Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Yogyakarta > Artikel
Catatan perjalanan tiga gunung, kopi hangat dan filsafat. Seri Ketiga *)
Taufik Iqbal Pratama
Kamis, 31 Agustus 2023   |   231 kali

Bagiku gunung dan perjalanan adalah buku. Ketika pengalaman dapat disesap menjadi ilmu. Tanpa perlu aksara dan tanda baca, namun hinggap begitu saja menjadi mahfum, lalu mengilhami menjadi laku. Mungkin begitulah Tuhan menginginkan kita faham dari maklumat yang bukan hanya ayat, yang bukan hanya wahyu, yaitu lembaran-lembaran kisah hidup yang terserak pada seluruh langkah mengarah menujuNya. Sehingga pada saatnya kita akan memahami bahwa mutiara berbinarnya agama, iman, ilmu, ibadah adalah akhlaq mulia.

“Dipusat lupa, pusaran manusia, puncak ribut kota, hanya ku temu riuh! Hanya keluh saja dimana-mana! Kemana rumput dan dedaun yang basah embun? Kesadaran akan indahnya hening seperti ini telah pergi dan tak datang lagi. Apa saja genangan materi ditampung disini, tapi kemana daun talas yang menampung tetes hujan? Bisakah jadi cermin bagi sekulum anak senyum  manusia? Dimana hati manusia yang telah basah oleh ramah? Terjemah buah sujud Cinta hamba pada TuhanNya. Dimana Hati-Rumah Kesadaran? Dimanakah Kamboja? yang jatuh dan tak pernah menyalahkan angin. Andai saja bisa ku pungut. Sebagaimana bunga yang sengaja dijatuhkan Tuhan. Agar semerbak aroma menyebarkan Hakikat Kesadaran bagi kaliyan para pecinta!

Mulai berjalan sekarang menuju Tuhan, atau berhenti adalah kehendakmu sendiri. Kembali atau tidak kembali adalah pilihanmu sendiri. Hanya untuk engkau ketahui, bahwa Allah Sang Maha Cinta dan Rasulullah KinasihNya, sesungguh rindu telah menunggu di lingkar danau Swargaloka !”

(Catatan perjalanan tiga. Gunung Merbabu-Bukit Gancik)

Menghindar dari riuh obrolan gelap, negatif dan pesimis tentang banyak hal, ternyata masih banyak bahasan, tawaran pemikiran untuk menghadapi tantangan masa ke depan. Dimana proses telaahnya tentu tak bisa habis, hanya dengan sekali menyeduh secangkir hangat kopi.

Demikian hal ini hendaknya berproses alami terus-menerus dalam alam pemikiran. Juga kesabaran berfikir dengan segala kerendahan hati diperlukan. Semua hanya untuk mengabdi padaNya. Serta membuka celah-celah kemungkinan tentang apa yang sebenarnya secara sembunyi Tuhan titipkan untuk kita, hidup untuk diperjalanankan tanpa henti hingga pada setiap uji terpetik buah berupa hikmah kehidupan. Pada masa sekarang, kelompok masyarakat menjadi semakin berbakat menjadi individu daripada menjadi sebuah koloni suatu organisme yang saling mendukung dengan fungsinya masing-masing. Seperti halnya komunitas lebah, mereka menjadi ayat pengingat yang indah bagi manusia untuk menilik ulang terus menerus sistem kehidupan yang saling membaur dalam gerak dan fungsi yang konstruktif.

Gotong-royong, hingga Gugur-gunung adalah rekaman peristiwa yang mencatat kepiawaian para leluhur dalam membaca dan kemudian menjadikan laku kehidupan yang menyatu, menggumpal dan kontributif. Pada saat manusia belum banyak difasilitasi kemudahan, kesulitan demi kesulitan justru membuat kehidupan berjalan mudah dan penuh harmoni. Dahulu ketika untuk menempuh sebuah perjalanan lebih banyak menggunakan kaki, orang yang tinggal berjauhan bisa saling mengenal, bisa saling menyapa lalu mempersilakan singgah (ngampirke) meskipun tidak mengenal sebelumnya. Sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi sekarang dimana melalukan perjalanan menjadi lebih cepat, membuat kebergantungan pada sistem sosial semakin memudar. Keindah-mewahan kebersamaan itu digantikan sedikit demi sedikit dengan kemewahan lain bernama “egoisme” berkendaraan pribadi yang membuahkan kesusahan bersama (kemacetan).

Generasi silih berganti, dari boomer, gen x sampai dengan milenial, sesuai zaman tentunya akan melewati banyak pergeseran. Juga melesatnya perkembangan teknologi, dari jaman pra-Internet sampai sekarang artificial intelegence (AI) bisa dengan mudah digenggam oleh semua tangan manusia. Zaman yang semakin berkembang ke arah sebagaimana orang menyebut Transformasi Era Global. Dengan berbagai gegap gempitanya, ternyata tidak hanya mampu mengkoneksikan manusia antar benua, namun juga membawa manusia pada kesempitan cara berpikir dan sikap individualis, bahkan cenderung anti sosial.

Sebagai pelaku zaman, tentunya siapapun akan tergerus arus tersebut, di mana kekosongan demi kekosongan manusia terus muncul. Manusia mengalami kehampaan. Manusia kehilangan kata syukur.

Ah kemanakah kata syukur di zaman metaverse ini sembunyi? Banyak insan mendadak amnesia, pada jati dirinya yang sejati. Maka betapa kita sering dikejutkan dengan fenomena naiknya angka stress, bunuh diri, hingga banyak menjadi pinter ngerundhel seolah ketidakpuasan hidup saja yang mengemuka. Sementara kepengecutan terjadi di mana-mana. Orang bisa seenaknya melempar sesuatu lalu bersembunyi dibalik akun palsu.

Sedari kecil, sebagai seorang anak yang terus diajarkan untuk srawung dengan orang lain, membuka komunikasi, bertatap muka, membuka hati. Hal-hal yang demikian sepertinya sekarang hilang. Kita bertemu dengan orang lain, namun hanya untuk melihat mereka bermain gadget, bertemu dengan manusia yang bertatapan dengan manusia lain dilayar maya media sosial. Sialnya pertemuan-pertemuan yang maya ini akhirnya kehilangan esensi. Tak nyata, kosong dan hampa.

Sebagai ASN tentu laku hijrah ber-SK itu wajib hukumnya, menjalani mutasi dalam mengemban tugas Negara, sudah harus terbiasa. Disituasi ini pula berjumpa beberapa kawan yang mungkin baru satu-dua kali ketemu, namun dengan ketulusan, tak lama sudah saling percaya satu sama lain, cair akrab dan nyaman. Disituasi ini pula terbuka untuk mengemukakan pendapat, ngobrol, sharing atau sekadar mendengar dan berbicara. Sedikit banyak sambil mencerna dan berbagi gagasan dan pemikiran. Menurut saya inilah sistem sosial (bebrayan) yang sesungguhnya. Di mana nilai-nilai kejujuran, kenyamanan, keamanan, kerukunan saling dijaga satu sama lain.

Setiap mahluk sebagai hamba, serta penempuh laku hidup tentu, tidak hanya memfokuskan pandangan dan gerakannya pada perjalanan dirinya sendiri, melainkan pada Tuhan dan penugasanNya. Sebagaimana bahwa semua mahkluk yang diciptakanNya melesat bagai anak panah, terserah ke mana Sang Maha Pemanah ini berkehendak. Makhluk adalah anak-anak panah yang diluncurkan. Makhluk tidak berkuasa dan tidak pernah mengerti titik di mana ujung panahnya akan menancap. Di sini saya tidak berusaha mengingkari bahwa kita melesat menurut kehendakNya. Tapi tak lebih mencoba menarik ke sudut yang lain, bahwa melesatnya anak panah ke masa depan juga adalah akibat tarikan busur yang mundur beberapa langkah ke belakang. Artinya jangan melupakan sejarah. Jasmerah penting untuk memantapkan titik presisi kita, dengan tak lupa berkaca pada masa silam, entah sejarah budaya, bermasyarakat bahkan berbangsa. Memaknai masa lalu berarti memantapkan norma dan nilai luhur, untuk menapaki hari ini dan mantap untuk melangkah ke masa depan.

Masa depan ada dipundak yang rela. Relawan adalah sesiapa yang mau ngayahi dan mau menjalani laku ketulusan manusia akar, ialah yang rela merendah, membumikan diri, menghamba tapi ia tetap memangku siapa saja. Tak peduli cadas atau batu, dipikirannya hanya ingin menembus apapun untuk mencari tetes Ruh Cinta. Itulah air kehidupan yang akan dibagikan jejaring akar melalui sunyi kerja dan dedoa. Berbagi pada semua yang dipermukaan. Menjaga-alirkan air hidup Cinta Kasih. Tanpa pilih kasih! Sehingga dengan begitu; Mungkinkah Tuhan enggan Tersenyum..?

Hanyalah Sang Maha Cinta yang akan mencipta semua indah. Berbagi teduhlah atas nama CintaNya seperti mentari kepada senja.  Sesiapa yang mengkhidmati kerendahan hati itu, justru ialah yang bisa memakfriati Yang Maha Tinggi. Tatkala makin luas ikhlas meliputi kerendahan dengan “melepas” berbagi dan niscaya ketinggian akan mengikuti. Nyuwun Pangapunten Gusti !

…………… Seri Ketiga (Tamat): Catatan perjalanan tiga gunung, kopi hangat dan filsafat. Lihat Seri sebelumnya Seri #1 dan Seri #2!

(*)Disarikan bersama secangkir kopi dan jamaah ahlul gayeng. Sambil ngobrol ngalor-ngidul pada sebuah angkringan Sorjem. Di Ngayojokarto Hadiningrat. Mohon maaf atas segala kesalahan. Nyuwun duko! (Wijdsoen)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini