Berkembangnya teknologi sangat
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia, khususnya dalam pekerjaan. Adanya sistem automasi
yang telah dikembangkan dan pelaksanaan
koordinasi antar pegawai yang saat ini dengan mudah dapat dilakukan secara daring menjadi penunjang pegawai untuk
dapat bekerja di mana saja dan kapan saja. Di sisi lain, hal tersebut seringkali menyebabkan overworked atau bekerja secara berlebihan pada pegawai di luar jam kerja dan hari kerja
karena akses yang tidak terbatas waktu dan tempat. Pelaksanaan work from
home (WFH) sejak kemunculan pandemi COVID-19 juga terkadang mengakibatkan pegawai kesulitan mengatur
batas waktu kerja. Pikiran, waktu, dan tenaga
yang sebagian besar teralihkan untuk pekerjaan menimbulkan tidak
tercapainya work-life balance
pada pegawai.
Work-life
balance adalah suatu kondisi terjadinya keseimbangan
antara pekerjaan dan “kehidupan”. Menghabiskan waktu bersama
keluarga atau teman, melakukan pengembangan diri, berolahraga, memiliki
waktu tidur yang cukup, dan menjalankan hobi
merupakan beberapa contoh dari apa yang dimaksud
dari “kehidupan”. Terpenuhinya semua hal tersebut tidak hanya untuk menjaga kesejahteraan hidup
pegawai, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat
secara berkesinambungan.
Work-life balance
yang tidak terpenuhi
berdampak menurunkan produktivitas pegawai. Terlalu lama bekerja dapat mengakibatkan kelelahan
secara fisik dan mental. Kelelahan yang diakibatkan, dapat membuat seseorang
cenderung menjadi kurang fokus dan
sering berbuat kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan membuat
penyelesaian tugas membutuhkan
waktu yang lebih lama, akhirnya menurunkan kinerja pegawai dan menghambat jalannya organisasi. Dampak
lain dibuktikan oleh sejumlah penelitian yang
dilakukan oleh Marianna
Virtanen dan rekan-rekannya dari Institut Kesehatan
Kerja Finlandia. Marianna mengemukakan bahwa bekerja secara berlebihan yang mengakibatkan stres,
dapat memicu berbagai macam masalah kesehatan, termasuk diabetes,
penyakit jantung, gangguan ingatan,
gangguan tidur, bahkan
depresi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi work-life balance pada diri sendiri adalah mempertegas pembagian waktu untuk pekerjaan dan kehidupan personal, misalnya dengan memulai dan mengakhiri kegiatan bekerja tepat waktu sesuai dengan aturan jam kerja yang berlaku. Pelaksanaan dan penyelesaian tugas hanya saat jam kerja. Pengecualian hanya untuk tugas yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah
berani untuk berkata “tidak”. Terkadang terdapat pegawai
yang tidak segan untuk menawarkan atau bahkan secara langsung menyerahkan pekerjaannya kepada rekan
kerjanya. Sedangkan rekan kerja tersebut tidak
berani dengan tegas menolak pekerjaan yang diserahkan. Padahal pembagian
tugas dan tanggung jawab
masing-masing sudah jelas. Tolak secara tegas dan tidak menggunakan kata-kata
yang menyinggung, serta berikan pengertian atas penolakan tersebut.
Tercapainya work-life balance pada setiap pegawai didukung juga dengan adanya kesadaran dan pemahaman seluruh pegawai
mengenai pengaruh dan dampak yang akan terjadi. Bentuk kesadaran dan pemahaman tersebut
dapat dilakukan dengan cara menghargai waktu yang dimiliki setiap
pegawai, misalnya tidak mengganggu waktu rekan
kerja untuk membahas dan menyelesaikan pekerjaan yang tidak mendesak di
luar jam kerja. Cara lainnya adalah
dengan memahami dan mempertanggungjawabkan porsi kerja yang telah dibagikan masing-masing agar tidak membebani rekan
kerja yang lain.
Referensi:
https://hbr.org/2015/08/the-research-is-clear-long-hours-backfire-for-people-and-for- companies
Penulis: Nurlailiyatus Sa’adah, Pelaksana Bagian Umum Kanwil DJKN
Kalbar