Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Banten > Artikel
Seba Badui Cara Urang Kanekes Mencintai Negeri
Shabira Afina
Jum'at, 23 September 2022   |   11867 kali

Ketika kita mendengar kata badui, tebersit langsung dalam benak kita dengan suku unik berdialek Sunda yang mendiami daerah Rangkasbitung (Kabupaten Lebak) di ujung barat Pulau Jawa, Provinsi Banten. Suku ini mendiami Desa Kanekes (yang dialiri sungai Cibaduy), daerah dataran tinggi di wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak dan berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang. Oleh sebab itu, masyarakat suku Badui disebut juga dengan urang Kanekes yang berarti orang yang berasal dari Kanekes. Salah satu warisan budaya yang eminen dan masih bertahan di era modern dari urang Kanekes adalah upacara seba yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten sebagai seba Badui.

  1. Aktualisasi Budaya yang Bernilai Adiluhung

Konstitusi kita melalui amendemen kedua UUD 1945 (Pasal 18B) mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Seba Badui merupakan salah satu tradisi adat yang bernilai adiluhung dan harus dilakukan oleh oleh urang Kanekes setiap tahunnya. Negara menjamin dan melindungi aktualisasi budaya dari masyarakat hukum adat ini.

Seba (artinya persembahan) merupakan rangkaian upacara tradisi adat yang dilakukan setelah Kawalu dan Ngalaksa (melaksanakan puasa kawalu dan bersilaturahmi kepada kerabat dan tetangga dengan membawa hasil panen/membuat makanan Laksa). Seba merupakan perwujudan ketaatan urang Kanekes kepada pemerintah Republik Indonesia yang secara simbolis dilakukan kepada kepala pemerintahan di daerah yaitu Bupati Lebak dan Gubernur Banten. Seba ini telah dilaksanakan sejak zaman kejayaan Kesultanan Banten.

Ritual seba secara umum diawali dengan dipilihnya perwakilan urang Kanekes oleh para tetua adat dan tetua adat tertinggi (Puun). Perwakilan urang Kanekes akan turut serta dalam perjalanan dari wilayah Badui Dalam (Badui Tangtu, berpakaian dan berikat kepala putih) dan Badui Luar (Badui Panamping, berpakaian hitam dan berikat kepala biru) menuju Pendopo Kabupaten Lebak dan berakhir di Pendopo Provinsi Banten. Perjalanan seba Badui dilakukan sejauh sekitar 80 kilometer yang ditempuh dengan berjalan kaki, tanpa kendaraan (urang Kanekes dari wilayah Badui Luar dapat menggunakan kendaraan). Pada tahun 2018 sebelum pandemi Covid-19, jumlah peserta seba melebihi 1688 orang.


Tradisi seba Badui digelar terbatas di Pendopo Kabupaten Lebak.

(Dok. Kompas.com/Acep Nazmudin)


Selanjutnya, setelah rombongan sampai di pendopo kabupaten/provinsi, wakil para tetua adat (Tanggungan Jaro Duabelas) mengawali seba dengan pengucapan tatabean (ucapan seserahan dalam bahasa asli Badui, diawali dengan ucapan salam “tabe”) yang antara lain berisi laporan kondisi warga, kondisi hasil panen, dan kondisi keamanan wilayah. Setelah itu dilakukan dialog antara bupati/gubernur yang menitikberatkan pada ucapan terima kasih pemerintah kepada warga wilayah Badui yang telah menjaga nilai-nilai warisan leluhur serta menjaga kelestarian alam dan menjaga lingkungan hidup dengan baik.

Seba Badui diakhiri dengan penyerahan hasil bumi urang Kanekes (beras, ketan, gula aren, pisang, durian, talas dan sejenisnya) dan seperangkat alat dapur (kukusan bambu, bakul, kipas, centong, dulang dan sejenisnya) kepada bupati/gubernur. Makna yang terkandung dari penyerahan hasil bumi dan seperangkat alat dapur ini adalah penegasan bahwa urang Kanekes adalah masyarakat petani yang amat sangat tergantung dari kondisi alam. Selain itu mereka juga memiliki tugas dari leluhurnya untuk menjaga kelestarian alam dan menjaga wilayah aliran sungai. Ritual seba Badui membuktikan peran serta masyarakat hukum adat dalam pelestarian alam yang telah dilaksanakan jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Sebagai balasan, bupati/gubernur akan memberikan bingkisan kepada perwakilan urang Kanekes yag memimpin jalannya seba Badui.

  1. Budaya Luhur dari Seba Badui 

Budaya luhur yang terimplementasi melalui seba Badui telah mencontohkan kepada kita bahwa masyarakat hukum adat melalui aktualisasi budaya yang merupakan warisan lelulur masih dapat bertahan ditengah-tengah kemajuan zaman. Seba Badui memiliki tujuan penting bahwa manusia sebagai hamba haruslah selalu bersyukur dan mengharapkan keselamatan hanya kepada Sang Causa Prima, urang Kanekes secara turun-temurun telah melaksanakan dan mampu mempertahankan religi dan tradisi dari leluhur mereka.

Secara khusus, seba Badui ini bertujuan untuk membawa amanat Puun, melaporkan kondisi/keadaan di wilayah Badui, menyampaikan harapan urang Kanekes kepada pemerintah, menyerahkan hasil bumi, dan untuk mempererat ikatan silaturahmi secara formal kepada “Bapak Gede” (bupati/gubernur). Kristalisasi nilai dari pelaksanaan seba Badui ini sesungguhnya menggambarkan bahwa masyarakat hukum adat kita (khususnya di wilayah Badui) telah melaksanakan salah satu konsep modern dari sistem pemerintahan demokrasi, yaitu adanya keterlibatan aktif dan dialog antara masyarakat dengan pemimpin pemerintahan.

  1. Cintai Negeri melalui Warisan Budaya

Urang Kanekes melalui ritual seba Badui telah mencontohkan kepada kita bahwa warisan budaya yang diturunkan oleh para leluhurnya memberikan pelajaran bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam dan lingkungan hidup sebagai subjek bukan hanya sebagai objek. Alam dan lingkungan memiliki hak untuk dilestarikan dan masyarakat (bahkan termasuk kita semua) memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengelola alam secara bijak. Sangat menarik bahwa konsep perlindungan serta pengelolaan atas alam dan lingkungan hidup ini sudah diwariskan oleh leluhur kita jauh sebelum deklarasi Stockholm pada tahun 1972 yang dianggap sebagai landasan awal dalam pengaturan global mengenai perlindungan lingkungan hidup.

Seba Badui juga membuktikan bahwa berkontribusi untuk negeri dapat dilakukan melalui komitmen dukungan loyalitas antara masyarakat adat (urang Kanekes) kepada pemerintah dan negara. Urang Kanekes membuktikan juga bahwa warisan budaya leluhurnya untuk menjaga dan melestarikan alam merupakan bukti nyata dari cara mereka mencintai negeri ini.

Penulis : Danu Umbara

Referensi :

  1. Buku/Kamus Elektronik:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2022, https://kbbi.kemdikbud.go.id/, diakses pada tanggal 17 Agustus 2022. 


  1. Jurnal Ilmiah:

Rusnandar, Nandang, 2013, Seba, Puncak Ritual Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, Patanjala Vol. 5, No.1, Hal. 83-100, Bandung.

Supriatna, Endang, 2012, Upacara Seba pada Masyarakat Baduy, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, Patanjala Vol. 4, No.3, Hal. 481-496, Bandung.


  1. Artikel/Berita Elektronik:

Kompas.com, 2022, https://regional.kompas.com/read/2022/03/02/150117878/ upacara-seba-suku-baduy-sejarah-tujuan-dan-pelaksanaan,  diakses pada tanggal 17 Agustus 2022.

Kumparan.com,  2020, https://kumparan.com/kumparantravel/7-fakta-unik-tradisi-seba-baduy-yang-perlu-kamu-tahu-1t135Jf0bwu, diakses pada tanggal 17 Agustus 2022

Kumparan.com, 2020, https://kumparan.com/kumparantravel/seba-baduy-dan-wasiat-para-leluhur-1t12pnto37L, diakses pada tanggal 17 Agustus 2022.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini