Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) Nomor 115 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan
Barang Milik Negara (BMN). PMK ini mengakomodir relaksasi pemanfaatan BMN
berupa penyederhanaan proses bisnis dan penyesuaian tarif pemanfaatan aset
negara atau BMN akibat kondisi tertentu. Kondisi tertentu di sini termasuk
bencana nonalam, seperti pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19).
Melalui peraturan ini, DJKN sebagai unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan
yang bertugas mengelola BMN, berupaya mengoptimalkan potensi BMN dalam rangka
penanggulangan Covid-19 melalui kegiatan Pemanfaatan BMN.
Pemanfaatan BMN adalah pendayagunaan BMN yang tidak
digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan/atau
optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan. Adapun bentuk
pemanfaatan BMN adalah berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP),
dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI).
Dalam rangka penanggulangan Covid-19,
Pemerintah Daerah membutuhkan dukungan Pemerintah Pusat dalam bentuk fasilitas
dan alat-alat kesehatan. Kondisi darurat seperti ini menuntut mekanisme dan
prosedur yang lebih cepat. Merespon hal tersebut, melalui PMK 115, proses
pemanfaatan BMN berupa pinjam pakai dapat disederhanakan. Dimana proses serah
terima objek yang dipinjampakaikan dapat mendahului persetujuan Pengelola
Barang. Sebagai contoh yang telah dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) Pekanbaru adalah menyetujui Pinjam Pakai BMN
berupa Real-Time Polymerase Chain Reaction (RT PCR) milik
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru kepada Pemerintah Provinsi
Riau. Alat kesehatan ini digunakan untuk mendukung Laboratorium Biomekuler
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 di
Provinsi Riau.
Sesuai PMK 115 tersebut, biaya sewa yang
dikeluarkan masyarakat atas pemanfaatan BMN akan dihitung berdasarkan kelayakan
usaha dan bentuk pemanfaatannya yakni untuk bisnis, non bisnis, serta sosial.
Sewa BMN untuk kegiatan usaha berorientasi bisnis akan dikenakan tarif sebesar
100%, non bisnis adalah antara 20% hingga 50%, dan sosial sebesar 2,5%.
Persentase dari nilai sewa wajar inilah yang menjadi jumlah besaran sewa (biaya
sewa) yang harus dibayarkan oleh penyewa.
Penyewa BMN terutama Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) dan Koperasi mengalami penurunan pendapatan akibat penutupan
kantor dan penerapan working from home. Pemerintah turut merespon
hal ini dalam PMK 115, di mana ada pengecualian bagi sewa BMN yang
kegiatan usahanya berorientasi bisnis. Jika kegiatan usaha merupakan koperasi
sekunder yang beranggotakan Aparatur Sipil Negara (ASN)/Tentara Nasional
Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), maka tarif yang
dikenakan sebesar 75%. Untuk BMN yang dimanfaatkan oleh kegiatan usaha koperasi primer
beranggotakan ASN/TNI/Polri dikenakan tarif sebesar 50%. Sedangkan untuk
kegiatan usaha oleh perorangan, ultramikro, mikro, dan kecil dikenakan tarif
25%.
Pengecualian juga dilakukan bagi sewa BMN
berorientasi nonbisnis yang besaran tarifnya 30% sampai 50%. Jika sewa yang
diinisiasi pengguna atau pengelola untuk mendukung institusi maka dikenakan
tarif 15%. Kemudian sewa untuk sarana prasarana pendidikan, pemenuhan kebutuhan
pendidikan anak-anak ASN/ TNI/Polri maka dikenakan tarif 10%. Sedangkan sewa
BMN untuk kegiatan sosial (tidak berorientasi pada keuntungan) diberikan
faktor penyesuai sewa sebesar 2,5%, untuk siapapun subjek sewanya. Jadi jelas
bahwa PMK ini disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, dengan
tetap mengedepankan prinsip
keadilan.
Terlebih dalam kondisi tertentu seperti saat ini
(pandemi Covid-19). Pengelola Barang dapat menetapkan besaran
faktor penyesuai sewa mulai dari 1% sampai dengan 50%. Penyesuaian ini berlaku
sejak ditetapkannya status bencana oleh Pemerintah sampai dengan paling lama 2
(dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Selain itu, relaksasi
juga diberikan pada sewa berjalan yang telah lunas pembayaran uang sewanya. Besaran faktor
penyesuai dimaksud akan diterapkan pada saat penyewa mengajukan perpanjangan
sewa, atau diperhitungkan sebagai tambahan jangka waktu sewa.
Adapun salah satu contoh Pemanfaatan BMN berupa sewa yang telah berhasil dilakukan dalam kondisi tertentu berupa bencana non alam pandemi Covid-19 adalah sewa BMN dalam rangka penyediaan infrastruktur pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung II yang mempunyai potensi PNBP Rp436 Miliar dengan faktor penyesuaian tarif sewa sebesar 15%.
Sama halnya dengan sewa, pemanfaatan
BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Kerja Sama Penyediaan
Infrastruktur (KSPI) juga mendapatkan penyesuaian tarif. Dalam kondisi
tertentu, Pengelola Barang dapat menetapkan besaran faktor penyesuai
untuk kontribusi tetap mulai dari 1% sampai dengan 50%.
Selain untuk mengakselerasi program penanggulangan
dampak Covid-19, langkah dalam PMK 115 ini dinilai efektif dan
efisien untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sebab, Pemanfaatan BMN akan
mengoptimalisasi BMN yang awalnya idle atau tidak digunakan
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, untuk kembali
produktif, memiliki nilai sosial ekonomi bagi masyarakat luas, dan menghasilkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
DJKN menekankan bahwa Pemanfaatan BMN tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang asetnya dimanfaatkan. BMN akan menjadi tanggung jawab mitra pemanfaatan tanpa mengubah status kepemilikannya, baik itu pada kegiatan Pinjam Pakai yang dilangsungkan antara Kementerian/Lembaga dengan Pemerintah Daerah, atau pada kegiatan Sewa, KSP, dan KSPI dengan swasta.
Referensi : PMK Nomor 115/PMK.06/2020
tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara dan Kegiatan Media Briefing DJKN
tentang PMK 115
Penulis : Eva Resia