Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Mamuju > Artikel
Artikel Serial ZI Menuju WBBM: Antara Gratifikasi dan Pemberian yang Sah
Ida Kade Sukesa
Selasa, 30 Agustus 2022   |   822 kali

Integritas menjadi merupakan faktor kunci dalam pembangunan ZI Menuju WBBM. Salah satu tantangan dalam menjaga integritas adalah pemberian gratifikasi. Data KPK tahun 2022, menunjukkan bahwa sampai dengan bulan Juni terdapat 1.779 (termasuk BUMN) kasus gratifikasi yang terbukti terjadi pada lingkungan ASN Pemerintah Indonesia. Data ini menggambarkan bahwa potensi gratifikasi sangat tinggi terjadi di lingkungan birokrasi, sehingga diperlukan kehati-hatian bagi ASN dalam menyikapinya. Lantas bagaimanakah cara kita sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) membedakan antara gratifikasi dan pemberian yang sah? Terkait dengan hal tersebut, artikel ini berusaha menjelaskan perbedaan antara kegiatan gratifikasi dan pemberian yang sah.

Perbedaan gratifikasi vs pemberian yang sah

Dalam UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Tindakan gratifikasi dilarang karena dapat mendorong penyelenggara negara atau pegawai negeri untuk bersikap tidak objektif, tidak adil, dan tidak profesional dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat membuat para petugas negara tersebut tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Sesuai definisinya, Gratifikasi erat kaitannya dengan hadiah atau pemberian yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai opini dari berbagai kalangan masyarakat yang akan berpendapat bahwa hal ini melanggar hukum, namun ternyata tidak semua gratifikasi adalah ilegal atau sebuah kesalahan.

Sudut pandang utama yang cocok dan tepat digunakan untuk membandingkan antara kegiatan gratifikasi dan pemberian yang sah adalah timbal balik yang terjadi diantara pihak yang terkait. Sebagai contoh, tindakan berupa pemberian kupon perjalanan wisata gratis dari pemohon layanan kepada pemberi layanan, dengan relasi di antara kedua pihak hanyalah hubungan bisnis, bisa dipastikan bahwa gratifikasilah kemungkinan besar yang terjadi. Sedangkan untuk contoh pemberian yang sah adalah dua pihak yang berlatar belakang sebagai teman masa kecil yang bertemu kembali setelah sekian lama sehingga terjadi pertukaran pemberian tanpa motif atau tujuan lain.

Laman Pusat Edukasi Anti-Korupsi KPK menuliskan bahwa setiap tindakan yang memiliki indikasi gratifikasi kepada para pejabat atau pegawai negeri akan dianalisa untuk memastikan apakah tindakan tersebut ilegal. Pemeriksaan tersebut untuk melihat sejauh mana pemberian atau hadiah berhubungan dengan jabatan penerima dalam kaitan tugas dan kewajibannya. Lantas, apa bedanya dengan suap? Tindakan penyuapan diidentifikasi secara spesifik dilakukan oleh korporasi atau pihak swasta dengan tujuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan dari pihak penerima suap.

Dalam Buku Mengenal Gratifikasi yang diunggah Kominfo pada situs resminya, setiap hadiah atau pemberian dapat diterima oleh para ASN atau Penyelenggara Negara sejauh hadiah tersebut tidak berkaitan dengan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan pekerjaan. Oleh karenanya, sebagai penerima harus terlebih dahulu menanyakan tujuan dari pemberian tersebut. Selain itu, ada pula metode PROVE IT untuk mempertimbangkan pemberian hadiah. Metode tersebut adalah:

Ø   P – Purpose atau tujuan, tanyakan tujuan pemberian.

Ø   R – Rule atau aturan, ketahui aturan gratifikasi dalam undang-undang.

Ø   O – Openes atau keterbukaan, apakah hadiah diberikan secara terbuka atau diam-diam.

Ø   V – Value atau berapa nilai gratifikasi tersebut. ASN perlu berhati-hati jika nilainya cukup tinggi.

Ø   E – Ethics atau etika, bagaimana moral pribadi Anda ketika menerimanya.

Ø   I – Identity atau identitas dari pemberi apakah berhubungan dengan jabatan atau calon rekanan?

Ø   T – Timing atau waktu. Kapan hadiah diberikan, apakah berhubungan dengan pengambilan keputusan, pelayanan, atau perijinan?

Selanjutnya, berikut contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima dilansir dari Buku Mengenal Gratifikasi:

1.    terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat di luar penerimaan yang sah;

2.    terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran di luar penerimaan yang sah;

3.    terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring, dan evaluasi di luar penerimaan yang sah;

4.    terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas di luar penerimaan yang sah atau resmi dari instansi; dan

5.    dalam proses penerimaan/ promosi/ mutasi pegawai.

Apa yang harus dilakukan ketika menerima gratifikasi?

Sebagai ASN, tindak lanjut yang tepat dalam berhadapan dengan gratifikasi atau melihat risiko gratifikasi pada orang terdekat adalah melaporkan barang gratifikasi kepada Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) di unit terdekat dengan mengikuti proses yang berlaku hingga akhirnya barang tersebut ditetapkan menjadi milik negara atau dikembalikan kepada penerima sebagai pemberian yang sah. UPG adalah unit yang terdapat pada masing-masing badan pemerintahan yang bertugas untuk melaksanakan pengawasan, pengendalian potensi terjadinya gratifikasi dan melakukan tindak lanjut pelaporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika terdapat dugaan gratifikasi yang dilaporkan pada badan terkait.

Penulis: Syamsa Ainurochim (Staf Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Mamuju)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini