pernyataan kehendak dari
Pejabat Lelang.
Risalah
Lelang bukan merupakan objek TUN hal ini diperkuat dengan yurisprudensi sebagai
berikut:
1.
Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor : 47/G.TUN/1994/PTUN.Sby tanggal 12
September 1994.
2.
Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor : 90/B/1994/PT.TUN.Sby tanggal 31
Oktober 1996.
3.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 47.K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998.
Dari
putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas dapat diangkat “Abstrak Hukum”
sebagai berikut: Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Kantor Lelang Negara
merupakan berita acara lelang yang berisi segala sesuatu tentang pelaksanaan
lelang, berdasar atas permintaan dari Ketua Pengadilan Negeri dalam rangka
eksekusi putusan perkara perdata. “Risalah Lelang” tersebut bukan merupakan
keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara karena didalamnya tidak ada unsur “beslissing”
atau “pernyataan Kehendak” dan “wilsvorming” dari Pejabat yang
mengeluarkan keputusan (dalam hal ini Pelelang) dan apa yang telah dilakukannya
dapat dipersamakan dengan keputusan Badan Peradilan karena itu Risalah Lelang
termasuk dalam pengertian pasal 2 Undang-undang No.5 Tahun 1986.
Penulis:
Yulianto (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bandung)
Referensi
:
Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986
Tetang Peradilan Tata Usaha Negara;
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang;
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 158/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 174/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang Kelas I;