Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pernah mengirim nota dinas ke semua kantor vertikal dibawahnya perihal Penyampaian Kajian Pelanggaran Disiplin Pegawai di Lingkungan DJKN semua Dalam Kajian pelanggaran disiplin pegawai di lingkungan DJKN didapat simpulan antara lain; Pelanggaran disiplin berupa penerimaan uang berkaitan dengan jabatan paling banyak terjadi di bidang pekerjaan lelang yaitu sekitar 62%.
Sumber:
Bagian Kepegawaian, Sekretariat DJKN
Mengutip dari lampiran dimaksud diketahui bahwa pada tahun 2018 dan 2020 bidang pekerjaan lelang memiliki porsi paling yang besar jika dibandingkan dengan bidang pekerjaan lainnya untuk kasus pelanggaran disiplin berupa penerimaan uang yang berkaitan dengan jabatan, yaitu 70% untuk tahun 2018 dan 63% untuk tahun 2020. Sedangkan secara total sepanjang tahun 2018 sampai dengan 2020, bidang pekerjaan lelang memiliki porsi sebesar 62% atau 13 (tiga belas) kasus dari total 21 (dua puluh satu) kasus. Hal ini menjadikan pekerjaan di bidang lelang menjadi bidang pekerjaan yang perlu mendapatkan perhatian khusus berkaitan dengan potensi terjadinya pelanggaran disiplin pegawai berupa penerimaan uang yang berkaitan dengan jabatan pegawai.
Pelanggaran dan Kedisiplinan pegawai memang merupakan fungsi operatif Bidang Sumber
Daya Manusia (SDM), namun tentunya kita
perlu memahami bahwa permasalahan ini bukan hanya berhenti pada bagian SDM kepegawaian
saja, Apalagi berhenti pada “let manager manage” dan mengembalikan ke
pimpinan unit organisasi untuk menangani hal hal semacam ini, setidaknya kita
semua sebagai keluarga besar DJKN patut juga prihatin dan bertanggung jawab
minimal di wilayah kita masing masing. Apalagi penulis sebagai staf Kanwil DJKN
Bidang Lelang, punya peran sebagai Pengawas
Lelang (Superintenden) yang diberi kewenangan oleh Menteri Keuangan untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang, tergelitik untuk
memberi urun rembuk dalam mensikapi persoalan ini.
Masalah adalah sesuatu yang
mudah diidentifikasi, sedangkan solusi dan penyelesaianya, jauh lebih sulit.
Begitupula persoalan pelanggaran disiplin dan penjatuhan disiplin pada pegawai,
yang notabene staf, rekan kerja dan bahkan teman kita sendiri. Tidak jarang kita terjebak pada sikap
disonansi kognitif yang ada, sehingga enggan untuk belajar menemukan titik
terang dan solusi, yang pada gilirannya
dengan sadar kita men-subordinat-kan
permasalahan ini sebagai hal nomor-kesekian. Belum lagi dogma klasik “kearifan
lokal” sebagai alasan pema’af untuk membenarkan kebiasaan dan bukan membiasakan
kebenaran. Dan lagi kita belum mengimani bahwa “pelanggaran etik biasanya
memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum” sehingga tidak jarang kita
malah membiarkan daripada menegur.
Membiarkan masalah ini sehingga mewabah menjadi
patologi ‘membenarkan kebiasaan’ pada ekosistem ruang kerja kita adalah hal
yang tidak kita inginkan bersama , apalagi bila terjadi gejala pembiaran. Meminjam teori
Broken window . Teori ini terkenal dalam dunia kriminal namun
dalam konteks ini teori ini bisa memberi pelajaran awal bahwa sikap permisive pada kesalahan-kesalahan
kecil bisa berujung pada persoalan yang
lebih komplek dan sulit. Teori ini digagas oleh ilmuwan sosial James Q. Wilson dan George L. Kelling. Teori ini berargumen bahwa apabila
permasalahan ataupun ketidakteraturan kecil dibiarkan tanpa ditindaklanjuti
maka akan lebih berani orang melakukan hal yang sama dan bahkan menyebabkan
terjadinya perilaku salah dalam skala yang lebih besar.
Berangkat dari narasi diatas tidak berlebihan bila
penulis memberi tulisan ini dengan judul mengingkari gejala, dengan maksud agar kita sebagai keluarga besar DJKN tahu apa
dan mengapa permasalahan ini mengemuka, serta membuka dialog bersama atas
persoalan disiplin dan penjatuhan hukuman disiplin sekaligus memahami gejala
yang terjadi bukan malah mengingkarinya, karena berpura pura tidak ada apa apa
tidak membuat citra kantor ini semakin
baik, justru menjadikan seksi Sumber Daya Manusia semakin sibuk sebagai
“pemadam kebakaran” dari persoalan yang ada.
Peningkatan
pengawasan
Disiplin Pegawai (ASN)
adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari
larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan
kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Dalam sebuah organisasi seorang pimpinan dikatakan efekif dalam
kepemimpinannya, jika para bawahannya berdisiplin baik. Disiplin yang baik
mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang
diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan
terwujudnya tujuan kantor dan organisasi.
Untuk memelihara dan meningkatkan kedisiplinan yang baik adalah
hal yang sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Seperti yang
disampaikan diatas bahwa hal ini menyangkut (kecurangan) jam kerja maupun fraud
. Mengapa Orang melakukan kecurangan atau bagaimana terjadinya fraud atau
kecurangan itu sendiri ? ada teori segitiga
kecurangan (Fraud Triangle Theory) yang menurut
Dr.Donal Cressy terdiri atas tiga elemen: Motif(motive), kesempatan (opportunity)
dan rasionalisasi (rationalization).
Motif(motive) adalah alasan sesorang
melakukan fraud atau kecurangan, bisa
berupa keserakahan, balas dendam, tekanan pihak lain, kebutuhan mendesak, Untuk
itu bisa saja pegawai yang punya Pendidikan dan intelektual tinggi masih melakukan kecurangan .
Kesempatan(opportunity)
merupakan lingkungan yang mendukung dalam melaksanakan fraud atau kecurangan, umumnya kesempatan itu bersumber dari
tingkat jabatan, posisi kewenangan atau otoritas seseorang. Pengawasan Internal
kurang baik akan kian memperluas lahirnya kesempatan bagi sesorang untuk
berbuat fraud atau kecurangan
Sementara yang dimaksud rasionalisasi (rationalization) adalah bagaimana pelaku
fraud atau kecurangan melakukan
justifikasi (pembenaran) perilaku yang tak layak itu. Dengan Bahasa yang lebih keren,
rasionalisasi merupakan sebab yang menjelaskan mengapa perilaku sesorang
berbeda motif dengan orang lainya. Oleh karena itu seringkali seseorang, ketika melakukan rasionalisasi terhadap
perilaku, ia merasa tidak bersalah sekalipun ketangkap basah. Bahkan mereka
tidak jarang melakukan verbalisasi terhadap perilakunya guna berusaha menyesuaikan
konsep aturan yang seharusnya. Dan tidak jarang dengan sebuah apologi untuk menegaskan
bahwa ‘kebenaran’ yang ia sampaikan berbasis logika empati dan masuk akal, lalu
mendiseminasinya untuk jadi kebenaran kolektif.
Adanya motivasi, kesempatan, dan rasionalisasi seseorang
dapat melakukan kecurangan namun karena kurangnya kemampuan untuk
melaksanakannya maka perilaku itu tidak akan terjadi. Makanya teori segitiga kecurangan (Fraud Triangle Theory) ini disempurnakan oleh Wolfe dan Hermanson dengan teorinya “Fraud Diamond Theory “(FDT) dimana ‘kemampuan’
seseorang juga menjadi elemen pertimbangan bagi menilai perilaku curang
sesorang.
Contoh kasus yang
sering kita dengar di lingkungan kita, terkait oknum yang mengerti dan mampu
memanfaatkan celah peraturan dan menggunakan kemampuan mereka untuk melakukan kecurangan
sesuai keinginannya. Bahkan kemampuan mereka untuk
melakukan kecurangan meningkat seiring pengetahuan mereka, seperti terus mengupdate dan memahami pengendalian
internal yang ada yang bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan kelemahanya
yang selanjutnya menggunakanya dalam merencanakan kecurangan.
Untuk itu entitas yang berperan dalam kepatuhan
terhadap kode etik dan disiplin pegawai
harus selalu meningkatkan kemampuan personalnya tidak hanya bidang tehnologi
namun juga kemampuan intepersonalnya, karena aturan dan ketentuan bahkan
aplikasi pendukungnya yang canggih hanya
seperti artificial Intelligence yang
cuma bisa mengelola the how dari
tingkah laku pegawai, tetapi belum menyentuh ke pada sisi the why alias alasan mengapa tingkah dan perilaku ketidaksiplinan
itu muncul. Atau dengan kata lain, dengan perkembangan seperti sekarang ini
kita harus lebih berfokus pada pribadi pegawai dengan segala dinamikanya. Memang
fokus dan peduli pada seseorang biasanya butuh energi lebih dan melelahkan
namun kepedulian pada sesama apalagi pada bawahan, rekan kerja atau atasan
adalah tugas kita bersama.
Literasi Dan Penguatan
Nilai Integritas
Ada prinsip umum yang berlaku bahwa “ Peduli pada hal
yang buruk lebih kuat daripada hal yang baik “ . Ketika kita mengetahui hal
buruk tentang orang lain, informasi itu lebih melekat dari pada informasi
tentang hal yang baik. Kita memperhatikan lebih banyak kepada sesuatu yang
buruk, merenungkanya lebih lama, mengingatnya lebih lama dan memberikanya bobot
lebih besar ketika menilai orang tersebut secara keseluruhan. Kita bisa lihat bagaimana ekosistem menghukum
teman kita yang bermaslah dengan kedisplinanya, mulai dengan distigmakan sebagai trouble maker sampai dengan eliminasi dari kegiatan kegiatan pokok
kantor. Bahkan lebih tragis lagi kalau pegawai tersebut dimutasi dengan masih
membawa persoalan praduga kedisplinan dari kantor lama. kayaknya tidak ada kata
baik bagi integritasnya di unit yang baru.
Begitupun respon spontan kita terpengaruh pada prinsip
bias “ yang buruk lebih butuh energi lebih dari pada yang baik” . “Ah ngapain
ngurusin yang beginian bikin repot, menyita waktu dan tidak populis, mending urusin
rutinitas, ngejar target atau yang lainya. Begitupun seonggok aturan
kepegawaian dan peraturan terkait, rapi
di bawah laci, dibuka-buka kalau ada masalah nanti. Seandainya disosialisasikan
pun hanya sebatas ingatan di ruangan,
jauh dari melekat apalagi sebagai rambu pengingat.
Lalu bagaimana caranya agar upaya edukasi dan
literasi bisa efektif dan bisa menjadi kesadaran kita bersama ? Pertama, perlu kita sampaikan bahwa dalam
dirimu ada dialektika benar dan salah, tidak mungkin bener terus ataupun salah
terus. Orang bijak bilang “Siapa yang takut salah, dia pasti akan memilih untuk
tidak berbuat apa-apa“ . Makanya kita harus belajar mencari apa yang benar dan
apa yang salah, sekarang yang salah bisa pada teman dan yang benar pada anda,
atau sebaliknya suatu saat nanti, makanya mari kita mencari apanya bukan siapanya,
kita mempersoalakan nilai bukan manusianya. Dan marilah belajar bersama sama.
Kedua, “Pengetahuan tidak merubah perilaku” Banyak
dokter ahli gizi yang kegemukan, Tidak jarang ahli hukum punya masalah dengan
hukum dan dipidana dan seterusnya. Sementara informasi sudah terlalu terbuka sehingga orang dengan mudah
bisa membuka dan mengecek kebenaran dan fakta yang dibicarakan orang. Artinya Tahu saja belum cukup,
dan sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu
apalagi diruang digital ekosistem seperti sekarang ini.
Lalu bagaimana agar upaya penguatan
nilai integritas dapat kembali diinternalisasi secara serius kepada seluruh
insan DJKN serta edukasi dan literasi dapat lebih membumi pada masyarakat DJKN,
yang mana sedang diuntungkan oleh bonus demografi dengan banyaknya angkatan milenial, yang memiliki
ciri berpikir strategis, inspratif, inovatif, interpersonal, energik, antusias
egaliter. Adanya
digital literasi, mungkin salah satu jawabanya. Tentu pola dan bentuknya bisa
kita sesuaikan. Dan ini
merupakan tugas kita bersama untuk menyediakan insfastruktur tersebut dalam
bahasa yang fun dan friendly .
Ketiga, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 94 tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil , Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 97/PMK.01/2019 dan
aturan terkait Disiplin dan Kode Etik lainya,
kalau hanya
dipahami secara verbal-literal pasti akan kehilangan pesan dan makna terdalam,
makanya butuh respon perasaan dan emosi. Dalam kaitan ini seksi terkait dapat
merancang kegiatan In House Training
atau sharing knwoladge yang tidak
hanya menghadirkan narasumber yang kompeten di bidang ini namun juga dari mereka
yang sedang menjalani hukuman atau sedang dalam proses penjatuhan hukuman
disiplin atau temen teman kita yang sudah pernah menerima hukuman disiplin.
Memang sulit tapi
kan belum tentu tidak bisa. Makanya kita perlu cermat dan cepat memberi
pemahaman sekaligus menangani persoalan hukuman disiplin ini, bukan malah
mengingkarinya dan berpura pura tidak ada apa-apa demi citra organisasi karena
tidak membuat situasi semakin baik malah justru sebaliknya. Bahkan akan menjadi
bomerang bagi kita apabila kita tidak segera menanganinya karena pasal 28 Ayat
(1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 94 tahun 2021 berbunyi “Atasan langsung yang tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan
terhadap PNS yang diduga melakukan Pelanggaran Disiplin, dan/atau melaporkan
hasil pemeriksaan kepada Pejabat yang Berwenang Menghukum dijatuhi Hukuman
Disiplin.
Disclaimer : Artikel ini merupakan opini pribadi dari penulis dan bukan
merupakan pernyataan resmi dari institusi dimana penulis bekerja.
Mohammad Chifni
Seksi BL I Bid.Lelang Kanwil DJKN Jatim.