Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Ambon > Artikel
Sebuah Opini Tentang Mismatch : Salah Satu Penghambat Peradaban, Terutama Pada Era Revolusi Industri Keempat.
Aryo Arvianto
Senin, 13 Juni 2022   |   1288 kali

Mismatch keterampilan dan kemampuan bekerja sumber daya manusia terhadap kebutuhan industri menjadi salah satu tantangan utama yang harus dihadapi oleh negara maju maupun negara berkembang, termasuk di Indonesia, ketika terjadi pergeseran sebuah era dari satu model ke model yang lainnya. Tidak lagi menjadi sebuah opsi, namun era revolusi industri keempat telah menjadi hal yang mutlak dihadapi oleh berbagai pihak / multi-stakeholder secara global, dimana sebagian besar sumber daya manusia dengan berbagai latar belakang generasi dan latar belakang edukasi belum secara serentak memiliki kapabilitas serta kesiapan yang sama untuk dapat bekerja pada kerangka revolusi industri keempat karena sistem edukasi selama beberapa tahun, bahkan puluhan tahun  kebelakang masih disiapkan untuk kerangka Industri pertama, kedua dan ketiga. Hal ini menghasilkan apa yang disebut mismatch / ketidakcocokan antara supply (sumber daya manusia) dan demand (keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh industri).


Dikutip dari laman World Economic Forum https://bit.ly/3NKcTuI, melalui konteks sejarahnya, setiap revolusi industri selalu memiliki satu atau lebih ‘pemicu’ yang kemudian dapat merubah rupa dari industri dan sistem produksi barang dan jasa menjadi sepenuhnya berbeda dari sebelumnya, dan kesemuanya selalu berhulu dari penemuan teknologi baru. Dimulai dari penemuan mesin uap (steam engine) yang dapat mengubah air dan batu bara menjadi energi dan kemudian dapat digunakan untuk mengamplifikasi kemampuan produksi para produsen barang dan jasa dari segi kuantitas dan waktu dengan cara mekanisasi, dan kemudian memicu mulainya revolusi industri pertama. Karena pada hilirnya para produsen dapat memenuhi supply barang dan jasa dari pasar menjadi secara signifikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan sistem produksi tenaga tangan (handmade).


Hal tersebut kemudian diikuti oleh revolusi industri kedua yang dipicu oleh penggunaan  listrik  terhadap elektrifikasi sistem mekanik dari revolusi industri pertama yang kemudian dapat secara lebih jauh lagi melipatgandakan kemampuan produksi para produsen barang dan jasa. Kemudian diikuti oleh revolusi industri ketiga yang menggunakan teknologi personal computer (pc) untuk memanfaatkan sistem informasi yang dapat dilakukan secara elektronik dan kemudian ‘menahkodai’ sistem industri mekanis - manual menjadi mekanis - semi otomatis, dimana tentunya hal ini membuat kegiatan produksi para produsen menjadi jauh lebih efektif dan efisien. Dari semua teknologi pemicu perubahan industri tersebut, hal yang kita semua dapat pelajari, amati  dan kritisi secara jelas adalah sumber daya manusia memiliki beberapa ‘kekurangan’ dalam konteks kegiatan produksi, seperti kebutuhan untuk istirahat; potensi human error; keterbatasan energi dalam sehari dan sebagainya, sehingga eksploitasi teknologi dapat digunakan untuk ‘menambal’ kekurangan yang dimiliki oleh tenaga manusia untuk melakukan produksi barang dan jasa, dimana dampaknya dapat secara signifikan ‘mengurangi’ peran manusia didalam sistem produksi untuk kemudian memperbanyak dan melipatgandakan hasil produksi barang dan jasa secara lebih akurat dan banyak.


Berangkat lebih jauh dari konsep tersebut, revolusi industri keempat dipicu oleh penemuan beberapa teknologi seperti artificial intelligence; augmented reality; the Internet of Things (IoT); autonomous vehicles; 3D printing; nanotechnology; biotechnology; materials science; energy storage; dan quantum computing. Dimana revolusi industri keempat ini memiliki karakteristik yang dapat dibilang jauh berbeda dari revolusi industri pertama, kedua, dan ketiga terutama dari segi kecepatan perkembangan dan pengembangannya. Tidak lagi tumbuh dalam kecepatan yang linear dan ‘mengganggu’ beberapa area saja, revolusi industri keempat mampu tumbuh secara eksponensial dan melakukan disrupsi pada seluruh area industri barang jasa yang ada secara global, tanpa memiliki batasan-batasan dimensi seperti jarak; waktu; dan ruang. Tidak lagi menggantikan kekuatan otot mekanis, namun menggantikan kemampuan otak manusia untuk melakukan proses produksi. Sebagai contoh penggunaan augmented reality pada metaverse yang mampu untuk mempertemukan supply dan demand secara global tanpa terhalang sekat-sekat seperti batas negara; regulasi dan sebagainya. Contoh yang lain adalah penggunaan artificial intelligence terhadap self driving electric vehicle (kendaraan listrik yang dapat menyetir secara otomatis) sehingga mampu menggantikan keterampilan dan kemampuan manusia untuk mengemudikan sebuah kendaraan dan membawa penumpang atau barangnya dari poin a ke poin b tanpa campur tangan manusia. Atau yang lebih umum digunakan pada Kementerian Keuangan, seperti zoom meeting yang tidak lagi membutuhkan ruang fisik untuk melakukan rapat dan menghasilkan sebuah kebijakan.


Menyikapi potensi dan resiko disrupsi yang kolektif dan masif tersebut, diskusi para pemimpin negara serta para stakeholders telah mengerucut pada beberapa poin yang dibahas pada forum-forum internasional seperti Weforum’s Davos Agenda, mengingat perubahan model industri tersebut terjadi pada lintas negara karena dapat memanfaatkan teknologi ruang kerja virtual. Diantara sebab lainnya, penanggulangan mismatch / kesiapan sumber daya manusia (workforce) terhadap lingkungan produksi atau bekerja yang baru (revolusi industri keempat) menjadi salah satu, dari beberapa hal yang menjadi ‘prioritas’ untuk dikembangkan sebagai sebuah kesepakatan bersama dalam satu inisiatif global. Dapat terjadi karena beberapa faktor, secara esensi mismatch merupakan ketidakcocokan keterampilan dan kemampuan seorang pekerja terhadap kebutuhan industri, baik ketidakcocokan tersebut dari latar belakang pendidikan, maupun karena berubahnya kebutuhan industri tempat pekerja tersebut bekerja. 


Mismatch tersebut memiliki potensi besar untuk menjadikan penghambat terhadap percepatan perkembangan peradaban, organisasi, serta produksi barang dan jasa. Dapat diketahui bersama melalui konsep klasik yang dikemukakan Adam Smith melalui The Wealth of Nations (1776), bahwa salah satu poin diantara 7 (tujuh) poin penting lainnya, untuk mempercepat sebuah sistem produksi barang adalah melalui spesialisasi buruh atau pembagian pekerjaan kepada pekerja atas dasar keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya (division of labor). Dimana hal tersebut secara otomatis akan mengurangi potensi waktu yang terbuang ‘sia-sia’ untuk mempelajari keterampilan dan kemampuan pekerja yang relatif ‘baru’ pada skenario mismatch secara signifikan. Sehingga hal ini menciptakan sistem bekerja, rekrutmen pegawai, spesialisasi, jabatan fungsional sebagai konsep yang kita kenal secara umum dan baik pada era sekarang, dimana tujuan utama pembagian pekerjaan tersebut adalah ‘speed’ atau kecepatan produksi (dalam arti luas). 


Dikemukakan pada sekitar tahun 1776 oleh Smith, konsep tersebut secara relatif tidak pernah lebih relevan untuk menjadi sebuah konteks pada era revolusi industri keempat ini. Hal tersebut dikarenakan kondisi pasar, demand, dan supply yang tentunya menuntut semua pihak untuk dapat menyesuaikan diri kedalam konteks yang selalu berkembang tersebut. Kedinamisan suatu entiti, baik secara individu maupun kolektif, mungkin tidak pernah lebih tertantang lagi dibandingkan dengan era revolusi industri keempat yang menuntut kecepatan dan akurasi dalam hampir segala aspek kehidupan lebih dari apapun, yang mana salah satu langkah pertama yang harus dilakukan adalah meminimalisir potensi terjadinya sebuah ‘mismatch’.


(Aryo Arvianto, Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Ambon)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini