Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Yogyakarta > Artikel
Catatan Perjalanan Tiga Gunung, Kopi Hangat Dan Filsafat Seri Pertama *)
Yusuf Eko Susilo
Rabu, 31 Mei 2023   |   271 kali

 

Bagiku gunung dan perjalanan adalah buku. Ketika pengalaman dapat disesap menjadi ilmu. Tanpa perlu aksara dan tanda baca, namun hinggap begitu saja menjadi mahfum, lalu mengilhami menjadi laku. Mungkin begitulah Tuhan menginginkan kita faham dari maklumat yang bukan hanya ayat, bukan hanya wahyu, tapi berupa lembaran-lembaran kisah hidup yang terserak pada seluruh langkah mengarah menuju-Nya. Sehingga pada saatnya kita akan memahami bahwa mutiara berbinarnya agama, iman, ilmu, ibadah adalah akhlaq mulia.

“Kepada gunung ku ucap salam pagi. Mari nyalakan hari, ajakku! Hangat cangkir dan hitam kopi. Ingat, fikir, dalam  sejati. Aku merenung ke atas Kuasa Pengenggam Gunung, sadari aku sekecil dan selemah itu, yang bahkan tak pernah tahu mana cangkir terakhirku! Wahai pecinta. Mendakilah ke puncak menara di ibukota ruhanimu.  Sendirian. Salaam. Dan malam sendiri adalah ruang gelap studio cuci foto perjalanan diri. Sendiri tenggelam malam. Berlarilah walau sengal nafasmu. Hembus terus Allohu Huwa Hu. Hingga hutan kelam menerima dedosa dunia rendahan, luruh dalam sesalan. Tinggalkan. Dan malam sendiri. Lari larilah ke puncak gunung penyesalanmu. Tatkala engkau baru sadari. Mengapa tak sedari dulu mendaki?“

 (Catatan perjalanan satu. Gunung Lawu-Cemorosewu)

 

Entah mengapa tetiba judul di atas terpilih untuk ditulis? Mungkin terasa ada sebuah resah, teraba ada sebuah gundah yang buncah memuncak jadi gelisah. Mengapa gunung?

Manusia dalam filsafat Jawa dimetaforkan sebagai calon Gunung. Gunung akronim dari gugon dumunung. Gugon berarti diikuti/didengarkan/diteladani. Dumunung bermakna terletak pada tempat/posisi/porsi/koordinat yang semestinya. Diyakini manusia yang belum menjadi gunung, bijaknya sedia memproses diri dengan meningkatkan budi utama, bagai gunung yang menjulang dan banyak memberikan manfaat. Oleh sebab itu, dalam setiap pembukaan pagelaran wayang dimulai dengan munculnya Gunungan. Gunungan adalah sebagai gambaran untuk mengingatkan bahwa dalam alur berlangsungnya kisah ini diharapkan kembali menjadi peningkat mutu kemanusiaan. Perjalanan hidup manusia sangat menyatu dengan waktu, umur dan perbuatan berada dalam guliran waktu. Perjalanan laku membangun diri menjadi Gunung pun memerlukan waktu, tidak serta merta. Tidak bisa dipaksakan dan disama-ratakan. Semua memiliki waktunya sendiri-sendiri dan memiliki cara berprosesnya sendiri-sendiri.

Seperti lazimnya orang Jawa yang pulang dari sebuah perjalanan, selalu berusaha membawa oleh-oleh sebagai buah tangan ala kadarnya demi menyenangkan orang-orang tercinta. Teringat pada saudara-saudara tercinta di rumah besar, KPKNL Yogyakarta, bolehlah sebuah tulisan bersahaja (yang mungkin saja nirfaedah) ini, dianggap sebagai oleh-oleh buah tangan ala kadarnya. Dari sebuah perjalanan kontemplatif sebut saja, Tour 3 Meru, Lawu-Merapi-Merbabu.

Pada sebuah kedai kopi sederhana, pena ini mulai digoreskan. Ditemani kopi tubruk hitam khas angkringan tak lupa ketan bubuk kedelai dan parutan kelapa tua. Mari belajar, sinau "usil" sambil ngulik, iseng-iseng memaknai ketan yang terhidang dihadapan. Ketan memang perlu dimasak sebelum dihidangkan agar matang sehingga menjadi punel hingga siap disajikan. Begitu pulalah proses atau laku yang sama bisa diterapkan dalam perjalanan bermasyarakat, srawung- bebrayan dimanapun. Masing-masing biji beras ketan selayaknya melalui proses mematangkan diri, menuju pendewasaan pribadi, agar selanjutnya bebiji beras ketan yang semula keras itu, menjadi punel nan lembut. Melembutkan perilaku dan budi pekerti setiap individu, kemudian raket atau lengket satu sama lainnya, terjadi intimasi kedekatan yang tulus; reraketan cinindro ketan!

Melompat jauh kembali kepada warisan filosofi para Wali. Banyak sekali simbolisme berisi ajaran. Ambil saja contoh dengan menu tradisional pada acara syukuran/slametan seperti ketan, kolak gedhang dan apem. Ketika sebuah simbolisme selalu disisipkan dengan halus, hingga tak lekang diajarkan sejak Walisongo, guna memperadabkan masyarakat nusantara dengan Islam akhlaknya. Sebuah racikan kelembutan Islam yang diajarkan Kanjeng Nabi, diaplikasikan secara halus dan berjalan mulus tanpa sedikitpun pertentangan. Ajaran filsafat hidup disampaikan dengan aktivitas budaya simbolisme dalam keseharian masyarakat. Salah satunya budaya untuk selalu menampakkan kesyukuran atas limpahan anugerah Tuhan. Ketan berasal dari kata khotan dari bahasa Arab yang memiliki arti kesalahan. Khotan bisa dieja menjadi ketan, karena orang-orang Jawa yang sering kali merubah sebutan nama suatu hal, agar mudah dalam pengucapan maupun dalam mengingatnya. Khotan yang memiliki arti kesalahan tadi, memiliki makna filosofi bahwa dari kesalahan inilah kita sebagai manusia dituntut supaya selalu mengingat akan perbuatan salah itu, yang berawal dari khilaf diri sendiri, kemudian diharapkan kita bisa selalu mampu mengoreksinya sendiri. Selanjutnya apem berasal dari kata afuwwun yang berarti memohon ampun. Sedangkan kolak gedhang, gedhang berasal dari kata ghodan artinya bersegeralah, dan kolak dari kata kholaqo yaitu Sang Pencipta. Pesan singkatnya, jika melakukan kesalahan bersegeralah kembali kepada Pencipta untuk memohon ampunan.

Diantara hiruk pikuk pengejaran manusia akan dunia. Masih banyak yang menepi ke jalan sunyi untuk memegang teguh suatu prinsip srawung-bebrayan, paseduluran diantara sesama, bersaudara yang horisontal, setelah ibadah vertikal kepada Tuhan telah tertunaikan. Persaudaraan adalah nilai, juga capaian dalam srawung-bebrayan dengan memilih suatu pilihan watak untuk tidak usil kepada siapapun saja, sebaliknya asih-asah-asuh adalah pilihan sesuai empan papan pada posisi masing-masing untuk ngajangi katresnan, hidup bersama dalam kesungguhan komunal mengutuhkan srawung-bebrayan.(*)

……………bersambung ke: Catatan Perjalanan Tiga Gunung, Kopi Hangat Dan Filsafat. Seri Kedua!

(*)Disarikan bersama secangkir kopi dan jamaah ahlul gayeng. Sambil ngobrol ngalor-ngidul pada sebuah angkringan Sorjem. Di Ngayojokarto Hadiningrat. Mohon maaf atas segala kesalahan. Nyuwun duko! (Wijdsoen)

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini