Menyambung kisah perjalanan mengenai Barang Milik
Negara (BMN) dan tantangannya, beberapa pertanyaan muncul sekitar kegiatan
pengawasan dan menanyakan seberapa efektifkah aturan yang sudah ada sejak satu
dasawarsa yang lalu, atau tepatnya sejak terbitnya PMK nomor 244/PMK.06.2012
hingga terbitnya PMK yang baru yaitu nomor 207/PMK.06/2021 yang mulai berlaku 1
Januari 2022.
Seperti diketahui bersama bahwa pengawasan dan
pengendalian BMN merupakan kegiatan yang melekat pada siklus pengelolaan BMN
yang dalam hal ini merupakan salah satu faktor pengendali agar BMN ditatakelola
dengan baik sesuai kaidah dan aturan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan yang lama (PMK 244/2012),
sebenarnya baik dari sisi Pengelola dan satuan kerja/Kuasa Pengguna Barang
diamanatkan untuk berperan aktif dalam menertibkan pengelolaan asetnya sehingga
pengelolaan yang dilakukan belum didasarkan pada ketentuan yang berlaku dapat
diminimalkan atau bahkan ditiadakan.
Amanat peran aktif Kuasa Pengguna Barang (KPB) ini
terlihat dari proses bisnis pelaporan pengawasan dan pengendalian ini yang
mengharuskan dalam satu tahun periode pelaporan wajib melaporkan kegiatan
pengelolaannya baik dari sisi yang telah sesai ketentuan maupun yang belum.
Namun demikian, sejauh ini dirasakan bahwa sepertinya kegiatan wasdal ini
terlihat belum menyentuh pada ruh regulasi wasdal yang telah disusun ini. Padahal di dalam regulasi
wasdal ini, telah terdapat sejumlah tools
seperti tindakan investigasi hingga peran auditor apabila sampai terdapat
indikasi penyimpangan berat di sana.
Apabila di telisik lebih lanjut, belum optimalmya
peran wasdal ini bisa jadi dimungkinkan karena belum optimalnya proses bisnis pada
regulasi yang lama (PMK 244/2012) yang menyebabkan peran lebih dari Pengguna
Barang belum cukup terlihat signifkan. Ini dapat dicermati pada alur pelaporan
wasdal yang dilakukan oleh satuan kerja langsung kepada Pengelola Barang tanpa
adanya pelaporan melalui Pengguna Barangnya. Hal ini lah yang mungkin
menyebabkan seolah-olah Penggelola Barang beupaya sendiri dalam agar BMN
ditatakelola dengan tertib. Meskipun secara tugas dan kewenangannya berbeda, sejatinya
kedua pihak baik Pengelola dan Pengguna Barang dituntut berperan aktif dalam
penyelesaian issue klasik pengelolaan
BMN yang sering ditemui seperti kondisi rusak namun belum dihapus,
berpindahtangan di luar ketentuan, BMN idle, dikuasai pihak lain secara
sepihak, dan pemanfaatan tanpa persetujuan, tanah belum bersertifikat, bahkan
aset tidak dicatat masih menjadi tantangan besar dalam pengelolaan BMN kita.
Beralih kepada regulasi wasdal yang baru yaitu
PMK 207/2021, pada regulasi ini dapat dilhat perubahan proses bisnis pada alur
pelaporan yang berbeda dengan aturan sebelumnya. Pada aturan yang baru ini,
peran Pengguna Barang lebih terlihat dan turut berperan lebih aktif dalam
mengkonsolidasi dan memantau data pelaporan wasdal seluruh satuan kerjanya yang
nantinya disampaikan kepada Pengelola Barang. Perubahan proses bisnis ini
sepertinya merupakan salah satu upaya dalam mengoptimalkan peran wasdal
sebagaimana yang dinginkan. Memang ini
menjadi tantangan tersendiri apakah perubahan paradigma ini menjadi penentu
perubahan tata kelola wasdal secara signifikan, atau malah tetap akan berujung
seperti aturan sebelumnya. Tentu ini pasti perlu upaya dan fokus bersama dari
semua pihak, dan mungkin terkait hasil dan implementasinya akan terjawab
seiring berjalannya waktu (bd02)