Bagiku gunung
dan perjalanan adalah buku. Ketika pengalaman dapat disesap menjadi ilmu. Tanpa
perlu aksara dan tanda baca, namun hinggap begitu saja menjadi mahfum, lalu mengilhami
menjadi laku. Mungkin begitulah Tuhan menginginkan kita faham dari maklumat
yang bukan hanya ayat, yang bukan hanya wahyu, yaitu lembaran-lembaran kisah
hidup yang terserak pada seluruh langkah mengarah menujuNya. Sehingga pada
saatnya kita akan memahami bahwa mutiara berbinarnya agama, iman, ilmu, ibadah
adalah akhlaq mulia.
…
“Dipusat lupa, pusaran manusia,
puncak ribut kota, hanya ku temu riuh! Hanya keluh saja dimana-mana! Kemana
rumput dan dedaun yang basah embun? Kesadaran akan indahnya hening seperti ini
telah pergi dan tak datang lagi. Apa saja genangan materi ditampung disini,
tapi kemana daun talas yang menampung tetes hujan? Bisakah jadi cermin bagi
sekulum anak senyum manusia? Dimana hati
manusia yang telah basah oleh ramah? Terjemah buah sujud Cinta hamba pada
TuhanNya. Dimana Hati-Rumah Kesadaran? Dimanakah Kamboja? yang jatuh dan tak
pernah menyalahkan angin. Andai saja bisa ku pungut. Sebagaimana bunga yang
sengaja dijatuhkan Tuhan. Agar semerbak aroma menyebarkan Hakikat Kesadaran
bagi kaliyan para pecinta!
Mulai berjalan sekarang menuju
Tuhan, atau berhenti adalah kehendakmu sendiri. Kembali atau tidak kembali
adalah pilihanmu sendiri. Hanya untuk engkau ketahui, bahwa Allah Sang Maha
Cinta dan Rasulullah KinasihNya, sesungguh rindu telah menunggu di lingkar
danau Swargaloka !”
(Catatan perjalanan tiga. Gunung
Merbabu-Bukit Gancik)
…
Menghindar dari
riuh obrolan gelap, negatif dan pesimis tentang banyak hal, ternyata masih
banyak bahasan, tawaran pemikiran untuk menghadapi tantangan masa ke depan.
Dimana proses telaahnya tentu tak bisa habis, hanya dengan sekali menyeduh
secangkir hangat kopi.
Demikian hal ini
hendaknya berproses alami terus-menerus dalam alam pemikiran. Juga kesabaran
berfikir dengan segala kerendahan hati diperlukan. Semua hanya untuk mengabdi
padaNya. Serta membuka celah-celah kemungkinan tentang apa yang sebenarnya
secara sembunyi Tuhan titipkan untuk kita, hidup untuk diperjalanankan tanpa
henti hingga pada setiap uji terpetik buah berupa hikmah kehidupan. Pada masa
sekarang, kelompok masyarakat menjadi semakin berbakat menjadi individu
daripada menjadi sebuah koloni suatu organisme yang saling mendukung dengan
fungsinya masing-masing. Seperti halnya komunitas lebah, mereka menjadi ayat
pengingat yang indah bagi manusia untuk menilik ulang terus menerus sistem
kehidupan yang saling membaur dalam gerak dan fungsi yang konstruktif.
Gotong-royong,
hingga Gugur-gunung adalah rekaman peristiwa yang mencatat kepiawaian para leluhur
dalam membaca dan kemudian menjadikan laku kehidupan yang menyatu, menggumpal
dan kontributif. Pada saat manusia belum banyak difasilitasi kemudahan,
kesulitan demi kesulitan justru membuat kehidupan berjalan mudah dan penuh
harmoni. Dahulu ketika untuk menempuh sebuah perjalanan lebih banyak
menggunakan kaki, orang yang tinggal berjauhan bisa saling mengenal, bisa
saling menyapa lalu mempersilakan singgah (ngampirke)
meskipun tidak mengenal sebelumnya. Sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi
sekarang dimana melalukan perjalanan menjadi lebih cepat, membuat
kebergantungan pada sistem sosial semakin memudar. Keindah-mewahan kebersamaan
itu digantikan sedikit demi sedikit dengan kemewahan lain bernama “egoisme” berkendaraan
pribadi yang membuahkan kesusahan bersama (kemacetan).
Generasi silih
berganti, dari boomer, gen x sampai dengan milenial, sesuai
zaman tentunya akan melewati banyak pergeseran. Juga melesatnya perkembangan
teknologi, dari jaman pra-Internet sampai sekarang artificial intelegence (AI) bisa dengan mudah digenggam oleh semua
tangan manusia. Zaman yang semakin berkembang ke arah sebagaimana orang
menyebut Transformasi Era Global. Dengan berbagai gegap gempitanya, ternyata
tidak hanya mampu mengkoneksikan manusia antar benua, namun juga membawa
manusia pada kesempitan cara berpikir dan sikap individualis, bahkan cenderung
anti sosial.
Sebagai pelaku
zaman, tentunya siapapun akan tergerus arus tersebut, di mana kekosongan demi
kekosongan manusia terus muncul. Manusia mengalami kehampaan. Manusia kehilangan
kata syukur.
Ah kemanakah
kata syukur di zaman metaverse ini
sembunyi? Banyak insan mendadak amnesia,
pada jati dirinya yang sejati. Maka betapa kita sering dikejutkan dengan
fenomena naiknya angka stress, bunuh diri, hingga banyak menjadi pinter ngerundhel seolah ketidakpuasan
hidup saja yang mengemuka. Sementara kepengecutan terjadi di mana-mana. Orang
bisa seenaknya melempar sesuatu lalu bersembunyi dibalik akun palsu.
Sedari kecil,
sebagai seorang anak yang terus diajarkan untuk srawung dengan orang lain,
membuka komunikasi, bertatap muka, membuka hati. Hal-hal yang demikian
sepertinya sekarang hilang. Kita bertemu dengan orang lain, namun hanya untuk
melihat mereka bermain gadget, bertemu dengan manusia yang bertatapan dengan
manusia lain dilayar maya media sosial. Sialnya pertemuan-pertemuan yang maya
ini akhirnya kehilangan esensi. Tak nyata, kosong dan hampa.
Sebagai ASN
tentu laku hijrah ber-SK itu wajib hukumnya, menjalani mutasi dalam mengemban
tugas Negara, sudah harus terbiasa. Disituasi ini pula berjumpa beberapa kawan
yang mungkin baru satu-dua kali ketemu, namun dengan ketulusan, tak lama sudah saling
percaya satu sama lain, cair akrab dan nyaman. Disituasi ini pula terbuka untuk
mengemukakan pendapat, ngobrol, sharing
atau sekadar mendengar dan berbicara. Sedikit banyak sambil mencerna dan
berbagi gagasan dan pemikiran. Menurut saya inilah sistem sosial (bebrayan) yang sesungguhnya. Di mana
nilai-nilai kejujuran, kenyamanan, keamanan, kerukunan saling dijaga satu sama
lain.
Setiap mahluk
sebagai hamba, serta penempuh laku hidup tentu, tidak hanya memfokuskan
pandangan dan gerakannya pada perjalanan dirinya sendiri, melainkan pada Tuhan
dan penugasanNya. Sebagaimana bahwa semua mahkluk yang diciptakanNya melesat
bagai anak panah, terserah ke mana Sang Maha Pemanah ini berkehendak. Makhluk
adalah anak-anak panah yang diluncurkan. Makhluk tidak berkuasa dan tidak
pernah mengerti titik di mana ujung panahnya akan menancap. Di sini saya tidak
berusaha mengingkari bahwa kita melesat menurut kehendakNya. Tapi tak lebih
mencoba menarik ke sudut yang lain, bahwa melesatnya anak panah ke masa depan
juga adalah akibat tarikan busur yang mundur beberapa langkah ke belakang.
Artinya jangan melupakan sejarah. Jasmerah penting untuk memantapkan titik
presisi kita, dengan tak lupa berkaca pada masa silam, entah sejarah budaya,
bermasyarakat bahkan berbangsa. Memaknai masa lalu berarti memantapkan norma
dan nilai luhur, untuk menapaki hari ini dan mantap untuk melangkah ke masa
depan.
Masa depan ada
dipundak yang rela. Relawan adalah sesiapa yang mau ngayahi dan mau menjalani laku ketulusan manusia akar, ialah yang
rela merendah, membumikan diri, menghamba tapi ia tetap memangku siapa saja.
Tak peduli cadas atau batu, dipikirannya hanya ingin menembus apapun untuk
mencari tetes Ruh Cinta. Itulah air kehidupan yang akan dibagikan jejaring akar
melalui sunyi kerja dan dedoa. Berbagi pada semua yang dipermukaan.
Menjaga-alirkan air hidup Cinta Kasih. Tanpa pilih kasih! Sehingga dengan
begitu; Mungkinkah Tuhan enggan Tersenyum..?
Hanyalah Sang
Maha Cinta yang akan mencipta semua indah. Berbagi teduhlah atas nama CintaNya
seperti mentari kepada senja. Sesiapa
yang mengkhidmati kerendahan hati itu, justru ialah yang bisa memakfriati Yang
Maha Tinggi. Tatkala makin luas ikhlas meliputi kerendahan dengan “melepas”
berbagi dan niscaya ketinggian akan mengikuti. Nyuwun Pangapunten Gusti !
…………… Seri Ketiga (Tamat): Catatan perjalanan tiga gunung, kopi hangat dan filsafat.
Lihat Seri sebelumnya Seri #1 dan Seri #2!
(*)Disarikan bersama secangkir kopi dan jamaah ahlul gayeng. Sambil ngobrol ngalor-ngidul pada sebuah angkringan Sorjem.
Di Ngayojokarto Hadiningrat. Mohon maaf atas segala kesalahan. Nyuwun duko! (Wijdsoen)