Pada umumnya, limbah
dianggap sebagai produk akhir dari ketergunaan suatu produk yang tidak berguna
dan tidak bernilai dari akhir fase kehidupan produk. Pendekatan zero-waste
secara langsung menantang asumsi umum ini dan menemukan cara untuk menggunakan
kembali limbah dari hasil akhir fase kehidupan suatu produk. Pendekatan toxic-waste
menyatakan bahwa limbah berbahaya merupakan racun yang tidak dapat ditoleransi.
Pendekatan zero-waste
mengakui bahwa limbah merupakan kesalahan alokasi atau peruntukan dari suatu
sumber daya atau 'sumber daya dalam transisi' yang dihasilkan selama fase
antara kegiatan produksi dan konsumsi. Pemahaman ini tidak memandang sampah
sebagai bahan yang harus dibuang dan dibakar, namun menganggap sampah sebagai
sumber daya yang harus digunakan kembali. Salah satu prinsip dari zero-waste
untuk melestarikan dan mempertahankan sumber daya. Sistem pengelolaan limbah
tradisional tidak mementingkan nilai sumber daya yang ada dari limbah atau
sampah tersebut karena berfokuskan hanya pada pembuangan limbah yang aman.
Sistem pengelolaan tanpa limbah mempertahankan nilai produk dan sumber daya
dengan mempertimbangkan nilai yang terdapat dari limbah atau sampah yang ada,
misalkan dengan penggunaan sistem ekonomi sirkular dalam pengelolaan limbah
dengan tahapan mengurangi, menggunakan kembali, memperbaiki, menjual kembali,
dan mendaur ulang.
Tabel Perbedaan
Pengelolaan Sampah Secara Konvensional dengan Skema Zero-Waste
Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan data total sampah nasional pada tahun 2021 di Indonesia mencapai 685 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 persen atau sekitar 116 juta ton disumbangkan oleh sampah plastik. Berdasarkan dengan data tersebut, menimbulkan pertanyaan apakah zat seperti plastik dapat digunakan kembali secara efektif dan aman ketika produk degradasi atau turunan mikropartikelnya dianggap sebagai produk yang sangat berbahaya. Dengan demikian, dapatkah plastik dikelola sebagai bagian dari agenda zero-waste atau merupakan bagian dari agenda toxic-waste?
Kesadaran akan ancaman global dari sampah dan limbah plastik serta produk turunannya terhadap pencemaran lingkungan semakin meningkat, salah satunya karena sampah plastik terdaftar dalam Konvensi yang dihasilkan dari inisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilaksanakan di Basel, Switzerland pada Mei 2019 lalu dengan agenda utama berupa Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya. Amandemen Konvensi Basel melarang perdagangan antara pihak dan non-pihak yang mengekspor plastik dengan tujuan untuk mengurangi pembuangan sampah plastik dan mikroplastik ke lingkungan, khususnya lingkungan laut. Tujuan utama dari amandemen tersebut adalah untuk meningkatkan kontrol pergerakan lintas batas sampah plastik dan untuk memperjelas ruang lingkup Kovensi yang berlaku untuk sampah dan limbah tersebut. Namun, menerjemahkan inisiatif tersebut ke dalam kebijakan limbah dan pengelolaan lingkungan yang masih tertinggal.
Berdasarkan publikasi dari Zimmerman, Anastas, dan kawan-kawan tahun 2020 yang berjudul Designing for a Green Chemistry Future menyatakan bahwa “masyarakat yang berkelanjutan akan bergantung pada produk dan proses kimia yang dirancang mengikuti prinsip-prinsip yang membuatnya kondusif bagi kehidupan”. Karakteristik produk perlu dipertimbangkan pada awal setiap tahap perancangan untuk mengatasi masalah dengan pertimbangan melakukan daur ulang (terbarukan) dibandingkan dengan menghancurkan sampah yang dihasilkan dan pertimbangan bahan yang ramah lingkungan berbandingkan dengan bahan beracun. Limbah beracun atau berbahaya adalah limbah memiliki sifat yang berbahaya atau mampu memberikan efek berbahaya bagi kesehatan manusia atau lingkungan (Sivaram N, dkk., 2018).
Sampah plastik
melepaskan unsur beracun seperti dioksin, furan, merkuri, dan bifenil
poliklorinasi ke lingkungan alami selama pembakaran dan degradasi
(mkroplastik) (Verma R, dkk., 2016). Berbagai penelitian telah mengkonfirmasi
bahwa plastik pecah menjadi potongan-potongan kecil yang menyebar melalui
rantai makanan dan mikroplastik yang tertelan dapat menyebabkan kerusakan.
Studi terbaru mengungkapkan bahwa polistirena (polimer dengan monomer stirena,
sebuah hidrokarbon cair yang dibuat secara komersial dari minyak bumi)
berbahaya bagi sistem saraf pusat.
Dampak yang diberikan
sampah dan limbah plastik tidak hanya berpengaruh pada lingkungan namun juga
pada kesehatan manusia dengan mengatur strategi penggunaan dan pengolahan
sampah dan limbah plastik walaupun akan menghadapi banyak tantangan besar
kedepannya, sehingga Zaman dan Newman (2021) memberikan agenda zero-waste
jangka pendek dan agenda toxic-waste jangka panjang, sebagai berikut:
· Agenda zero-waste jangka Pendek: Pembuatan
kebijakan yang tegas mengenai agenda zero-waste oleh Pemerintah yang melibatkan
pihak swasta dan industri terkait, dan seluruh pemangku kepentingan yang akan
terlibat dalam agenda zero-waste ini.
· Agenda toxic-waste jangka panjang:
a) Mengurangi
perpindahan plastik antar negara untuk mengurangi pembuangan sampah dan limbah
plastik ke lingkungan, terutama laut.
b) Menyarankan
untuk plastik berbahan dasar minyak harus dihilangkan sebagai bagian dari transisi
ke era pasca bahan bakar fosil.
c) Transisi
dari energi berbasis bahan bakar fosil ke opsi energi terbarukan berbasis bahan
bakar non-fosil.
d) Penggunaan
bahan pengganti dalam penciptaan plastik dengan bahan biologis yang sepenuhnya
dapat terurai dan dapat didaur ulang, seperti penggunaan selulosa yang disebut
bioplastik.
Mewujudkan sustainable
earth memerlukan tindakan nyata yang bijak dalam penggunaan, pengelolaan,
dan daur ulang plastik tidak hanya oleh industri besar, namun dari seluruh
lapisan pengguna dari tingkat pengguna level terendah sampai tertinggi.
Sehingga agenda kebijakan harus mempertimbangkan agenda zero-toxic waste
plastik pada jangka pendek dan jangka panjang untuk memerangi tantangan limbah
plastik.
Akankah pembaca ikut
serta dalam mewujudkan sustainable earth tanpa sampah dan limbah
plastik?
Penulis: Athika Meliana
Dewi (Bidang Penilaian, Kanwil DJKN Suluttenggomalut)
Referensi:
1.
Basel
Action Network. Plastic Waste Partnership. 2019. from http://www.basel.int/Implementation/Plasticwastes/PlasticWastePartnership/tabid/8096/Defaul
t.aspx
2.
Browne
MA, Crump P, Niven SJ, Teuten E, Tonkin A, Galloway T, Thompson R. Accumulation
of microplastic on shorelines woldwide: sources and sinks. Environ Sci Technol.
2011;45(21):9175-9.
3.
Browne
MA, Crump P, Niven SJ, Teuten E, Tonkin A, Galloway T, Thompson R. Accumulation
of microplastic on shorelines woldwide: sources and sinks. Environ Sci Technol.
2011;45(21):9175-9.
4. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220225173203-20764215/sampah-plastik-2021-naik-ke-116-juta-ton-klhk-sindir-belanja-online.
26 Februari 2022. Sampah Plastik 2021 Naik ke 11,6 Juta Ton, KLHK Sindir
Belanja Online. CNN Indonesia.
5.
Rochman
CM, Browne MA, Halpern BS, Hentschel BT, Hoh E, Karapanagioti HK, Rios- Mendoza
LM, Takada H, Teh S, Thompson RC. Classify plastic waste as hazardous. Nature.
2013;494(7436):169-71.
6.
Sivaram
N, Gopal P, Barik D. Toxic waste from textile industries, Energy from Toxic Org
Waste Heat Power Gener; 2018. p. 43–54.
7.
Verma
R, Vinoda K, Papireddy M, Gowda A. Toxic pollutants from plastic waste-a
review. Procedia Environ Sci. 2016;35:701–8.
8. WECF.
Dangerous health effects of home burning of plastic and wastes. 2004. Women in
Europe for a Common Future Fact Sheet from http://www.wecf.eu/cms/download/2004-
2005/homeburning_plastics.pdf
9.
Zaman
A, Newman P, Plastics: are they part of the zero-waste agenda or the
toxic-waste agenda. 2021. From https://sustainableearth.biomedcentral.com/
articles/ 10.1186/s42055- 021-000438.
10. Zaman AU, Ahsan T. Zero-waste:
reconsidering waste Management for the Future. New York: Routledge; 2019.
11. Zimmerman JB, Anastas PT, Erythropel HC,
Leitner W. Designing for a green chemistry future. Science.
2020;367(476):397–400.