Terbentuknya Jabatan Fungsional Pelelang (JFP)
di DJKN pada akhir dekade kedua 2000an merupakan bagian dari upaya
pemerintah untuk menyederhanakan birokrasi. Pada mulanya ada sedikit keraguan
mengenai efektifitas dari kebijakan ini terutama dikaitkan dengan beban kerja
di bidang lelang yang semakin besar dan apakah
produktifitas pegawai dapat dipertahankan. Di awal implementasi para Pejabat Fungsional Pelelang (PFP) kelihatan kewalahan dengan volume kerja
yang terasa seolah begitu besar karena seorang pelelang
harus mengerjakan tahapan lelang dari awal sampai akhir. Namun demikian,
belakangan ini, isu mengenai beban kerja yang berat itu mulai kurang
relevan. Apakah yang terjadi? Dalam artikel ini penulis
berusaha untuk menyelami hal ini, termasuk mencoba mengungkap apa yang kiranya dapat
dipelajari.
Anti division of labour
Sebelumnya,
seluruh tahapan
pelaksanaan lelang dikerjakan secara terbagi-bagi, atau dengan kata lain terdapat division of
labour
dalam prosesnya. Ini terlihat dari adanya petugas-petugas yang
terpisah-pisah untuk mengerjakan subtugas-subtugas yang berbeda. Sebagai contoh, di
suatu kantor operasional, terdapat pegawai yang
hanya menerima berkas permohonan dan mencatatnya dalam buku agenda, selanjutnya
menyampaikannya ke sekretaris untuk kemudian dibaca pimpinan dan didisposisi. Selanjutnya,
setelah disposisi pimpinan, dilanjutkan oleh pegawai berbeda untuk
memverifikasi berkas dari sisi formil maupun materiil, yang dilanjutkan dengan menyiapkan
penetapan lelang. Setelah penetapan, Pejabat Lelang melaksanakan lelang dengan
didampingi asisten. Sesudahnya, asisten membantu menyelesaikan risalah lelang
berikut segala turunannya. Dalam prosesnya, terdapat pula keterlibatan Kepala
Seksi Pelayanan Lelang yang mengkoordinir dan memastikan akurasi produk
akhirnya. Dengan kegiatan yang sudah terspesialisasi tersebut, setiap orang
sudah memiliki skill dan cara kerja
yang terkonsentrasi sehingga produktifitasnya secara agregat maupun per orang relatif
tinggi. Dalam keterbatasan ingatan saya, pada saat itu jarang pekerja
mengeluhkan mengenai beban tugas yang mereka hadapi, dan jarang pegawai harus
lembur hingga harus memanfaatkan hari libur untuk menuntaskan risalah lelang
dengan segala turunannya.
Setelah proses pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional, dengan terbentuknya JFP, keseluruhan
tahapan pelaksanaan lelang tersebut dilaksanakan sendiri oleh PFP. Di awal
proses shifting tersebut, terjadi
perubahan signifikan dari cara kerja para PFP yang berdampak pada kecepatan dan
ketepatan pelaksanaan tugas. Untuk mengejar volume/frekuensi lelang yang pada
prinsipnya tetap atau dengan kenaikan yang tidak signifikan, para PFP harus
bekerja ekstra keras, meskipun dengan jumlah pekerja yang sama (jumlah PFP di
satu kantor sebenarnya tidak berbeda jauh atau bahkan sama dengan jumlah
pelaksana di Seksi Lelang dahulu). Tidak jarang kita mendapati seorang PFP
harus bekerja sampai larut malam atau kembali bekerja di kantor pada hari
libur. Belum lagi hilangnya peran Kepala Seksi Pelayanan Lelang sehingga
akurasi produk akhir harus juga dipastikan sendirian oleh PFP.
Cerita itu, dalam level tertentu,
memiliki benang merah dengan teori ekonomi klasik yang disampaikan oleh Adam Smith dalam bukunya yang sangat terkenal: An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Menurut Adam Smith division of labour merepresentasikan peningkatan yang substansial
produktifitas pekerja. Menurutnya hal ini merupakan esensi dari industrialisme.
Spesialisasi dan konsentrasi pekerja dalam subtugas tertentu sering kali
mengarah pada skill yang lebih baik
dan produktifitas yang lebih besar. Smith mencontohkan perbedaan produktifitas
antara pembuatan peniti secara individual/mandiri dengan yang dilakukan dengan
model bisnis manufaktur. Menurutnya apabila semua jenis pekerjaan dalam
pembuatan peniti
dilakukan sendiri, seseorang hanya dapat menghasilkan dua puluh peniti, atau
bahkan tidak sama sekali per hari. Sementara apabila sepuluh orang mengerjakannya dengan membagi tugas
masing-masing seperti ada yang menarik kabel, meluruskan,
memotong, menggiling, memasangkan kepala dan seterusnya,
proses semacam ini dapat menghasilkan empat puluh delapan ribu peniti sehari,
atau empat ribu delapan ratus per pekerja per hari.
Dari perspektif teori ekonomi klasik tersebut, dapat
dikatakan bahwa proses shifting dari
struktural ke fungsional dengan pembentukan JFP merupakan proses perubahan dari
division of labour ke anti division of labour. Proses dari
pembagian tugas menjadi subtugas-subtugas tertentu ditarik kembali ke dalam
satu tugas yang dilaksanakan oleh seorang pegawai/pekerja saja. Berangkat dari
sini, tidaklah mengherankan jika pada awalnya, shifting struktural ke fungsional tersebut menyebabkan para PFP
menghadapi pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya. Mereka tertatih mengelola
volume pekerjaan, yang sebelumnya manageable
dengan sistem division of labour.
Digitalisasi
sebagai penawar
Beberapa
waktu belakangan ini (setidaknya sejak akhir atau pertengahan tahun lalu),
cerita PFP yang kewalahan melaksanakan tugas mulai berkurang secara bertahap.
Seorang PFP di KPKNL Mamuju dengan volume kerja bisa mencapai seratus lima
puluh frekuensi atau bahkan lebih per tahun per PFP, sudah mulai bisa
menyelesaikan pekerjaannya pada hari dan jam kerja saja, tanpa harus lembur
berlebihan. Kendati masih termasuk padat namun sepertinya pekerjaan sudah
semakin bisa dikelola dengan baik (manageable).
Nah, apa yang terjadi?
Ternyata
digitalisasi lelang telah sampai pada tahapan dimana proses anti division of labour mungkin
dilakukan tanpa mengorbankan produktifitas, atau malah sebenarnya anti division of labour adalah pilihan
yang paling efektif dan efisien dalam menyongsong disrupsi teknologi digital (kemungkinan
ini rasanya lebih tepat dilihat dari tujuan peralihan itu sendiri, termasuk
upaya untuk beradaptasi dengan kemungkinan pekerjaan yang tergantikan perannya
oleh artificial intelligence).
Pelaksanaan pra lelang, lelang dan pasca lelang telah dilakukan secara digital.
Untuk lelang eksekusi hak tanggungan (HT), bahkan kegiatan pasca lelangnya
telah dapat dilakukan dalam aplikasi yang sama yaitu lelang.go.id. Dapat
dikatakan, melalui aplikasi lelang.go.id, yang terus disempurnakan, seorang PFP
dapat melaksanakan hampir seluruh tugasnya secara terstruktur, efektif dan efisien,
kecuali kegiatan pasca lelang non eksekusi HT yang masih menggunakan aplikasi
berbeda. Dengan proses input data di awal proses oleh pemohon lelang dan
dilakukan verifikasi berulang dalam setiap tahapan pra lelang, lelang, dan
pasca lelang semua tahapan itu (pra hingga pasca lelang) semakin mendekati
proses yang hanya in a matter of clicks
(literally). Di masa depan bahkan penulis berani memprediksi, dengan sistem
yang semakin advance, semua tahapan
pelaksanaan lelang bukan lagi pekerjaan yang menyita banyak waktu. Fokus PFP
dapat beralih dari usaha memenuhi kuantitas ke usaha untuk meningkatkan kualitas
proses dan hasil.
Disamping
menjadi alat bantu yang revolusioner dalam pelaksanaan tugas, lelang.go.id juga mendapatkan first mover advantage. Salah
satunya adalah memiliki brand recognition
yang sangat kuat. Menjadi platform
pertama di bidang lelang, lelang.go.id memiliki popularitas yang cukup baik di
masyarakat bahkan berpotensi untuk semakin besar (terkait hal ini perlu
dilakukan pendalaman lebih lanjut).
Apa
yang bisa dipelajari?
Berangkat
dari kemungkinan semakin efektif dan efisiennya lelang.go.id dengan peningkatan
kemampuan yang mengagumkan, di masa depan sepertinya jumlah akan PFP yang
dibutuhkan pun tampaknya akan terkoreksi. Ditambah lagi dengan beberapa faktor
penting lain yang layak dipertimbangkan seperti: pertama kinerja aparatur sipil
negara sekarang dan di masa depan sudah dan akan semakin mendekati kesempurnaan
dari sisi pemanfaatan jam kerja; kedua, bahwa dengan kemajuan teknologi
beberapa tugas-tugas yang sifatnya repetitif dan administratif bisa tergantikan
oleh artificial intelligence.
Selanjutnya,
bagi rumpun/subrumpun jabatan fungsional lainnya, fenomena dukungan
digitalisasi dalam pelaksanaan tugas dapat menjadi pelajaran yang berharga.
Proses digitalisasi layanan pada rumpun/subrumpun lainnya yang sepertinya masih
menyisakan ruang kosong yang luas, dapat diisi dengan inovasi-inovasi digital
yang mumpuni.
Ditulis oleh Ida Kade Sukesa/Kepala Seksi Hukum
dan Informasi KPKNL Mamuju.