Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palembang > Artikel
Mengambil Hikmah Cerita Buya Hamka, “Di Amerika Tidak Ada Pelacur”
Wahidin
Rabu, 08 Desember 2021   |   9746 kali

Malam minggu lalu, seperti biasa kami bertiga ngobrol santai di teras rumah salah seorang dari kami. Segelas kopi hitam suguhan Pak Mandar cukup untuk menghabiskan waktu lepas Magrib hingga waktu Isya datang. Walaupun beda profesi, namun kami selalu asyik dalam obrolan berbagai hal. Ngalor ngidul obrolan biasanya tidak lepas dari pengalaman masing-masing sebagai Aparatur Sipil Negara dan sebagai anggota warga. Seperti baru-baru ini di Palembang tersiar berita seorang ibu mantan Kepala Sekolah Dasar didakwa melakukan penggelapan dana Bantuan Operasional sekolah (BOS). Berita itu cukup menarik perhatian khususnya warga Palembang. Juga berita sekitar penangkapan mantan gubernur dan bupati di salah satu kabupaten di Sumatera Selatan.

Pengalaman tetangga yang berprofesi sebagai pengajar, dan hiruk pikuk penyelenggaraan kedinasan di daerahnya yang syarat dengan ka-ka-en, menurutnya tidak lepas dari pengaruh tekanan yang muaranya ada pada pimpinan. Padahal, sebagai seorang ASN, mau tidak mau masih terikat dengan loyalitas. Meskipun sebenarnya dalam hal loyalitas tersebut bertentangan dengan nilai-nilai ASN, tentunya dia berhak dan wajib untuk tidak taat. Namun seberapa kuat ia bertahan bila setiap hal berhubungan dengan kedinasan selalu dihadapankan dengan persoalan ka-ka-en. Buah simalakama, seperti sudah klasik, maklum diakui sebagai sesama jamaah. Artinya manakala ASN berbicara ka-ka-en, sepertinya “menepuk air didulang, terpercik muka sendiri”.

Beruntung ketika profesi saya sebagai ASN Pusat, pimpinan tertinggi di kementerian punya komitmen yang tinggi dalam penegakkan disiplin anti korupsi. Sehingga ketika saya bercerita kepada kawan ngobrol bahwa untuk naik pangkat, naik gaji, atau jabatan, bahkan mutasi sekalipun saya tidak pernah dimintai uang untuk itu, mereka salut. Ini tentunya berbanding terbalik dengan yang dialami kawan ngobrol malam itu. Begitu kuatnya tekanan bahwa segala urusan selalu bermuara pada ka-ka-en, sampai seperti putus asa, sampai kapan ya begini-begini akan selesai. Apakah tidak ada selesainya (tekanan untuk ka-ka-en)? sehingga ASN bisa nyaman bekerja, tidak was-was menjadi korban pengaduan LSM maupun tangkap tangan aparat berwenang. Sepertinya sulit mendapatkan jawabannya. Bahkan KPK pun masih sangat kewalahan dengan tugas mereka itu.

    Obrolan yang cukup dalam dan kesan “idealis” itu akhirnya mengingatkan saya bahwa minggu ini ada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2021. Pesen Pak Cahyo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MEN PANRB) dalam pidatonya mengajak peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi dan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Secara tersirat memang tidak mudah memperkuat pemberantasan korupsi. Seperti lingkaran setan yang tidak berujung pangkal walaupun banyak upaya yang sudah dilakukan. Namun upaya dalam hal kebaikan tidak boleh putus asa. Putus asa tidak menyelesaikan masalah, dan yang pastinya itu dosa.

Dalam kerangka "upaya" dimaksud, teringat dengan cerita yang menurut pendapat saya filosofinya cocok dalam upaya pemberantasan korupsi. Cerita ini banyak ditulis diberbagai media, menceritakan pengalaman seorang ulama sekaligus pahlawan nasional bernama Abdul Malik Karim Amrullah atau sering disebut Buya Hamka (1908-1981). Berikut kutipan ceritanya;

Suatu hari seorang lelaki menemui Buya, kepadanya ia bercerita dengan gemas menggebu “Subhanallah Buya,” ujarnya. “Sungguh saya tidak menyangka. Ternyata di Makkah itu ada pelacur, Buya. Kok bisa ya Buya? Ih. Ngeri.”

“O ya?” sahut Buya Hamka. “Saya baru saja dari Los Angeles dan New York itu. Dan masyaallah, ternyata di sana tidak ada pelacur.”

“Ah, mana mungkin Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di Amerika jauh lebih banyak lagi!”

“Kita memang hanya akan dipertemukan,” tukas Buya dengan senyum teduhnya, “Dengan apa-apa yang kita cari.”Meski pergi ke Makkah, tapi jika yang diburu oleh hati kita memang adalah hal-hal buruk, syaithan dari golongan jin maupun manusia takkan kekurangan cara untuk membantu kita mendapatkannya. Dan meski safarnya ke Los Angeles dan New York, jika yang dicarinya adalah kebajikan, maka segala kejelekan akan enggan dan bersembunyi. (Sumber: https://www.islampos.com/kisah-buya-hamka-234367/). 

Lalu apa hikmah dibalik cerita di atas dengan upaya pemberantasan korupsi. saya mengamati dari berbagai literatur, setidaknya ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korupsi yaitu Niat, Kesempatan, dan Tekanan. Ketika sebagai ASN selalu berniat dan mencari kesempatan untuk melakukan korupsi atau mengharapkan gratifikasi dari pelayanan yang diberikan (bahkan ia sudah membuka diri untuk masuk ke dalam lingkaran tersebut), maka tidak mustahil kesempatan untuk menerima gratifikasi dan tindak korupsi akan selalu ada bahkan datang kapan saja. Kondisi tersebut akan menjadi subur ketika faktor lingkungan kerja (atasan, dan budaya pegawai) permisif sehingga ASN yang tadinya tertekanpun dengan kondisi tersebut akan menjadi terbiasa.

          Sebaliknya, sikap ASN yang tidak punya niatan, dan tidak mencari-cari kesempatan untuk melakukan gratisikasi maupun tindak korupsi, dan ia menutup diri dari hal-hal demikian, maka yakin ia tidak akan bertemu kesempatan itu kembali. Bahkan tekanan (dari atasan, pegawai lain) dengan sendirinya akan menjauh dan tidak melibatkan dirinya dalam lingkaran tersebut. Itulah hikmah dari cerita Buya Hamka. Sesuatu cenderung dekat sesuai dengan niat, kehendak, dan apa yang ada dalam benaknya.

          Jadi, menurut saya faktor internal pada diri ASN berupa niat merupakan faktor yang mempunyai nilai resiko paling berbahaya di banding kedua faktor lainnya. Karena niat bisa merubah perilaku, lalu bagaimana menghadirkan niat pada ASN dengan suasana hati yang ikhlas, gembira, dan penuh kesadaran untuk tidak melakukan fraud. Salah satunya adalah perlunya statement dari para pemimpin bisa memicu timbulnya niat untuk bersikap positif mendukung anti fraud. Contoh statement Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang bisa menjadi inspirasi menghadirkan niat positif dimaksud adalah; “Jaga integritas Anda, Jangan pernah digadaikan". (Kegiatan Kunjungan ke Perwakilan Kementerian Keuangan Palembang 28 Februari 2020). "Menjadi manusia dan profesional yang berintegritas bukan karena kita diminta oleh sistem, bukan karena kita diharapkan oleh orang lain, tapi itu adalah kebutuhan kita sendiri. Kita sendiri yang menginginkan bahwa integrity adalah identik dengan identitas kita sehingga ini akan makin memperkuat sistem di dalam Kementerian Keuangan dalam menjaga keuangan negara."(Peringatan Hakordia Kementerian Keuangan 2021, Youtube Kemenkeu RI, Rabu 8 Desember 2021).

          Di akhir tulisan ini, saya hendak menyampaikan bahwa salah satu upaya pencegahan korupsi adalah banyak mengambil hikmah dari para pendahulu maupun statement pimpinan yang kompeten dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih baik tanpa korupsi. Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) adalah momen memperkuat budaya antikorupsi untuk mewujudkan Kementerian Keuangan satu yang terpercaya menuju Indonesia tangguh dan tumbuh.   [gsw]

 

Penulis: WAHIDIN (Kasi Hukum dan Informasi KPKNL Palembang)

Foto: Wikipedia

Referensi:

  1. 1.https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/.
  2. 2.https://www.islampos.com/kisah-buya-hamka-234367/).
  3. 3.https://www.youtube.com/watch?v=FTs4QYCaK2E
  4. 4.https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/peringati-hakordia
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini