Pada artikel sebelumnya, (https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-yogyakarta/baca-artikel/14292/Manajemen-Risiko-Dalam-Pengelolaan-Aset-Publik.html),
telah diulas
penggunaan asuransi sebagai bentuk post-event financing tools dalam rangka mengurangi beban
keuangan pemerintah setelah terjadi risiko atas BMN yang tidak dapat
dimitigasi. Metode ini
diharapkan dapat mengurangi pengaruh akibat bencana terhadap ketahanan fiskal
dan tepat diterapkan untuk mengelola risiko yang material, sehingga dana
penanggulangan bencana dapat diinvestasikan ke instrumen investasi yang
lainnya.
1. Pengasuransian BMN Saat Ini
Dalam rangka implementasi post
event financing melalui skema asuransi, Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Sebagai wujud pelaksanaan pasal 45 pada PP tersebut, Menteri
Keuangan selaku Pengelola Barang telah menerbitkan kebijakan asurasi atau
pertanggungan dalam rangka pengamanan BMN melalui Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara.
Asuransi BMN bertujuan untuk menjaga keberlangsungan dan
kesinambungan keberadaan BMN dalam rangka menunjang kelancaran tugas dan fungsi
pemerintah dalam penyediaan layanan umum. Adapun BMN yang dapat diasuransikan
adalah BMN yang bersifat essential
(sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan dan
berdampak signifikan terhadap kelancaran pelayanan umum apabila BMN tersebut
mengalami kerusakan/hilang), meliputi Gedung dan Bangunan. Berdasarkan data BMN
hasil rekonsiliasi posisi 20 Desember 2021, nilai BMN adalah sebesar Rp7.501 triliun,
dengan nilai Gedung dan Bangunan sebesar Rp395,49 triliun (5,27 persen dari total nilai BMN).
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Direktur BMN, Pemerintah telah
mengasuransikan BMN dengan nilai Rp32,41 triliun yang terdiri atas 4.334 Nomor Urut Pendaftaran Gedung
Bangunan pada 51 (lima puluh satu) Kementerian/Lembaga pada 31 Agustus 2021 (sumber: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/penyelenggaraan-asuransi-bmn-pasca-terbitnya-perpres-75-tahun-2021/, 31 Desember 2021). Pemilihan BMN yang dijadikan objek asuransi dilaksanakan
secara selektif dengan mempertimbangkan tingkat eksposure risiko yang
kemungkinan terjadi atas BMN tersebut sebagai dasar penentuan prioritas.
Sebagai contoh, BMN berupa gedung sekolah yang berlokasi di wilayah kategori area
fire of rings perlu diprioritaskan
sebagai objek asuransi mengingat tingkat ekposure risiko atas bencana yang
relatif tinggi, dibandingkan gedung sekolah yang berlokasi di daerah lainnya.
Sesuai dengan PMK Nomor 97/PMK.06/2019 tersebut, Pemerintah
mengambil kebijakan untuk melakukan transfer atas risiko BMN kepada Konsorsium Asuransi
BMN yang merupakan kumpulan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang terdiri dari Ketua Konsorsium dan
Anggota Konsorsium, yang tergabung bersama serta terikat dalam
kontrak konsorsium dengan Dirjen Kekayaan Negara selaku Pengelola
BMN, untuk memberikan dan menyelenggarakan pengasuransian BMN. Konsorsium
ini terdiri atas 55 (lima puluh lima) perusahaan asuransi umum dan reasuransi
yang mulai dibentuk pada tahun 2019. Adapun Ketua Konsorsium Asuransi BMN
adalah PT Asuransi Jasa Indonesia dan administratornya adalah PT Reasuransi MAIPARK
Indonesia (sumber: https://mediaasuransinews.co.id/editors-note/konsorsium-asuransi-barang-milik-negara/, 31 Desember 2021).
Pengasuransian
BMN ini dilaksanakan secara efisien dan efektif dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan negara. Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Barang akan
menganggarkan kebutuhan dana pembayaran premi asuransi kepada Konsorsium
Asuransi BMN dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Kementerian/Lembaga. Direktur
BMN menyampaikan bahwa sampai dengan 31 Agustus 2021
Pemerintah telah membayar premi asuransi BMN sebesar Rp49,13 miliar (sumber: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/penyelenggaraan-asuransi-bmn-pasca-terbitnya-perpres-75-tahun-2021/, 31 Desember 2021).
Apabila risiko atas BMN yang telah dipertanggungkan tersebut
timbul, maka Kementerian/Lembaga dapat mengajukan klaim kepada Konsorsium
Asuransi BMN dan selanjutnya pembayaran klaim dalam bentuk uang tunai tersebut
akan disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kebijakan
asuransi BMN yang diambil oleh Pemerintah saat ini sebagaimana tertuang dalam PMK
Nomor 97/PMK.06/2019 adalah mentransfer risiko BMN kepada Konsorsium Asuransi
BMN. Pengalihan risiko atas aset publik dapat pula dilakukan dengan pembentukan
lembaga tersendiri.
2.
Praktek
Pengasuransian Aset Publik Negara Lain
Dalam rangka pengalihan risiko terhadap aset publik,
beberapa negara melakukan transfer risiko atas aset publik kepada entitas
lainnya, dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas biaya yang dikeluarkan
untuk menanggulangi dampak atas risiko yang timbul. Entitas lainnya ini dapat
berupa perusahaan asuransi atau badan lainnya yang khusus ditugaskan untuk
mengelola dana untuk asuransi aset publik. Sebagai contoh, Pemerintah Australia
melakukan pengasuransian aset publik dengan membentuk Commonwealth Authority
Company (Badan Layanan Umum) bernama Commonwealth Cover (Comcover) di
bawah Department of Finance pada
tahun 1998.
Pendirian Comcover ini bertujuan untuk meningkatkan
praktek manajemen risiko aset publik pada entitas pemerintah dalam rangka
menjaga kesinambungan dan kelancaran pemberian pelayanan oleh pemerintah.
Selain itu, Comcover juga bertugas menyediakan dana asuransi untuk melindungi Lembaga
pemerintah dari berbagai risiko aset publik yang tidak dapat dimitigasi lebih
lanjut.
Selaku lembaga pengelola risiko, Comcover bertugas
mengelola dana yang disetorkan oleh departemen pemeritah lainnya selaku Fund
Members dan membantu entitas pemerintah untuk menerapkan risk management
secara menyeluruh atas aset publik, antara lain menyusun program
pengidentifikasian, pengkuantifikasian dan pengelolaan risiko, serta melakukan
monitoring atas pelaksanaan manajemen risiko pada lembaga pemerintah.
Comcover mengelola Risk Cover Fund
yang telah disetorkan guna menanggulangi risiko secara mandiri, kemudian
apabila kerugian melebihi batasan nilai untuk setiap jenis aset, baru
dilaksanakan reinsurance. Sebagai
contoh, kebijakan asuransi untuk properti di wilayah Western Australia
menyebutkan bahwa kerugian yang akan ditanggung dari dana managed fund adalah $20 juta, sehingga apabila prediksi total
kerugian akibat catastrophic adalah
sebesar $220 juta, sisanya sebesar $200 dijamin melalui mekanisme reinsurance. Apabila total kerugian
melebihi nilai asuransi yang tertanggung, Risk
Cover akan menggunakan dana reserve yang dimiliki untuk menanggung
kelebihan kerugian tersebut. Sebagai contoh, apabila realisasi kerugian pada
kasus di atas adalah $250 juta, sedangkan nilai yang diasuransikan adalah $200
juta, maka dana reserve sebesar $50
juta digunakan untuk menutupi kekurangan
dana penanggulangan dampak bencana.
Pemerintah
Australia memilih melakukan transfer risiko kepada BLU dengan mempertimbangkan
bahwa pooling fund yang akan disetorkan oleh lembaga pemerintah akan
dikelola secara terpisah, sehingga apabila suatu risiko atas aset publik
terjadi dan memerlukan dana pemulihan yang ralatif besar tidak akan membebani keuangan
negara. Pengelolaan pooling fund untuk asuransi secara terpisah ini,
juga memberikan nilai lebih kepada Pemerintah Australia mengingat economic
scale aset publik yang digunakan untuk penyediaan layanan umum akan
menyulitkan perusahaan asuransi apabila transfer risiko aset publik dialihkan
ke perusahaan asuransi. Apalagi perusahaan asuransi cenderung mengenakan biaya
premi yang terlampau besar, padahal risiko yang melekat pada aset pemerintah
relatif rendah, sehingga Pemerintah Australia mengambil kebijakan untuk
mengelola pooling fund asuransi aset publik secara mandiri. Dalam rangka
memastikan nominal premi yang stabil, Comcover menyusun framework agar lembaga pemerintah meminimalkan risiko yang dapat
timbul atas aset publik melalui suplai data yang lengkap dan mutakhir, akuntabilitas,
manajemen risiko, dan manajemen klaim yang komprehensif dan konsisten.
Kebijakan
Pemerintah Australia untuk mengelola pooling fund secara mandiri ini
bertujuan agar pembayaran premi dapat dilakukan dengan nominal stabil dalam
jangka panjang ditempuh dalam rangka mewujudkan efisiensi dalam pengelolaan
risiko atas aset publik. Pembentukan Comcover ini juga bertujuan agar lembaga
Pemerintah secara konsisten dan berkelanjutan menerapkan manajemen risiko atas
aset publik secara komprehensif, sehingga beban terhadap keuangan negara dapat
diminimalisir.
3.
Penerapan Pooling Fund Asuransi Aset Publik di Indonesia
Kebijakan
pengelolaan pooling fund untuk memitigasi risiko atas aset publik juga
telah diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Penggunaan skema pooling fund
ini didorong dengan adanya keterbatasan fiskal dalam penanggulangan dampak
bencana sebagaimana penulis telah paparkan dalam artikel sebelumnya (alokasi
dana penanggulangan dampak bencana yang tersedia dalam APBN, termasuk bencana
yang menimpa aset publik, jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya pemulihan).
Hal ini diperkuat dengan kajian yang
telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2020, yang menggambarkan
bahwa rerata kerusakan yang diakibatkan bencana alam di Indonesia dalam kurun
waktu 15 tahun terkahir telah menimbulkan kerugian sebesar Rp20
triliun per tahun. Namun demikian,
alokasi dana penanggulangan bencana yang tersedia dalam APBN dalam rangka
pendanaan tanggap darurat dan hibah rehabilitasi serta rekonstruksi kepada
Pemerintah Daerah masih jauh dibandingkan dengan kerugian akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh bencana alam, yaitu sekitar Rp5 triliun s.d. Rp10 triliun (sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/427502/pemerintah-luncurkan-pooling-fund-bencana, 31 Desember 2021).
Dalam
rangka menjaga stabilitas fiskal pasca terjadinya bencana, termasuk risiko
bencana yang akan menimpa aset publik, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana pada tanggal 13
Agustus 2021. Pooling Fund (dhi.
Dana Bersama Penanggulangan Bencana) merupakan dana yang dikumpulkan dari
berbagai sumber baik dari pemerintahan maupun masyarakat dalam rangka
penanggulangan bencana secara berkelanjutan, termasuk pemulihan atas risiko
kerusakan BMN, sehingga pelayanan umum yang berkelanjutan dan berkesinambungan
tetap dapat dilaksanakan.
Sebagaimana
best practice penggunaan lembaga pengelola pooling fund bencana
tersendiri, seperti Pemerintah Australia yang telah membentuk Comcover sebagai
lembaga pengelola pooling fund untuk penanggulangan dampak risiko atas aset
publik, maka Pemerintah Indonesia telah membentuk lembaga pengelola Pooling
Fund Bencana, yaitu: Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Lembaga
ini akan mengelola Pooling Fund Bencana dengan melakukan investasi atas
dana tersebut, baik melalui investasi jangka pendek atau investasi jangka panjang,
serta melakukan transfer risiko melalui asuransi. Selanjutnya, hasil investasi
atas Pooling Fund Bencana tersebut akan dipergunakan untuk meningkatkan
kapasitas fiskal dalam penanggulangan dampak bencana, termasuk
kerugian/kerusakan atas BMN yang selama ini didanai oleh APBN/APBD. Dalam
jangka pendek, hasil pengelolaan PFB ini dapat dipergunakan untuk pendanaan
premi asuransi BMN berupa gedung dan bangunan pada Pemerintah Pusat ataupun BMD
pada Pemerintah Daerah.
4.
Kesimpulan
Sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan BMN/BMD, pelaksanaan asuransi BMN harus mempertimbangkan kemampuan
keuangan negara. Berdasarkan data historis sejak tahun 2004, penanggulangan
dampak risiko, khususnya terkait dengan kerugian/kerusakan yang diakibatkan
oleh bencana, tidak dapat sepenuhnya ditanggung oleh keuangan negara. Satu
sisi, tuntutan keberlangsungan penyediaan pelayanan umum yang berkesinambungan
tidak terelakan.
Menjawab
tantangan tersebut, Pemerintah telah melakukan melakukan terobosan dengan
penggunaan skema pooling fund untuk penanggulangan dampak bencana. Penerbitan
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan
Bencana merupakan milestone baru dalam pendanaan atas kerugian/kerusakan yang
terjadi akibat bencana, termasuk kerugian/kerusakan yang menimpa aset publik.
Penggunaan Pooling Fund Bencana diharapkan dapat meningkatkan kemampuan fiskal
selanjutnya dalam menanggulangi berbagai dampak bencana.
Pembentukan
Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup sebagai lembaga tersendiri pengelola Pooling
Fund Bencana diharapkan dapat mengelola dana tersebut melalui berbagai
bentuk investasi baik jangka panjang maupun kangka panjang, sehingga hasil
pengelolaan investasi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk mendanai
kerugian atau pemulihan kerusakan yang diakibatkan oleh bencana. Lembaga ini
juga diharapkan dapat membantu seluruh penyalur dana dalam menerapkan manajemen
risiko bencana secara menyeluruh, sehingga dapat mengurangi beban fiskal,
karena risiko dapat dimitigasi lebih baik.
Menindaklanjuti
penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama
Penanggulangan Bencana, pengaturan teknis lebih lanjut atas Asuransi BMN sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 perlu
dilakukan penyesuaian lebih lanjut,
khususnya mulai dari proses perencanaan asuransi, pelaksanaan asuransi maupun
klaim pertanggungan atas asuransi BMN.
Badan
Pengelola Dana Lingkungan Hidup selaku lembaga pengelola Pooling Fund Bencana
menggunakan dana tersebut dan hasil investasi atas dana tersebut untuk
pembayaran premi asuransi BMN, sehingga apabila terdapat klaim asuransi BMN,
maka Konsorsium Asuransi BMN akan membayarkan klaim asuransi tersebut kepada Badan
Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Selanjutnya, lembaga pengelola ini yang akan
menanggung seluruh pendanaan yang timbul atas kerusakan BMN, meliputi
perbaikan, pembangunan kembali ataupun penggantian atas BMN yang
dipertanggungkan.
Dalam
rangka peningkatan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana, Badan Pengelola
Dana Lingkungan Hidup diharapkan dapat membantu Kementerian/Lembaga dalam melakukan pengidentifikasian,
pengukuran dan penanggulangan risiko serta melaksanakan pengawasan pengelolan
risiko aset pada setiap Kementerian/Lembaga.
Apabila
2 (dua) peranan penting Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dilaksanakan
dalam pengasuransian BMN, yaitu sebagai penyedia dana penanggulangan dampak
kerugian/kerusakan atas BMN yang tidak dapat dimitigasi dan peranan dalam
penguatan penerapan manajemen risiko di Kementerian/Lembaga atas BMN, maka
keterbatasan fiskal dalam menanggulangi kerugian/kerusakan BMN tersebut dapat
ditanggulangi bahkan kemampuan keuangan negara dapat ditingkatkan.