Isu mengenai
korupsi di Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) belakangan ini kembali menjadi
perhatian publik, di tengah kasus pegawai yang ramai dibicarakan publik karena diduga memiliki
harta yang tidak sesuai dengan profil penghasilannya. Cerita liar yang hilir
mudik di ruang publik dan media massa menggambarkan seolah-seolah apa yang
telah dilakukan dalam kurun lebih dari dua dekade tidak ada artinya. Berangkat
dari situasi ini, sepertinya sudah saatnya kita mempertanyakan: “Sudah sampai
di manakah reformasi birokrasi (RB) kita?”
Bertaman dan RB
Memikirkan permasalahan ini, sembari mengarahkan pandangan
ke taman rumah dinas, perlahan-lahan pikiran saya terhanyut pada pengalaman saya
memperbaiki taman itu. Setelah dua tahun bertugas di Mamuju, saya memutuskan
untuk menata taman yang berada di depan rumah dinas tempat tinggal saya, yang
sudah terbengkalai bertahun-tahun. Kondisi taman yang sudah dipenuhi rumput dan
semak liar yang cukup tinggi, mengharuskan saya mengolah tanah dari awal.
Setelah mencabuti seluruh rumput dan semak liar itu, saya menggemburkan tanah
dan membuang semua akar-akar yang bisa saya dapatkan. Saya juga memisahkan
rumput gajah mini yang awalnya merupakan tanaman utama di taman itu.
Rumput-rumput gajah itu kemudian saya tanam ulang.
Beberapa hari berlalu, dengan penyiraman yang rutin,
dan juga sesekali disiram dengan pupuk cair, rumput-rumput gajah mini itu mulai
tumbuh dengan sehat. Namun, bersama rumput-rumput itu, kembali tumbuh
rumput-rumput dan tanaman semak liar yang tidak diharapkan. Saban pagi dan sore
hari, sebelum bersiap menuju kantor dan setibanya dari kantor, secara rutin
saya mencabuti rumput-rumput liar yang masih kecil itu, sembari mendengar
berita dari gawai telepon genggam saya. Kendati setiap hari saya cabuti dan
bersihkan tanahnya dari akar-akar tanaman lama, sambil terus menggemburkan
tanah, rumput dan tanaman semak liar itu selalu bermunculan di hari berikutnya.
Setelah beberapa minggu berlalu, saya menyadari jumlah tanaman liar yang muncul
semakin berkurang, namun tidak pernah benar-benar hilang.
Kuat dugaan, tanaman liar yang sudah tumbuh
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun di tempat itu, yang sudah disingkirkan
sebelumnya, telah meninggalkan akar atau bibit berupa biji atau lainnya yang
tetap ada meskipun telah dibersihkan. Beberapa rumput, seperti rumput teki
berkembang biak secara vegetatif menggunakan stolon atau disebut juga dengan
geragih yang meskipun rumputnya sudah dicabut, sepanjang geragih itu masih
tertinggal, rumput itu akan punya cara untuk kembali tumbuh. Selain itu,
benih-benih tanaman liar yang masih tertinggal di tanah berukuran sangat kecil,
sehingga tidak bisa disingkirkan. Belum
lagi benih-benih tanaman liar yang dibawa angin dari taman di seberang jalan
yang tidak terawat.
Saya merasa entah kenapa, cerita di atas memiliki
kesamaan dengan kondisi Kemenkeu. Seperti taman itu, yang telah bertahun-tahun
ditumbuhi rumput dan tanaman semak liar sehingga tanaman utama tepinggirkan
bahkan sulit bertumbuh. Sebelum RB dilaksanakan, kondisi Kemenkeu memang masih
jauh dari kondisi ideal. Tingkat kepercayaan publik pun masih rendah. Sehingga
sesuai dengan yang diungkapkan dalam buku perjalanan Reformasi Birokrasi Kementerian
Keuangan, permasalahan ini menjadi
trigger pelaksanaan RB di Kemenkeu.
RB sebagai upaya membersihkan
taman kemenkeu in a nutshell
Untuk memperbaiki taman yang bernama Kemenkeu itu,
pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi Kemenkeu sejak 2002. Sampai dengan
saat ini, dilansir dari artikel Perjalanan Reformasi Birokrasi pada website
Kemenkeu, RB di Kemenkeu telah memasuki periode V. Pada periode I (2002-2006) dan
II (2007-2012), dengan diterbitkannya paket UU Keuangan Negara, pemisahan
fungsi penyusunan anggaran dan pelaksanaan anggaran dan modernisasi
administrasi perpajakan, serta pelaksanaan RB secara masif (pada periode
kedua), tanah Kemenkeu digemburkan dan dimatangkan, disiapkan untuk memastikan
tanaman utama yang diharapkan tumbuh, dapat tumbuh dengan bersih tanpa gangguan
dari tanaman liar yang mengganggu.
Pada periode III (2013-2016), IV (2016-2018) dan V
(2019-saat ini), melanjutkan apa yang telah dilakukan sebelumnya, dilaksanakan upaya
untuk memastikan tanaman yang diharapkan itu tumbuh dengan subur dan memastikan
tanaman liar dapat dihilangkan, sehingga organisasi dengan citra yang bersih, yang
dihuni orang-orang yang berintegritas dapat terbentuk. Pada periode III dilakukan
penetapan dan implementasi cetak biru reformasi birokrasi dan transformasi
kelembagaan (RBTK) dengan 87 inisiatif transformasi kelembagaan (TK) dan
sembilan arah. Pada periode ini juga dibentuk Tim Reformasi Birokrasi dan
Transformasi Kelembagaan Pusat (Central
Transformation Office) untuk mengawal RBTK di tingkat pusat.
Pada periode IV RB, Kemenkeu berfokus pada terjaganya
kesinambungan fiskal melalui pendapatan
negara yang optimal, belanja negara yang
efisien dan efektif, dan pengelolaan keuangan negara yang akuntabel untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas, dan sustainable. Fokus
ini dilakukan dengan penetapan 20 inisiatif strategis baru dalam rangka
penguatan implementasi RBTK. Selanjutnya sejak 2019, yaitu pada periode V (saat
ini), dilakukan tranformasi digital dengan menggunakan Enterprise Architecture (EA) sebagai tool utama menuju Kemenkeu
modern yang berbasis digital. Transformasi digital ini adalah kesempatan
Kemenkeu untuk meningkatkan value
layanan dan efisiensi proses yang merupakan bagian dari penyempurnaan proses
bisnis secara keseluruhan.
Mencabuti pelaku/perilaku korupsi
Secara khusus dari perspektif pengendalian internal, sebagai
bagian dari RB, sekitar 2006 (periode I) di Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen
Pajak) dibentuk unit Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur
(Kitsda) dari pusat hingga daerah (Kantor Pelayanan). Unit ini memiliki fungsi
pengawasan dan menjaga keseimbangan dari internal Ditjen Pajak. Unit ini juga
diharapkan mampu untuk mengontrol sikap dan perilaku seluruh pegawai Ditjen
Pajak sehingga selaras dengan arah RB. Unit serupa juga dibentuk di unit eselon
I lainnya di Kemenkeu. Unit inilah yang diharapkan ikut berperan dalam
mencabuti tanaman yang tidak diharapkan di taman Kemenkeu.
Pada 2011, Kementerian Keuangan membangun Whistleblowing System (WISE) Kemenkeu.
Sistem online ini digunakan untuk mengelola pengaduan masyarakat dan pegawai
secara terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Sejak 2017, berdasarkan data
Kemenkeu, dalam kurun waktu enam tahun, di WISE Kemenkeu diterima 3.287 aduan,
dan dari jumlah ini total 550 pegawai terkena hukuman terkait fraud. Ini
menunjukkan bahwa WISE juga berperan signifikan dalam mencabuti tanaman liar
yang bernama berperilaku menyimpang.
Pada 2017, pengendalian internal mulai dibangun dengan
lebih komprehensif dengan mengadopsi sistem three
lines of defence, yang diperkenalkan pertama kali pada 2013 oleh Institut of Internal Audit (IIA). Yang
menjadi lini pertama pertahanan adalah manajemen unit kerja dan seluruh pegawai
unit kerja itu, mulai dari unit eselon I hingga kantor pelayanan. Lini kedua
dilaksanakan oleh unit kepatuhan internal yang ada di unit eselon I sampai
dengan kantor pelayanan. Terakhir, lini pertahanan ketiga dilaksanakan oleh
Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu. Sementara itu, WISE adalah saluran
informasi langsung menuju lini ketiga dari semua pihak termasuk lini kedua dan lini
kesatu.
Selanjutnya, bagaimana kinerja masing-masing lini
pertahanan tersebut? Terkait lini pertama dan kedua, belum banyak data yang
dapat memperlihatkan bagaimana manajemen unit kerja dan seluruh pegawai unit
kerja sebagai lini pertama, serta kepatuhan internal sebagai lini kedua
berperan dalam memastikan Kemenkeu bebas dari perilaku menyimpang. Namun, fakta
bahwa kemenkeu menjadi yang pertama dan satu-satunya kementerian yang lebih
dari 30% unit kerjanya berstatus zona integritas menuju wilayah bebas dari
korupsi (WBK)/wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM) menunjukkan peran
lini pertama dan kedua yang tidak bisa dikesampingkan. Kendati demikian,
diperlukan pendalaman lebih lanjut mengenai perbedaan kondisi sebelum dan
sesudah RB secara secara robust.
Lantas bagaimana dengan lini ketiga? Terkait ini, tindaklanjut
pengaduan melalui WISE di atas dan data surat-menyurat Kemenkeu dengan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) agaknya memberikan gambaran
yang cukup kuat. Mengenai data surat-menyurat Kemenkeu dengan PPATK,
berdasarkan data Kemenkeu, sejak 2007 sampai dengan 2023, Itjen Kemenkeu
menerima 266 surat yang berisi informasi transaksi keuangan pegawai. Dari
jumlah tersebut 185 surat merupakan balasan atas permintaan Itjen Kemenkeu.
Selanjutnya secara keseluruhan surat-surat PPATK itu ditindaklanjuti, di
antaranya 126 kasus dilakukan audit investigasi yang berujung pada rekomendasi
hukuman disiplin pada 352 pegawai. Hal ini dan data mengenai WISE di atas menunjukkan
bahwa kinerja Itjen Kemenkeu sebagai lini pertahanan ketiga tidak dapat
dipandang sebelah mata.
Pemberantasan korupsi sebagai
upaya terus menerus (dinamis)
Lantas, dengan segala upaya RB itu apakah tanaman liar
yang tidak diharapkan dapat hilang sepenuhnya? Saya meyakini jawabannya adalah
tidak, sebab membangun organisasi birokrasi yang bersih dari perilaku
menyimpang bukan tujuan statis melainkan sebuah proses dinamis yang terus
menerus. Kondisi Singapura menunjukkan hal ini. Kendati Singapura merupakan salah
satu negara terbersih di dunia (peringkat lima Corruption Perceptions Index
2021 dan 2022), sebagaimana dilansir dari website The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), website organisasi
pemberantasan korupsi Singapura, jumlah kasus korupsi teregistrasi baru yang
diinvestigasi tetap ada. Pada 2021, CPIB menerima 249 laporan yang berkaitan
dengan korupsi dan 83 kasus di antaranya diregistrasi untuk diinvestigasi.
Jumlah kasus yang diregistrasi untuk diinvestigasi tersebut mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah 81 kasus dengan jumlah laporan
yang lebih rendah yaitu 239 kasus.
Berangkat dari hal tersebut dapat dikatakan,
tanaman-tanaman liar akan terus tumbuh di sela tanaman utama, barangkali karena
sudah sedemikan lama perilaku kotor itu bercokol sehingga akarnya sudah
tertancap begitu dalam, atau mungkin bibit-bibit baru yang berterbangan dari
taman-taman sebelah yang tidak terawat menumbuhkan tanaman liar lagi.
Sebagaimana tumbuhan liar adalah bagian alami dari taman, yang bisa datang
darimana saja karena lingkungan yang terbuka, pegawai dengan perilaku menyimpang
tentu terus akan ada, ditambah dengan jenis kewenangan yang sangat marketable, begitu mudah
diperjual-belikan. Namun dengan sistem pengendalian yang baik jumlah tanaman
liar itu tentu akan terus menurun sampai kemudian mendekati tidak ada.
Dari kesemuanya itu, maka layak untuk dikatakan, adalah
tidak adil untuk mengatakan bahwa RB di Kemenkeu gagal, atau pemberantasan
korupsi di Kemenkeu tidak membuahkan hasil sama sekali hanya karena adanya
kasus seperti RAT. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, secara umum Kemenkeu telah
menunjukkan upaya konsisten yang terus menerus dalam komitmen untuk memberantas
korupsi dan menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani, meskipun tampaknya
masih ada pekerjaan besar yang belum terselesaikan.
Sudah sampai dimanakah kita
dan apa yang harus dilakukan Kemenkeu?
Jika kita lihat apa yang sudah dilakukan oleh Kemenkeu
sejak 2002, agaknya proses mengemburkan lahan, menciptakan lingkungan yang
mendukung tumbuhnya perilaku bersih birokrasi telah dilakukan oleh Kemenkeu dan
terus dilakukan sebagai bentuk adaptasi yang terus-menerus. Secara umum,
kendati masih ada yang menyimpang, pegawai Kemenkeu telah dapat menunjukkan
kinerja yang bersih. Upaya memastikan perilaku menyimpang pegawai oleh tiga
lini pertahanan pun sudah dilakukan. WISE pun bekerja sesuai dengan apa yang
diharapkan. Saat ini, dapat dikatakan, kita berada dalam situasi secara
konsisten mencabuti pelaku/perilaku menyimpang dari Taman Kemenkeu.
Lantas, apa yang hendaknya kita lakukan? Berkaca dari
masih kurangnya informasi mengenai perkembangan RB di Kemenkeu di ruang publik
termasuk media massa, yang berujung pada pemahaman keliru di masyarakat, Kemenkeu
perlu lebih banyak mengkomunikasikan cerita mengenai RB yang dilakukan, apa
yang berhasil, dan yang lebih penting apa yang gagal (baca adanya pegawai yang
fraud), dan selanjutnya langkah apa yang sudah diambil. Jika kegagalan itu
diidentifikasi sendiri dan berhasil diselesaikan seperti 126 kasus terkait 352
pegawai, seharusnya bisa menjadi bukti bahwa tukang cabut tanaman liar Kemenkeu
bekerja secara konsisten dan terus-menerus, apalagi jika data periodik dari
tahun-ketahun dapat menunjukkan perbaikan. Di sini, suatu cara untuk mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi yang lebih
akurat dan nyata seharusnya dikembangkan, sehingga dengan dikombinasi
dengan strategi komunikasi yang mumpuni dapat masuk ke top of mind masyarakat umum/netizen,
yang pada akhirnya ketika terjadi kasus penyimpangan, maka masyarakat dapat
melihatnya sebagai bagian dari progress.
Selanjutnya, proses memastikan perilaku bersih dari
korupsi hendaknya terus dilakukan tanpa lelah dan tidak boleh lengah. Tiga lini
pertahanan harus terus bekerja tanpa henti, karena tidak ada perhentian untuk
pemberantasan korupsi. Lebih lanjut, sepertinya, partisipasi masyarakat yang
ikut mengawasi para pegawai Kemenkeu telah menjadi faktor positif yang
menentukan dalam pemberantasan korupsi di Kemenkeu. Dalam konteks ini, penulis mengusulkan agar three lines of defence diubah menjadi four lines of defence dengan memasukkan
partisipasi masyarakat (termasuk netizen)
sebagai lini keempat. Dengan konsep baru ini, Kemenkeu secara terbuka
mengundang seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi seluruh pegawai, yang pada
gilirannya konsep yang inklusif ini mengarah pada timbulnya rasa memiliki dan
tanggung jawab masyarakat atas pelaksanaan RB di Kemenkeu itu sendiri.
Terakhir, yang penting untuk dipahami adalah adanya
kasus yang terungkap tidak berarti semua korupsi, dan tidak adanya kasus yang
terungkap bukan berarti benar-benar bersih, dan pengungkapan korupsi (terutama
yang diinisiasi oleh internal) sesungguhnya menunjukkan komitmen untuk
bersih-bersih. Kemenkeu sebagai sebuah sistem dan nilai harus terus berdiri
berhadap-hadapan secara diametral melawan pelaku/perilaku korupsi, dan yang lebih
penting publik harus tahu itu.
Mamuju, 17 Maret 2021
Ditulis oleh Ida Kade Sukesa/Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Mamuju
Catatan: Artikel ini merupakan bagian dari Serial Artikel ZI Menuju WBBM KPKNL Mamuju