Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Mamuju > Artikel
Reformasi Birokrasi Kemenkeu: Sudah Sampai Dimanakah Kita?
Ida Kade Sukesa
Jum'at, 17 Maret 2023   |   400 kali

Isu mengenai korupsi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belakangan ini kembali menjadi perhatian publik, di tengah kasus pegawai yang ramai dibicarakan publik karena diduga memiliki harta yang tidak sesuai dengan profil penghasilannya. Cerita liar yang hilir mudik di ruang publik dan media massa menggambarkan seolah-seolah apa yang telah dilakukan dalam kurun lebih dari dua dekade tidak ada artinya. Berangkat dari situasi ini, sepertinya sudah saatnya kita mempertanyakan: “Sudah sampai di manakah reformasi birokrasi (RB) kita?”

Bertaman dan RB

Memikirkan permasalahan ini, sembari mengarahkan pandangan ke taman rumah dinas, perlahan-lahan pikiran saya terhanyut pada pengalaman saya memperbaiki taman itu. Setelah dua tahun bertugas di Mamuju, saya memutuskan untuk menata taman yang berada di depan rumah dinas tempat tinggal saya, yang sudah terbengkalai bertahun-tahun. Kondisi taman yang sudah dipenuhi rumput dan semak liar yang cukup tinggi, mengharuskan saya mengolah tanah dari awal. Setelah mencabuti seluruh rumput dan semak liar itu, saya menggemburkan tanah dan membuang semua akar-akar yang bisa saya dapatkan. Saya juga memisahkan rumput gajah mini yang awalnya merupakan tanaman utama di taman itu. Rumput-rumput gajah itu kemudian saya tanam ulang.

Beberapa hari berlalu, dengan penyiraman yang rutin, dan juga sesekali disiram dengan pupuk cair, rumput-rumput gajah mini itu mulai tumbuh dengan sehat. Namun, bersama rumput-rumput itu, kembali tumbuh rumput-rumput dan tanaman semak liar yang tidak diharapkan. Saban pagi dan sore hari, sebelum bersiap menuju kantor dan setibanya dari kantor, secara rutin saya mencabuti rumput-rumput liar yang masih kecil itu, sembari mendengar berita dari gawai telepon genggam saya. Kendati setiap hari saya cabuti dan bersihkan tanahnya dari akar-akar tanaman lama, sambil terus menggemburkan tanah, rumput dan tanaman semak liar itu selalu bermunculan di hari berikutnya. Setelah beberapa minggu berlalu, saya menyadari jumlah tanaman liar yang muncul semakin berkurang, namun tidak pernah benar-benar hilang.

Kuat dugaan, tanaman liar yang sudah tumbuh berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun di tempat itu, yang sudah disingkirkan sebelumnya, telah meninggalkan akar atau bibit berupa biji atau lainnya yang tetap ada meskipun telah dibersihkan. Beberapa rumput, seperti rumput teki berkembang biak secara vegetatif menggunakan stolon atau disebut juga dengan geragih yang meskipun rumputnya sudah dicabut, sepanjang geragih itu masih tertinggal, rumput itu akan punya cara untuk kembali tumbuh. Selain itu, benih-benih tanaman liar yang masih tertinggal di tanah berukuran sangat kecil, sehingga tidak bisa disingkirkan.  Belum lagi benih-benih tanaman liar yang dibawa angin dari taman di seberang jalan yang tidak terawat.

Saya merasa entah kenapa, cerita di atas memiliki kesamaan dengan kondisi Kemenkeu. Seperti taman itu, yang telah bertahun-tahun ditumbuhi rumput dan tanaman semak liar sehingga tanaman utama tepinggirkan bahkan sulit bertumbuh. Sebelum RB dilaksanakan, kondisi Kemenkeu memang masih jauh dari kondisi ideal. Tingkat kepercayaan publik pun masih rendah. Sehingga sesuai dengan yang diungkapkan dalam buku perjalanan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan, permasalahan ini  menjadi trigger pelaksanaan RB di Kemenkeu.

RB sebagai upaya membersihkan taman kemenkeu in a nutshell

Untuk memperbaiki taman yang bernama Kemenkeu itu, pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi Kemenkeu sejak 2002. Sampai dengan saat ini, dilansir dari artikel Perjalanan Reformasi Birokrasi pada website Kemenkeu, RB di Kemenkeu telah memasuki periode V. Pada periode I (2002-2006) dan II (2007-2012), dengan diterbitkannya paket UU Keuangan Negara, pemisahan fungsi penyusunan anggaran dan pelaksanaan anggaran dan modernisasi administrasi perpajakan, serta pelaksanaan RB secara masif (pada periode kedua), tanah Kemenkeu digemburkan dan dimatangkan, disiapkan untuk memastikan tanaman utama yang diharapkan tumbuh, dapat tumbuh dengan bersih tanpa gangguan dari tanaman liar yang mengganggu.

Pada periode III (2013-2016), IV (2016-2018) dan V (2019-saat ini), melanjutkan apa yang telah dilakukan sebelumnya, dilaksanakan upaya untuk memastikan tanaman yang diharapkan itu tumbuh dengan subur dan memastikan tanaman liar dapat dihilangkan, sehingga organisasi dengan citra yang bersih, yang dihuni orang-orang yang berintegritas dapat terbentuk. Pada periode III dilakukan penetapan dan implementasi cetak biru reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan (RBTK) dengan 87 inisiatif transformasi kelembagaan (TK) dan sembilan arah. Pada periode ini juga dibentuk Tim Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Pusat (Central Transformation Office) untuk mengawal RBTK di tingkat  pusat.

Pada periode IV RB, Kemenkeu berfokus pada terjaganya kesinambungan fiskal melalui  pendapatan negara yang optimal,  belanja negara yang efisien dan  efektif, dan  pengelolaan keuangan negara yang  akuntabel untuk  mendorong pertumbuhan ekonomi yang  inklusif, berkualitas, dan sustainable. Fokus ini dilakukan dengan penetapan 20 inisiatif strategis baru dalam rangka penguatan implementasi RBTK. Selanjutnya sejak 2019, yaitu pada periode V (saat ini), dilakukan tranformasi digital dengan menggunakan Enterprise Architecture (EA) sebagai tool utama menuju Kemenkeu modern yang berbasis digital. Transformasi digital ini adalah kesempatan Kemenkeu untuk meningkatkan value layanan dan efisiensi proses yang merupakan bagian dari penyempurnaan proses bisnis secara keseluruhan.

Mencabuti pelaku/perilaku korupsi

Secara khusus dari perspektif pengendalian internal, sebagai bagian dari RB, sekitar 2006 (periode I) di Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dibentuk unit Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) dari pusat hingga daerah (Kantor Pelayanan). Unit ini memiliki fungsi pengawasan dan menjaga keseimbangan dari internal Ditjen Pajak. Unit ini juga diharapkan mampu untuk mengontrol sikap dan perilaku seluruh pegawai Ditjen Pajak sehingga selaras dengan arah RB. Unit serupa juga dibentuk di unit eselon I lainnya di Kemenkeu. Unit inilah yang diharapkan ikut berperan dalam mencabuti tanaman yang tidak diharapkan di taman Kemenkeu.

Pada 2011, Kementerian Keuangan membangun Whistleblowing System (WISE) Kemenkeu. Sistem online ini digunakan untuk mengelola pengaduan masyarakat dan pegawai secara terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Sejak 2017, berdasarkan data Kemenkeu, dalam kurun waktu enam tahun, di WISE Kemenkeu diterima 3.287 aduan, dan dari jumlah ini total 550 pegawai terkena hukuman terkait fraud. Ini menunjukkan bahwa WISE juga berperan signifikan dalam mencabuti tanaman liar yang bernama berperilaku menyimpang.

Pada 2017, pengendalian internal mulai dibangun dengan lebih komprehensif dengan mengadopsi sistem three lines of defence, yang diperkenalkan pertama kali pada 2013 oleh Institut of Internal Audit (IIA). Yang menjadi lini pertama pertahanan adalah manajemen unit kerja dan seluruh pegawai unit kerja itu, mulai dari unit eselon I hingga kantor pelayanan. Lini kedua dilaksanakan oleh unit kepatuhan internal yang ada di unit eselon I sampai dengan kantor pelayanan. Terakhir, lini pertahanan ketiga dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu. Sementara itu, WISE adalah saluran informasi langsung menuju lini ketiga dari semua pihak termasuk lini kedua dan lini kesatu.

Selanjutnya, bagaimana kinerja masing-masing lini pertahanan tersebut? Terkait lini pertama dan kedua, belum banyak data yang dapat memperlihatkan bagaimana manajemen unit kerja dan seluruh pegawai unit kerja sebagai lini pertama, serta kepatuhan internal sebagai lini kedua berperan dalam memastikan Kemenkeu bebas dari perilaku menyimpang. Namun, fakta bahwa kemenkeu menjadi yang pertama dan satu-satunya kementerian yang lebih dari 30% unit kerjanya berstatus zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK)/wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM) menunjukkan peran lini pertama dan kedua yang tidak bisa dikesampingkan. Kendati demikian, diperlukan pendalaman lebih lanjut mengenai perbedaan kondisi sebelum dan sesudah RB secara secara robust.

Lantas bagaimana dengan lini ketiga? Terkait ini, tindaklanjut pengaduan melalui WISE di atas dan data surat-menyurat Kemenkeu dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) agaknya memberikan gambaran yang cukup kuat. Mengenai data surat-menyurat Kemenkeu dengan PPATK, berdasarkan data Kemenkeu, sejak 2007 sampai dengan 2023, Itjen Kemenkeu menerima 266 surat yang berisi informasi transaksi keuangan pegawai. Dari jumlah tersebut 185 surat merupakan balasan atas permintaan Itjen Kemenkeu. Selanjutnya secara keseluruhan surat-surat PPATK itu ditindaklanjuti, di antaranya 126 kasus dilakukan audit investigasi yang berujung pada rekomendasi hukuman disiplin pada 352 pegawai. Hal ini dan data mengenai WISE di atas menunjukkan bahwa kinerja Itjen Kemenkeu sebagai lini pertahanan ketiga tidak dapat dipandang sebelah mata.

Pemberantasan korupsi sebagai upaya terus menerus (dinamis)

Lantas, dengan segala upaya RB itu apakah tanaman liar yang tidak diharapkan dapat hilang sepenuhnya? Saya meyakini jawabannya adalah tidak, sebab membangun organisasi birokrasi yang bersih dari perilaku menyimpang bukan tujuan statis melainkan sebuah proses dinamis yang terus menerus. Kondisi Singapura menunjukkan hal ini. Kendati Singapura merupakan salah satu negara terbersih di dunia (peringkat lima Corruption Perceptions Index 2021 dan 2022), sebagaimana dilansir dari website The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), website organisasi pemberantasan korupsi Singapura, jumlah kasus korupsi teregistrasi baru yang diinvestigasi tetap ada. Pada 2021, CPIB menerima 249 laporan yang berkaitan dengan korupsi dan 83 kasus di antaranya diregistrasi untuk diinvestigasi. Jumlah kasus yang diregistrasi untuk diinvestigasi tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah 81 kasus dengan jumlah laporan yang lebih rendah yaitu 239 kasus.

Berangkat dari hal tersebut dapat dikatakan, tanaman-tanaman liar akan terus tumbuh di sela tanaman utama, barangkali karena sudah sedemikan lama perilaku kotor itu bercokol sehingga akarnya sudah tertancap begitu dalam, atau mungkin bibit-bibit baru yang berterbangan dari taman-taman sebelah yang tidak terawat menumbuhkan tanaman liar lagi. Sebagaimana tumbuhan liar adalah bagian alami dari taman, yang bisa datang darimana saja karena lingkungan yang terbuka, pegawai dengan perilaku menyimpang tentu terus akan ada, ditambah dengan jenis kewenangan yang sangat marketable, begitu mudah diperjual-belikan. Namun dengan sistem pengendalian yang baik jumlah tanaman liar itu tentu akan terus menurun sampai kemudian mendekati tidak ada.

Dari kesemuanya itu, maka layak untuk dikatakan, adalah tidak adil untuk mengatakan bahwa RB di Kemenkeu gagal, atau pemberantasan korupsi di Kemenkeu tidak membuahkan hasil sama sekali hanya karena adanya kasus seperti RAT. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, secara umum Kemenkeu telah menunjukkan upaya konsisten yang terus menerus dalam komitmen untuk memberantas korupsi dan menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani, meskipun tampaknya masih ada pekerjaan besar yang belum terselesaikan.

Sudah sampai dimanakah kita dan apa yang harus dilakukan Kemenkeu?

Jika kita lihat apa yang sudah dilakukan oleh Kemenkeu sejak 2002, agaknya proses mengemburkan lahan, menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuhnya perilaku bersih birokrasi telah dilakukan oleh Kemenkeu dan terus dilakukan sebagai bentuk adaptasi yang terus-menerus. Secara umum, kendati masih ada yang menyimpang, pegawai Kemenkeu telah dapat menunjukkan kinerja yang bersih. Upaya memastikan perilaku menyimpang pegawai oleh tiga lini pertahanan pun sudah dilakukan. WISE pun bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan. Saat ini, dapat dikatakan, kita berada dalam situasi secara konsisten mencabuti pelaku/perilaku menyimpang dari Taman Kemenkeu.

Lantas, apa yang hendaknya kita lakukan? Berkaca dari masih kurangnya informasi mengenai perkembangan RB di Kemenkeu di ruang publik termasuk media massa, yang berujung pada pemahaman keliru di masyarakat, Kemenkeu perlu lebih banyak mengkomunikasikan cerita mengenai RB yang dilakukan, apa yang berhasil, dan yang lebih penting apa yang gagal (baca adanya pegawai yang fraud), dan selanjutnya langkah apa yang sudah diambil. Jika kegagalan itu diidentifikasi sendiri dan berhasil diselesaikan seperti 126 kasus terkait 352 pegawai, seharusnya bisa menjadi bukti bahwa tukang cabut tanaman liar Kemenkeu bekerja secara konsisten dan terus-menerus, apalagi jika data periodik dari tahun-ketahun dapat menunjukkan perbaikan. Di sini, suatu cara untuk mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi yang lebih akurat dan nyata seharusnya dikembangkan, sehingga dengan dikombinasi dengan strategi komunikasi yang mumpuni dapat masuk ke top of mind masyarakat umum/netizen, yang pada akhirnya ketika terjadi kasus penyimpangan, maka masyarakat dapat melihatnya sebagai bagian dari progress

Selanjutnya, proses memastikan perilaku bersih dari korupsi hendaknya terus dilakukan tanpa lelah dan tidak boleh lengah. Tiga lini pertahanan harus terus bekerja tanpa henti, karena tidak ada perhentian untuk pemberantasan korupsi. Lebih lanjut, sepertinya, partisipasi masyarakat yang ikut mengawasi para pegawai Kemenkeu telah menjadi faktor positif yang menentukan dalam pemberantasan korupsi di Kemenkeu. Dalam konteks ini, penulis mengusulkan agar three lines of defence diubah menjadi four lines of defence dengan memasukkan partisipasi masyarakat (termasuk netizen) sebagai lini keempat. Dengan konsep baru ini, Kemenkeu secara terbuka mengundang seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi seluruh pegawai, yang pada gilirannya konsep yang inklusif ini mengarah pada timbulnya rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat atas pelaksanaan RB di Kemenkeu itu sendiri.

Terakhir, yang penting untuk dipahami adalah adanya kasus yang terungkap tidak berarti semua korupsi, dan tidak adanya kasus yang terungkap bukan berarti benar-benar bersih, dan pengungkapan korupsi (terutama yang diinisiasi oleh internal) sesungguhnya menunjukkan komitmen untuk bersih-bersih. Kemenkeu sebagai sebuah sistem dan nilai harus terus berdiri berhadap-hadapan secara diametral melawan pelaku/perilaku korupsi, dan yang lebih penting publik harus tahu itu.

Mamuju, 17 Maret 2021

Ditulis oleh Ida Kade Sukesa/Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Mamuju

Catatan: Artikel ini merupakan bagian dari Serial Artikel ZI Menuju WBBM KPKNL Mamuju

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini