Pada artikel ⁸sebelumnya (https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-yogyakarta/baca-artikel/14922/MENGENAL-LEBIH-DEKAT-BARANG-MILIK-NEGARA-BERUPA-ASET-TAK-BERWUJUD.html),
telah diulas gambaran umum Aset Tak Berwujud yang membukukan nilai sebesar Rp49,75 triliun pada tahun 2021, yang menuntut pengelolaan
secara akuntable dan optimal sebagaimana diatur dalam Standar
Akuntansi Pemerintah dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor
71 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020.
Dalam
perjalanan pengelolaan Aset Tak Berwujud ditemukan berbagai permasalahan yang
dapat berpengaruh terhadap penyajian nilai Aset
Tak Berwujud sehingga belum memadai apabila mengacu
pada standar dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas. Permasalahan tersebut
antara lain terkait dengan Pengakuan Aset Tak Berwujud.
Kerangka
Konseptual Akuntansi Pemerintah mendefinisikan aset sebagai sumber daya ekonomi
yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat peristiwa masa
lalu yang memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan.
Permasalahan timbul pada saat satuan kerja mengalami kesulitan untuk
mengidentifikasi manfaat yang dapat diperoleh dari suatu Aset Tak Berwujud,
sebagai contoh manfaat atas pengeluaran yang digunakan dalam penelitian atau
penyusunan kajian.
Kajian ataupun penelitian dapat diakui
sebagai Aset Tak Berwujud pada saat memberikan manfaat jangka panjang di masa depan.
Hal ini akan berdampak pada keakuratan penyajian nilai Aset Tak Berwujud.
Kajian ataupun penelitian dapat diakui sebagai Aset Tak Berwujud selama dapat
memberikan sumbangan baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap
kegiatan operasional pemerintah berupa aliran pendapatan atau penghematan
belanja bagi pemerintah. Sebagai contoh, hasil kajian dan/atau penelitian
tersebut dapat digunakan sendiri atau bersama dengan aset lainnya dalam
operasional pemerintah, dipertukarkan dengan aset lain, dan dapat digunakan
untuk menyelesaikan kewajiban pemerintah (Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintah paragraf 66)
Permasalahan lainnya terkait dengan
pengakuan Aset Tak Berwujud adalah kesulitan satuan kerja dalam melakukan
pengidentifikasian atas Aset Tak Berwujud. Pada prinsipnya Aset Tak Berwujud
dapat diidentifikasi apabila nilainya dapat dipisahkan dari aset lainnya, sebagai
contoh software aplikasi yang diinstall pada komputer. Pengeluaran untuk
pengadaan software tersebut akan diakui sebagai Aset Tak Berwujud pada saat
software tersebut dapat dipisahkan dari unit komputer. Sebagai contoh, terdapat
software aplikasi yang dapat diinstall pada suatu perangkat komputer dan dapat
di un-install untuk di install kembali ke perangkat komputer lainnya. Software
tersebut memenuhi kriteria dapat dipisahkan dari aset lainnya dalam hal ini unit
perangkat komputer. Sebaliknya, apabila terdapat software aplikasi yang telah
menyatu dengan perangkat komputer dan tidak dapat di un-install, maka software
tersebut bukan merupakan Aset Tak Berwujud. Kesalahan pengidentifikasian ini
akan berdampak pada keakuratan penyajian nilai Aset Tak Berwujud.
Buletin Teknis Nomer 17 tentang Aset Tak
Berwujud memberikan petunjuk bahwa Aset Tak Berwujud dapat diidentifikasi
apabila nilai aset tersebut dapat dipisahkan atau dibedakan secara jelas dari aset-aset yang lain pada
suatu entitas. Aset ini dapat dibedakan secara jelas
dengan aset yang lain, sehingga atas Aset Tak Berwujud tersebut dapat dilakukan
proses pengelolaan yang lainnya (dilakukan pemanfaatan dan pemindahtanganan).
Selain permasalahan terkait dengan
pengakuan Aset Tak Berwujud, masih terdapat permasalahan lainnya yang dapat
berdampak pada keakuratan dan keandalan penyajian nilai Aset Tak Berwujud.
Penulis akan mengulas permasalahan Aset Tak Berwujud lainnya dalam rangka
mewujudkan pengelolaan Aset Tak Berwujud yang akurat dan akuntable pada
artikel mendatang.
Penulis : Sri Purwati, Kepala Seksi Kepatuhan
Internal KPKNL Yogyakarta