Bagiku gunung dan perjalanan adalah
buku. Ketika pengalaman dapat disesap menjadi ilmu. Tanpa perlu aksara dan
tanda baca, namun hinggap begitu saja menjadi mahfum, lalu mengilhami menjadi
laku. Mungkin begitulah Tuhan menginginkan kita faham dari maklumat yang bukan
hanya ayat, bukan hanya wahyu, tapi berupa lembaran-lembaran kisah hidup yang
terserak pada seluruh langkah mengarah menuju-Nya. Sehingga pada saatnya kita
akan memahami bahwa mutiara berbinarnya agama, iman, ilmu, ibadah adalah akhlaq
mulia.
…
“Kepada gunung ku ucap salam pagi. Mari
nyalakan hari, ajakku! Hangat cangkir dan hitam kopi. Ingat, fikir, dalam sejati. Aku merenung ke atas Kuasa Pengenggam
Gunung, sadari aku sekecil dan selemah itu, yang bahkan tak pernah tahu mana
cangkir terakhirku! Wahai pecinta. Mendakilah ke puncak menara di ibukota
ruhanimu. Sendirian. Salaam. Dan malam
sendiri adalah ruang gelap studio cuci foto perjalanan diri. Sendiri tenggelam
malam. Berlarilah walau sengal nafasmu. Hembus terus Allohu Huwa Hu. Hingga
hutan kelam menerima dedosa dunia rendahan, luruh dalam sesalan. Tinggalkan.
Dan malam sendiri. Lari larilah ke puncak gunung penyesalanmu. Tatkala engkau
baru sadari. Mengapa tak sedari dulu mendaki?“
(Catatan
perjalanan satu. Gunung Lawu-Cemorosewu)
…
Entah mengapa tetiba judul di atas
terpilih untuk ditulis? Mungkin terasa ada sebuah resah, teraba ada sebuah
gundah yang buncah memuncak jadi gelisah. Mengapa gunung?
Manusia dalam filsafat Jawa dimetaforkan
sebagai calon Gunung. Gunung akronim dari gugon
dumunung. Gugon berarti
diikuti/didengarkan/diteladani. Dumunung
bermakna terletak pada tempat/posisi/porsi/koordinat yang semestinya. Diyakini
manusia yang belum menjadi gunung, bijaknya sedia memproses diri dengan
meningkatkan budi utama, bagai gunung yang menjulang dan banyak memberikan
manfaat. Oleh sebab itu, dalam setiap pembukaan pagelaran wayang dimulai dengan
munculnya Gunungan. Gunungan adalah sebagai gambaran untuk mengingatkan bahwa
dalam alur berlangsungnya kisah ini diharapkan kembali menjadi peningkat mutu
kemanusiaan. Perjalanan hidup manusia sangat menyatu dengan waktu, umur dan
perbuatan berada dalam guliran waktu. Perjalanan laku membangun diri menjadi
Gunung pun memerlukan waktu, tidak serta merta. Tidak bisa dipaksakan dan
disama-ratakan. Semua memiliki waktunya sendiri-sendiri dan memiliki cara
berprosesnya sendiri-sendiri.
Seperti lazimnya orang Jawa yang pulang
dari sebuah perjalanan, selalu berusaha membawa oleh-oleh sebagai buah tangan
ala kadarnya demi menyenangkan orang-orang tercinta. Teringat pada
saudara-saudara tercinta di rumah besar, KPKNL Yogyakarta, bolehlah sebuah
tulisan bersahaja (yang mungkin saja nirfaedah) ini, dianggap sebagai oleh-oleh
buah tangan ala kadarnya. Dari sebuah perjalanan kontemplatif sebut saja, Tour 3 Meru, Lawu-Merapi-Merbabu.
Pada sebuah kedai kopi sederhana, pena
ini mulai digoreskan. Ditemani kopi tubruk hitam khas angkringan tak lupa ketan
bubuk kedelai dan parutan kelapa tua. Mari belajar, sinau "usil" sambil ngulik, iseng-iseng memaknai ketan
yang terhidang dihadapan. Ketan memang perlu dimasak sebelum dihidangkan agar
matang sehingga menjadi punel hingga siap disajikan. Begitu pulalah
proses atau laku yang sama bisa diterapkan dalam perjalanan bermasyarakat, srawung- bebrayan dimanapun.
Masing-masing biji beras ketan selayaknya melalui proses mematangkan diri,
menuju pendewasaan pribadi, agar selanjutnya bebiji beras ketan yang semula
keras itu, menjadi punel nan lembut.
Melembutkan perilaku dan budi pekerti setiap individu, kemudian raket atau lengket satu sama lainnya,
terjadi intimasi kedekatan yang tulus; reraketan
cinindro ketan!
Melompat jauh kembali kepada warisan
filosofi para Wali. Banyak sekali simbolisme berisi ajaran. Ambil saja contoh
dengan menu tradisional pada acara syukuran/slametan
seperti ketan, kolak gedhang dan apem. Ketika sebuah simbolisme selalu
disisipkan dengan halus, hingga tak lekang diajarkan sejak Walisongo, guna
memperadabkan masyarakat nusantara dengan Islam akhlaknya. Sebuah racikan
kelembutan Islam yang diajarkan Kanjeng Nabi, diaplikasikan secara halus dan
berjalan mulus tanpa sedikitpun pertentangan. Ajaran filsafat hidup disampaikan
dengan aktivitas budaya simbolisme dalam keseharian masyarakat. Salah satunya
budaya untuk selalu menampakkan kesyukuran atas limpahan anugerah Tuhan. Ketan
berasal dari kata khotan dari bahasa
Arab yang memiliki arti kesalahan. Khotan
bisa dieja menjadi ketan, karena orang-orang Jawa yang sering kali merubah
sebutan nama suatu hal, agar mudah dalam pengucapan maupun dalam mengingatnya.
Khotan yang memiliki arti kesalahan tadi, memiliki makna filosofi bahwa dari
kesalahan inilah kita sebagai manusia dituntut supaya selalu mengingat akan
perbuatan salah itu, yang berawal dari khilaf diri sendiri, kemudian diharapkan
kita bisa selalu mampu mengoreksinya sendiri. Selanjutnya apem berasal dari kata afuwwun
yang berarti memohon ampun. Sedangkan kolak
gedhang, gedhang berasal dari
kata ghodan artinya bersegeralah, dan
kolak dari kata kholaqo yaitu Sang Pencipta. Pesan singkatnya, jika melakukan
kesalahan bersegeralah kembali kepada Pencipta untuk memohon ampunan.
Diantara hiruk pikuk pengejaran manusia
akan dunia. Masih banyak yang menepi ke jalan sunyi untuk memegang teguh suatu
prinsip srawung-bebrayan, paseduluran diantara sesama, bersaudara
yang horisontal, setelah ibadah vertikal kepada Tuhan telah tertunaikan.
Persaudaraan adalah nilai, juga capaian dalam srawung-bebrayan dengan memilih suatu pilihan watak untuk tidak
usil kepada siapapun saja, sebaliknya asih-asah-asuh adalah pilihan sesuai empan papan pada posisi masing-masing
untuk ngajangi katresnan, hidup
bersama dalam kesungguhan komunal mengutuhkan srawung-bebrayan.(*)
……………bersambung ke: Catatan
Perjalanan Tiga Gunung, Kopi Hangat Dan Filsafat. Seri Kedua!
(*)Disarikan
bersama secangkir kopi dan jamaah ahlul
gayeng. Sambil ngobrol ngalor-ngidul
pada sebuah angkringan Sorjem. Di Ngayojokarto Hadiningrat. Mohon maaf atas
segala kesalahan. Nyuwun duko!
(Wijdsoen)