Malam minggu lalu, seperti
biasa kami bertiga ngobrol santai di teras rumah salah seorang dari kami.
Segelas kopi hitam suguhan Pak Mandar cukup untuk menghabiskan waktu lepas
Magrib hingga waktu Isya datang. Walaupun beda profesi, namun kami selalu asyik
dalam obrolan berbagai hal. Ngalor ngidul obrolan biasanya tidak lepas dari
pengalaman masing-masing sebagai Aparatur Sipil Negara dan sebagai anggota
warga. Seperti baru-baru ini di Palembang tersiar berita seorang ibu mantan
Kepala Sekolah Dasar didakwa melakukan penggelapan dana Bantuan Operasional
sekolah (BOS). Berita itu cukup menarik perhatian khususnya warga Palembang.
Juga berita sekitar penangkapan mantan gubernur dan bupati di salah satu
kabupaten di Sumatera Selatan.
Pengalaman tetangga yang
berprofesi sebagai pengajar, dan hiruk pikuk penyelenggaraan kedinasan di
daerahnya yang syarat dengan ka-ka-en, menurutnya tidak lepas dari pengaruh tekanan
yang muaranya ada pada pimpinan. Padahal, sebagai seorang ASN, mau tidak mau
masih terikat dengan loyalitas. Meskipun sebenarnya dalam hal loyalitas
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai ASN, tentunya dia berhak dan wajib untuk
tidak taat. Namun seberapa kuat ia bertahan bila setiap hal berhubungan dengan
kedinasan selalu dihadapankan dengan persoalan ka-ka-en. Buah simalakama,
seperti sudah klasik, maklum diakui sebagai sesama jamaah. Artinya manakala
ASN berbicara ka-ka-en, sepertinya “menepuk air
didulang, terpercik muka sendiri”.
Beruntung ketika profesi
saya sebagai ASN Pusat, pimpinan tertinggi di kementerian punya komitmen yang
tinggi dalam penegakkan disiplin anti korupsi. Sehingga ketika saya bercerita
kepada kawan ngobrol bahwa untuk naik pangkat, naik gaji, atau jabatan, bahkan
mutasi sekalipun saya tidak pernah dimintai uang untuk itu, mereka salut. Ini
tentunya berbanding terbalik dengan yang dialami kawan ngobrol malam itu.
Begitu kuatnya tekanan bahwa segala urusan selalu bermuara pada ka-ka-en,
sampai seperti putus asa, sampai kapan ya begini-begini akan selesai. Apakah
tidak ada selesainya (tekanan untuk ka-ka-en)? sehingga ASN bisa nyaman
bekerja, tidak was-was menjadi korban pengaduan LSM maupun tangkap tangan
aparat berwenang. Sepertinya sulit mendapatkan jawabannya. Bahkan KPK pun masih sangat
kewalahan dengan tugas mereka itu.
Obrolan yang cukup dalam dan kesan “idealis” itu akhirnya mengingatkan saya bahwa minggu ini ada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2021. Pesen Pak Cahyo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MEN PANRB) dalam pidatonya mengajak peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi dan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Secara tersirat memang tidak mudah memperkuat pemberantasan korupsi. Seperti lingkaran setan yang tidak berujung pangkal walaupun banyak upaya yang sudah dilakukan. Namun upaya dalam hal kebaikan tidak boleh putus asa. Putus asa tidak menyelesaikan masalah, dan yang pastinya itu dosa.
Dalam kerangka "upaya" dimaksud, teringat dengan cerita yang menurut pendapat saya filosofinya cocok dalam upaya
pemberantasan korupsi. Cerita ini banyak ditulis diberbagai media, menceritakan
pengalaman seorang ulama sekaligus pahlawan nasional bernama Abdul Malik Karim
Amrullah atau sering disebut Buya Hamka (1908-1981). Berikut kutipan ceritanya;
Suatu hari seorang lelaki menemui Buya, kepadanya ia
bercerita dengan gemas menggebu “Subhanallah Buya,” ujarnya. “Sungguh saya
tidak menyangka. Ternyata di Makkah itu ada pelacur, Buya. Kok bisa ya
Buya? Ih. Ngeri.”
“O ya?” sahut Buya Hamka. “Saya baru saja dari Los Angeles
dan New York itu. Dan masyaallah, ternyata di sana tidak ada pelacur.”
“Ah, mana mungkin Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di
Amerika jauh lebih banyak lagi!”
“Kita memang hanya akan dipertemukan,” tukas Buya dengan senyum teduhnya, “Dengan apa-apa yang kita cari.”Meski pergi ke Makkah, tapi jika yang diburu oleh hati kita memang adalah hal-hal buruk, syaithan dari golongan jin maupun manusia takkan kekurangan cara untuk membantu kita mendapatkannya. Dan meski safarnya ke Los Angeles dan New York, jika yang dicarinya adalah kebajikan, maka segala kejelekan akan enggan dan bersembunyi. (Sumber: https://www.islampos.com/kisah-buya-hamka-234367/).
Lalu apa hikmah dibalik cerita di atas
dengan upaya pemberantasan korupsi. saya mengamati dari berbagai literatur, setidaknya ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya korupsi yaitu Niat, Kesempatan, dan Tekanan. Ketika sebagai ASN
selalu berniat dan mencari kesempatan untuk melakukan korupsi atau mengharapkan
gratifikasi dari pelayanan yang diberikan (bahkan ia sudah membuka diri untuk
masuk ke dalam lingkaran tersebut), maka tidak mustahil kesempatan untuk
menerima gratifikasi dan tindak korupsi akan selalu ada bahkan datang kapan saja. Kondisi tersebut akan menjadi subur ketika faktor
lingkungan kerja (atasan, dan budaya pegawai) permisif sehingga ASN yang
tadinya tertekanpun dengan kondisi tersebut akan menjadi terbiasa.
Sebaliknya,
sikap ASN yang tidak punya niatan, dan tidak mencari-cari kesempatan untuk
melakukan gratisikasi maupun tindak korupsi, dan ia menutup diri dari hal-hal
demikian, maka yakin ia tidak akan bertemu kesempatan itu kembali. Bahkan
tekanan (dari atasan, pegawai lain) dengan sendirinya akan menjauh dan tidak
melibatkan dirinya dalam lingkaran tersebut. Itulah hikmah dari cerita Buya
Hamka. Sesuatu cenderung dekat sesuai dengan niat, kehendak, dan apa yang ada
dalam benaknya.
Jadi, menurut saya faktor internal pada diri ASN berupa niat merupakan faktor yang mempunyai nilai resiko paling berbahaya di banding kedua faktor lainnya. Karena niat bisa merubah perilaku, lalu bagaimana menghadirkan niat pada ASN dengan suasana hati yang ikhlas, gembira, dan penuh kesadaran untuk tidak melakukan fraud. Salah satunya adalah perlunya statement dari para pemimpin bisa memicu timbulnya niat untuk bersikap positif mendukung anti fraud. Contoh statement Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang bisa menjadi inspirasi menghadirkan niat positif dimaksud adalah; “Jaga integritas Anda, Jangan pernah digadaikan". (Kegiatan Kunjungan ke Perwakilan Kementerian Keuangan Palembang 28 Februari 2020). "Menjadi manusia dan profesional yang berintegritas bukan karena kita diminta oleh sistem, bukan karena kita diharapkan oleh orang lain, tapi itu adalah kebutuhan kita sendiri. Kita sendiri yang menginginkan bahwa integrity adalah identik dengan identitas kita sehingga ini akan makin memperkuat sistem di dalam Kementerian Keuangan dalam menjaga keuangan negara."(Peringatan Hakordia Kementerian Keuangan 2021, Youtube Kemenkeu RI, Rabu 8 Desember 2021).
Di akhir tulisan ini, saya hendak menyampaikan bahwa salah satu upaya pencegahan korupsi adalah banyak mengambil hikmah dari para pendahulu maupun statement pimpinan yang kompeten dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih baik tanpa korupsi. Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) adalah momen memperkuat budaya antikorupsi untuk mewujudkan Kementerian Keuangan satu yang terpercaya menuju Indonesia tangguh dan tumbuh. [gsw]
Penulis: WAHIDIN (Kasi Hukum dan Informasi KPKNL
Palembang)
Foto: Wikipedia
Referensi: