Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Mamuju > Artikel
Apa yang Bisa Dipelajari dari Jabatan Fungsional Pelelang?
Ida Kade Sukesa
Selasa, 29 Agustus 2023   |   183 kali

Terbentuknya Jabatan Fungsional Pelelang (JFP) di DJKN pada akhir dekade kedua 2000an merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan birokrasi. Pada mulanya ada sedikit keraguan mengenai efektifitas dari kebijakan ini terutama dikaitkan dengan beban kerja di bidang lelang yang semakin besar dan apakah produktifitas pegawai dapat dipertahankan. Di awal implementasi para Pejabat Fungsional Pelelang (PFP) kelihatan kewalahan dengan volume kerja yang terasa seolah begitu besar karena seorang pelelang harus mengerjakan tahapan lelang dari awal sampai akhir. Namun demikian, belakangan ini, isu mengenai beban kerja yang berat itu mulai kurang relevan. Apakah yang terjadi? Dalam artikel ini penulis berusaha untuk menyelami hal ini, termasuk mencoba mengungkap apa yang kiranya dapat dipelajari.

Anti division of labour

Sebelumnya, seluruh tahapan pelaksanaan lelang dikerjakan secara terbagi-bagi, atau dengan kata lain terdapat division of labour dalam prosesnya. Ini terlihat dari adanya petugas-petugas yang terpisah-pisah untuk mengerjakan subtugas-subtugas yang berbeda. Sebagai contoh, di suatu kantor operasional, terdapat pegawai yang hanya menerima berkas permohonan dan mencatatnya dalam buku agenda, selanjutnya menyampaikannya ke sekretaris untuk kemudian dibaca pimpinan dan didisposisi. Selanjutnya, setelah disposisi pimpinan, dilanjutkan oleh pegawai berbeda untuk memverifikasi berkas dari sisi formil maupun materiil, yang dilanjutkan dengan menyiapkan penetapan lelang. Setelah penetapan, Pejabat Lelang melaksanakan lelang dengan didampingi asisten. Sesudahnya, asisten membantu menyelesaikan risalah lelang berikut segala turunannya. Dalam prosesnya, terdapat pula keterlibatan Kepala Seksi Pelayanan Lelang yang mengkoordinir dan memastikan akurasi produk akhirnya. Dengan kegiatan yang sudah terspesialisasi tersebut, setiap orang sudah memiliki skill dan cara kerja yang terkonsentrasi sehingga produktifitasnya secara agregat maupun per orang relatif tinggi. Dalam keterbatasan ingatan saya, pada saat itu jarang pekerja mengeluhkan mengenai beban tugas yang mereka hadapi, dan jarang pegawai harus lembur hingga harus memanfaatkan hari libur untuk menuntaskan risalah lelang dengan segala turunannya.

Setelah proses pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional, dengan terbentuknya JFP, keseluruhan tahapan pelaksanaan lelang tersebut dilaksanakan sendiri oleh PFP. Di awal proses shifting tersebut, terjadi perubahan signifikan dari cara kerja para PFP yang berdampak pada kecepatan dan ketepatan pelaksanaan tugas. Untuk mengejar volume/frekuensi lelang yang pada prinsipnya tetap atau dengan kenaikan yang tidak signifikan, para PFP harus bekerja ekstra keras, meskipun dengan jumlah pekerja yang sama (jumlah PFP di satu kantor sebenarnya tidak berbeda jauh atau bahkan sama dengan jumlah pelaksana di Seksi Lelang dahulu). Tidak jarang kita mendapati seorang PFP harus bekerja sampai larut malam atau kembali bekerja di kantor pada hari libur. Belum lagi hilangnya peran Kepala Seksi Pelayanan Lelang sehingga akurasi produk akhir harus juga dipastikan sendirian oleh PFP.

Cerita itu, dalam level tertentu, memiliki benang merah dengan teori ekonomi klasik yang disampaikan oleh Adam Smith dalam bukunya yang sangat terkenal: An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Menurut Adam Smith division of labour merepresentasikan peningkatan yang substansial produktifitas pekerja. Menurutnya hal ini merupakan esensi dari industrialisme. Spesialisasi dan konsentrasi pekerja dalam subtugas tertentu sering kali mengarah pada skill yang lebih baik dan produktifitas yang lebih besar. Smith mencontohkan perbedaan produktifitas antara pembuatan peniti secara individual/mandiri dengan yang dilakukan dengan model bisnis manufaktur. Menurutnya apabila semua jenis pekerjaan dalam pembuatan peniti dilakukan sendiri, seseorang hanya dapat menghasilkan dua puluh peniti, atau bahkan tidak sama sekali per hari. Sementara apabila sepuluh orang mengerjakannya dengan membagi tugas masing-masing seperti ada yang menarik kabel, meluruskan, memotong, menggiling, memasangkan kepala dan seterusnya, proses semacam ini dapat menghasilkan empat puluh delapan ribu peniti sehari, atau empat ribu delapan ratus per pekerja per hari.

Dari perspektif teori ekonomi klasik tersebut, dapat dikatakan bahwa proses shifting dari struktural ke fungsional dengan pembentukan JFP merupakan proses perubahan dari division of labour ke anti division of labour. Proses dari pembagian tugas menjadi subtugas-subtugas tertentu ditarik kembali ke dalam satu tugas yang dilaksanakan oleh seorang pegawai/pekerja saja. Berangkat dari sini, tidaklah mengherankan jika pada awalnya, shifting struktural ke fungsional tersebut menyebabkan para PFP menghadapi pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya. Mereka tertatih mengelola volume pekerjaan, yang sebelumnya manageable dengan sistem division of labour.

Digitalisasi sebagai penawar

Beberapa waktu belakangan ini (setidaknya sejak akhir atau pertengahan tahun lalu), cerita PFP yang kewalahan melaksanakan tugas mulai berkurang secara bertahap. Seorang PFP di KPKNL Mamuju dengan volume kerja bisa mencapai seratus lima puluh frekuensi atau bahkan lebih per tahun per PFP, sudah mulai bisa menyelesaikan pekerjaannya pada hari dan jam kerja saja, tanpa harus lembur berlebihan. Kendati masih termasuk padat namun sepertinya pekerjaan sudah semakin bisa dikelola dengan baik (manageable).  Nah, apa yang terjadi?

Ternyata digitalisasi lelang telah sampai pada tahapan dimana proses anti division of labour mungkin dilakukan tanpa mengorbankan produktifitas, atau malah sebenarnya anti division of labour adalah pilihan yang paling efektif dan efisien dalam menyongsong disrupsi teknologi digital (kemungkinan ini rasanya lebih tepat dilihat dari tujuan peralihan itu sendiri, termasuk upaya untuk beradaptasi dengan kemungkinan pekerjaan yang tergantikan perannya oleh artificial intelligence). Pelaksanaan pra lelang, lelang dan pasca lelang telah dilakukan secara digital. Untuk lelang eksekusi hak tanggungan (HT), bahkan kegiatan pasca lelangnya telah dapat dilakukan dalam aplikasi yang sama yaitu lelang.go.id. Dapat dikatakan, melalui aplikasi lelang.go.id, yang terus disempurnakan, seorang PFP dapat melaksanakan hampir seluruh tugasnya secara terstruktur, efektif dan efisien, kecuali kegiatan pasca lelang non eksekusi HT yang masih menggunakan aplikasi berbeda. Dengan proses input data di awal proses oleh pemohon lelang dan dilakukan verifikasi berulang dalam setiap tahapan pra lelang, lelang, dan pasca lelang semua tahapan itu (pra hingga pasca lelang) semakin mendekati proses yang hanya in a matter of clicks (literally). Di masa depan bahkan penulis berani memprediksi, dengan sistem yang semakin advance, semua tahapan pelaksanaan lelang bukan lagi pekerjaan yang menyita banyak waktu. Fokus PFP dapat beralih dari usaha memenuhi kuantitas ke usaha untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil.

Disamping menjadi alat bantu yang revolusioner dalam pelaksanaan tugas, lelang.go.id juga mendapatkan first mover advantage. Salah satunya adalah memiliki brand recognition yang sangat kuat. Menjadi platform pertama di bidang lelang, lelang.go.id memiliki popularitas yang cukup baik di masyarakat bahkan berpotensi untuk semakin besar (terkait hal ini perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut).

Apa yang bisa dipelajari?

Berangkat dari kemungkinan semakin efektif dan efisiennya lelang.go.id dengan peningkatan kemampuan yang mengagumkan, di masa depan sepertinya jumlah akan PFP yang dibutuhkan pun tampaknya akan terkoreksi. Ditambah lagi dengan beberapa faktor penting lain yang layak dipertimbangkan seperti: pertama kinerja aparatur sipil negara sekarang dan di masa depan sudah dan akan semakin mendekati kesempurnaan dari sisi pemanfaatan jam kerja; kedua, bahwa dengan kemajuan teknologi beberapa tugas-tugas yang sifatnya repetitif dan administratif bisa tergantikan oleh artificial intelligence.

Selanjutnya, bagi rumpun/subrumpun jabatan fungsional lainnya, fenomena dukungan digitalisasi dalam pelaksanaan tugas dapat menjadi pelajaran yang berharga. Proses digitalisasi layanan pada rumpun/subrumpun lainnya yang sepertinya masih menyisakan ruang kosong yang luas, dapat diisi dengan inovasi-inovasi digital yang mumpuni.

Ditulis oleh Ida Kade Sukesa/Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Mamuju.

 

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini