Masih ingatkah dengan Sang Juru Kunci
Gunung Merapi yang legendaris? Iya, Mbah Marijan yang setia. Apa hebatnya sih
peran Juru Kunci? Adakah nilai yang bisa kita contoh dari beliau? Mbah Marijan
atau dikenal dengan sebutan gelar Mas Penewu Suraksohargo lahir pada tanggal 5
Februari 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman. Mbah Marijan merupakan seorang juru kunci Gunung Merapi yang
diangkat pada tahun 1982 menggantikan sang ayah yang telah meninggal dunia. Mbah
Marijan mendapatkan gelar Mas Penewu Suraksohargo setelah diangkat menjadi abdi
dalem oleh Sultan Hamengku Buwono XI. Sebagai juru kunci Mbah Marijan melihat
fenomena alam dengan menggunakan kacamata naluriah yang merujuk pada kebiasaan
Niteni (mengamati).
Tanpa adanya Juru Kunci atau Kuncen,
tentu saja akan banyak orang yang mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan
Merapi adalah salah satu gunung yang cukup terkenal di kalangan para pendaki,
dan peran juru kunci sangat penting dalam memberikan informasi mengenai hal hal
yang diperbolehkan atau dilarang selama proses pendakian. Beberapa kalangan
masyarakat masih menganggap gunung adalah tempat yang sakral dan dipercaya
menjadi rumah bagi banyak makhluk tak kasat mata yang tentu saja apabila kita
berkunjung di tempat mereka harus menjaga perilaku dan sopan santun dengan
ketat. Selain itu, juru kunci menjadi salah satu yang berperan memberikan
informasi mengenai kondisi keamanan medan pendakian. Juru Kunci biasanya adalah orang yang berasal
atau tinggal di sekitar tempat tersebut dalam kurun waktu yang lama bahkan
sejak mereka masih anak-anak sehingga mengenal betul norma yang tertulis maupun
yang tidak tertulis di sekitar daerah tersebut. Pengetahuan ini sangat
bermanfaat bagi pendaki atau masyarakat dari luar yang berkepentingan di daerah
tersebut. Tidak jarang ketika seseorang melanggar norma tersebut bisa berakibat
buruk dan mengancam keselamatan.
Kala itu nominal gaji sebagai juru kunci
adalah sebesar Rp3.710,- per bulan, sejak pangkatnya naik menjadi penewu
nominal gaji nya meningkat sebesar Rp5.600,- per bulan. "Kalau orang hanya
melihat mereka yang berpendapatan besar pasti dia akan selalu diliputi perasaan
tidak puas. Sebaliknya kalau orang mau melihat mereka yang kecil kecil,
berapapun besaran gaji akan membuat kehidupan terasa nikmat. Saya lihat banyak
kok orang berpenghasilan kecil. Jadi jangan melihat ke atas, lihatlah ke
bawah" begitulah kata beliau.
Pada tanggal 26 Oktober 2010 sekitar pukul 6
sore, Gunung Merapi kembali meletus disertai awan panas setinggi 1.5 kilometer.
Gulungan awan tersebut meluncur turun ke bawah melewati kawasan tempat tinggal
Mbah Marijan bermukim. Setelah mendengar gemuruh panjang dari Merapi, Mbah
Marijan bergegas menuju ke Masjid di dekat rumahnya dan bahkan sempat menolak
untuk dievakuasi bersama satu anak lelakinya. Jasad Mbah Marijan ditemukan
ditemukan oleh Tim SAR bersama dengan jasad 16 orang lainnya, umumnya kondisi
korban yang ditemukan mengalami luka bakar serius. Pada tanggal 27 Oktober 2010
salah satu jenazah tersebut di konfirmasi sebagai Mbah Marijan yang meninggal
dalam kondisi bersujud dan memakai kain sarung.
Dedikasi Mbah Marijan sebagai juru kunci
dapat diteladani karenakan memuat setidaknya 2 nilai penting, yaitu Pelayanan
dan Profesionalisme. Dengan nominal pendapatan yang jauh di bawah Upah Minimum
Regional D.I Yogyakarta, Mbah Marijan mendedikasikan diri menjadi Juru Kunci sebagai
suatu bentuk pengabdian kepada Kesultanan Yogyakarta. Beliau juga membantu para
pendaki dan masyarakat yang memiliki kepentingan di Gunung Merapi serta
memberikan informasi kepada masyarakat sekitar terkait aktifitas berbahaya pada
Gunung Merapi. Dengan adanya juru kunci secara langsung membantu menyelamatkan
banyak nyawa masyarakat yang memiliki kepentingan di Gunung Merapi. Hal ini jelas
sarat akan nilai Pelayanan. Mbah Marijan sendiri menyimpulkan bahwa berapapun
besaran gaji atau pendapatan harus disyukuri maka dari itu akan membuat hidup
terasa nikmat. Hal ini dapat diambil pelajaran bahwa dalam menjalani pekerjaan
harus dilandasi dengan dedikasi untuk melayani. Tidak semata-mata berorientasi
kepada besaran gaji atau pendapatan.
Mbah Marijan yang merupakan abdi dalem
juga melaksanakan semua kewajiban yang melekat kepadanya hingga ajal menjemput.
Beliau bahkan menolak untuk dievakuasi saat terjadi letusan dan memilih
mengakhiri hidupnya dalam dekapan awan panas dari sang merapi yang selama ini
menjadi tempat bernaung untuk memberikan pelayanan kepada Keraton sebagai abdi
dalem. Keputusan Mbah Marijan untuk
tetap berada di gunung dan menolak untuk dievakuasi merupakan wujud nilai
Profesionalisme dikarenakan beliau mengemban tugas nya dengan setia hingga
akhir hayat dan hanya meninggalkan pekerjaan tersebut ketika meninggal.
Selain membantu masyarakat, menjadi kuncen juga berarti turut merawat kondisi alam gunung itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kritik beliau terhadap para penambang pasir yang menggunakan mesin, “Sing Sapa Seneng Ngerusak Ketenteramane alam lan liyan bakal dibendu deneng Pangeran lan dielehake dening tumindake dhewe”. (Barang siapa yang gemar merusak ketentraman alam dan hidup orang lain, niscaya mendapat murka Allah, dan akan digugat karena ulahnya sendiri). Ini menunjukkan totalitas dalam menjaga keseluruhan komponen dari Gunung Merapi tersebut termasuk kondisi alam. (Penulis: Taufik Iqbal Pratama - Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Yogyakarta)