Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Banten > Artikel
Apakah Citra Baik Perlu dibangun, sebuah Pertanyaan.
Wisnu Herjuna
Senin, 27 Februari 2023   |   8692 kali

Nila setitik rusak susu sebelanga, peribahasa yang menggambarkan bahwa kesalahan sekecil apapun itu akan punya dampak luas pada citra seseorang/organisasi secara keseluruhan. Kenapa bisa rusak susu sebelanga? Karena susu itu putih dan warna apapun yang masuk akan merubah warna keseluruhan. Susu putih menggambarkan sebagai suatu hal yang suci, baik dan bermartabat. Warna putih jauh dari kata kesalahan, ketamakan, kerakusan, kekejaman atau kemunafikan. Warna putih sangatlah rentan, mudah terkontaminasi meskipun jumlahnya lebih banyak daripada warna lain dalam suatu wadah. 


Peribahasa tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut, lalu selain susu kira-kira apa saja yang tidak rusak karena nila setitik. Kalo berfikir dengan logika yang  sederhana, tentu sebuah benda yang karakternya bukan sesuatu yang putih, suci dan bermartabat. Atau benda yang stigma nya sudah rusak, sehingga tidak akan terpengaruh dengan kerusakan-kerusakan yang datang bertubi-tubi.  


Jadi kalau kita sambung ke pembangunan citra, apakah kita perlu mengenalkan diri sebagai orang yang tidak bersih-bersih amat, sehingga kesalahan kecil akan cenderung termaafkan atau dilupakan? Atau tidak usah membangun citra sama sekali, agar mereka melihat apa yang terlihat di permukaan, kalo terlihat baik atau buruk ya itu memang citra kita saat ini. Tapi sampai saat ini penulis belum tahu bagaimana teknik membangun citra bisa hadir di lingkungan kita dan diyakini ini sebagai keniscayaan untuk terus dibangun. 


Mengenalkan diri bahwa kita ini adalah orang/organisasi yang baik atau malaikat yang turun ke bumi karena mengemban tugas mulia adalah sebuah bumerang. Bumerang yang akan menyerang balik kita suatu saat. Dan kalo kita tidak siap maka luluh lantahlah kita, babak belur, jatuh tersungkur tanpa mampu bangkit. “Cieesi paling baik kata mereka lewat jempol-jempol yang lincah di layar Hape. 


Tapi menurut penulis, kalau memang terpaksa untuk membangun citra yang baik, sebelum benar-benar di publikasikan ke seantero negeri, pertama dan paling utama memang harus memastikan kita ini baik. “Kita orang baikadalah suatu keadaan, bukan tagline. Kita mampu hadirkan kebaikan-kebaikan yang otentik, bukan artifisial. Senyum yang kita hadirkan adalah senyum dari lubuk hati, bukan senyum yang terkondisikan dari hasil diklat komunikasi yang efektif”. Sepertinya syaratnya sangat susah ya, tapi memang itu cara paling aman untuk menjual tagline “kita orang baik”.  


Kalau kita memilih untuk mengambil risiko untuk membangun citra sebagai orang baik tidak masalah, asalkan kita mampu bangkit apabila terjatuh karena kesalah-kesalahan manusiawi. Saat kita jatuh, kita akui secara terbuka bahwa kita menuju kesempurnaan, jadi ini semua tagline ini adalah suatu proses, bukan suatu fakta yang utuh dan padat . 


Kalau suatu saat nanti kita terjatuh, orang bijak pernah berkata, kita boleh jatuh seribu kali asalkan kita mampu bangkit untuk yang ke seribu satu. Kesalahan setitik akan kita ganti dengan sejuta kejujuran kedepannya. Kita yakinkan mereka yang ada diluar sana, “kita akan berubah”, dan  bagi mereka yang sudah bosan dengan kata-kata, mereka bilang, “buktikan!!!”. 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini