Indonesa
dikenal sebagai negara agraris dengan padi sebagai komoditas utamanya. Pada
tahun 1984 indonesia sempat mencapai swasembada pangan dengan surplus 2 juta
ton beras dan dapat membantu negara-negara yang sedang kesulitan pangan. Namun
semenjak tahun 1990-an indonesia kembali defisit dan melakukan impor beras.
Keadaan tersebut diperparah dengan adanya konversi lahan yang terus berjalan. Kementerian
Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) menyampaikan bahwa berdasarkan perhitungan
ulang tahun 2019 luas lahan baku sawah di Indonesia hanya tersisa 7.463.948
hektar. Sebanyak 650.000 hektar lahan baku sawah menyusut tiap tahunnya
sebagaimana publikasi Kementerian Pertanian tahun 2020. Padahal secara hukum,
pengalihfungsian lahan pertanian sudah diatur dalam Undang Undang No 41/2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tidak main-main,
aturan ini mengancam siapa aja yang secara langsung maupun tidak langsung
melakukan alih fungsi lahan pertanian. Ancaman pidananya kurungan selama lima
tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp5 miliar.
Pertanian juga masih menjadi salah satu pendorong ekonomi di Kabupaten Cirebon. 15,93 persen dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cirebon disumbang oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (terbesar kedua setelah Industri manufaktur yaitu 20,55 persen). Namun demikian perkembagan pertanian di Kabupaten Cirebon juga tidak jauh berbeda dengan kondisi nasional. Terjadi penyusutan yang cukup signifikan hingga 9 persen per tahun sebagaimana data ATR/BPN tahun 2018. Pemerintah Kabupaten Cirebon melalui Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Cirebon, 2018-2038, telah menetapkan 40.000 hektar lahan sebagai lahan abadi pertanian untuk mengurangi dampak penyusutan lahan tersebut.
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Cirebon sebagai pengelola aset Barang Milik Negara (BMN) di wilayah CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) turut mendukung kebijakan pemerintah dalam mempertahankan atau bahkan menambahkan lahan pertanian. KPKNL Cirebon telah beberapa kali terlibat dalam pengelolaan aset BMN khususnya aset berupa lahan pertanian baik berupa sawah maupun tambak ikan di wilayah tersebut. Lahan tersebut terdiri dari lahan yang memang sebelumnya diperuntukkan untuk pertanian, terdapat pula bentuk optimalisasi BMN iddle yang sebelumnya merupakan lahan menganggur, dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh KPKNL Cirebon diantaranya adalah proses persetujuan pemanfaatan dan penilaian aset berupa lahan pertanian untuk berbagai kepentingan diantaranya adalah pemanfaatan serta penyusunan neraca keuangan.
Kali ini kami mencoba berbagi cerita terkait pelaksanaan penilaian BMN dengan objek penilaian lahan pertanian lebih khusus dengan pendekatan pasar. Hal ini menarik, karena proses pelaksanaan penilaian lahan yang digunakan untuk pertanian agak sedikit berbeda karakteristiknya dengan lahan komersial atau industri pada umumnya.
Seperti diketahui bersama, secara umum unsur utama pembentuk nilai adalah adanya penawaran (supply) dan permintaan (demand). Begitupun terkait lahan pertanian, penawaran muncul dari pemilik lahan yang menawarkan lahan untuk disewa, digarap, maupun dijual. Di sisi lain ada permintaan dari calon penyewa, penggarap, atau calon pembeli yang mencari lahan. Dalam praktiknya, permintaan lahan pertanian bisa sangat beragam. Sedikitnya ada 3 jenis permintaan untuk lahan pertanian, pertama permintaan lahan pertanian yang memang akan tetap digunakan untuk kegiatan pertanian, selanjutnya yang kedua yaitu permintaan lahan pertanian untuk dikonversi menjadi lahan industri manufaktur atau industri lainnya, dan ketiga adalah permintaan lahan pertanian untuk dikonversi menjadi kavling perumahan.. Ketiga tujuan tersebut dapat dikelompokkan menjadi penggunaan tetap menjadi lahan pertanian atau untuk dikonversi.
Pemilik lahan pertanian biasanya tergiur dengan harga yang lebih mahal apabila tanah pertaniannya dikonversi menjadi tanah industri maupun perumahan dibanding untuk lahan pertanian. Meskipun telah ada peraturan untuk mencegah konversi lahan pertanian, namun nyatanya di lapangan masih terdapat konversi lahan pertanian menjadi beberapa peruntukkan tersebut.
Terkait pelaksanaan penilaian tanah pertanian, sebagai penilai pemerintah yang berdasarkan statuta, tentu penilai pemerintah tetap mengacu pada peraturan-peraturan yang berlaku. Dimana apabila terdapat suatu lahan pertanian yang memang peruntukkannya untuk pertanian, maka dalam analisis Penggunaan Tertinggi dan Terbaik (Highest and Best Use) kegunaan tertingginya adalah sesuai yang telah ditentukan oleh peraturan yaitu tetap sebagai lahan pertanian, terlepas dari nilai ekonomi yang lebih tinggi apabila lahan tersebut dikonversi untuk tujuan lain.
Dalam penilaian properti khususnya tanah dan bangunan dengan pendekatan pasar, maka objek penilaian akan dibandingkan dengan beberapa pembanding yang sejenis dan sebanding. Selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan faktor-faktor yang relevan agar objek pembanding menjadi setara dengan objek penilaian guna menghasilkan nilai wajar. Dalam melakukan penyesuaian. Secara umum faktor-faktor penyesuaian non transaksional yang dipertimbangkan dalam menyusun analisis perhitungan nilai antara lan sebagai berikut :
1.
Lokasi
Faktor
lokasi menjadi salah satu faktor utama penentu harga. Dalam faktor ini
dipertimbangkan kedekatan objek dengan pusat bisnis (CBD), jarak dan atau
posisi dari jalan utama, posisi aset dari jalan, serta kondisi sosial ekonomi
di sekitar objek. Semakin dekat suatu objek dengan CBD, jalan utama dan dengan
posisi di pinggir jalan tentu memiliki nilai yang relatif lebih tinggi. Khusus
untuk lahan pertanian cukup unik, karena selain keempat hal tersebut
dipertimbangkan pula bagaimana posisi objek tersebut terhadap irigasi. Bahkan di
desa tertentu, kedekatan objek dengan penggarap menjadi salah satu faktor yang
dipertimbangkan, namun hal tersebut (kedekatan dengan penggarap) tersebut tidak
berlaku umum, sehingga dapat diabaikan.
2.
Aksesibilitas
Faktor
aksesibilitas sendiri adalah berkaitan dengan bagaimana lokasi objek tersebut
dapat dicapai. Subfaktor yang umum dipakai sebagai proxy aksesibilitas
pada umumnya adalah : ada tidaknya jalan akses ke lokasi objek, lebar jalan ke
lokasi objek, kualitas/kondisi jalan menuju objek, dan angkutan publik yang
mencapai ke lokasi objek. Dalam penilaian lahan pertanian, aksesibilitas ini
juga merupakan faktor penting yang dipertimbangkan. Faktor ini berkaitan dengan
akses pengangkutan hasil pertanian. Apabila terdapat akses yang cukup untuk
mengangkut hasil panen serta transportasi alat-alat pertanian ke lokasi objek, maka
akan menjadi nilai tambah dibanding objek yang tidak memiliki akses atau
aksesnya kurang baik.
3.
Karakteristik
Fisik
Karakteristik
fisik seperti luas tanah, bentuk tanah, jenis tanah, kontur dan elevasi dari
permukaan jalan juga menjadi faktor penentu nilai properti. Dalam kaitanya
dengan lahan pertanian, subfaktor dari karakteristik fisik tersebut tentu juga
menjadi pertimbangan. Dalam hal luas tanah, semakin luas tanah yang dijual
tentu akan mengerucutkan potensi calon pembeli karena lebih sedikit orang yang
memiliki kemampuan finansial untuk membeli lahan tersebut. Hal itu juga tentu
akan berdampak pada harga yang nantinya akan terbentuk. Bentuk tanah untuk pertanian
untuk pertanian umumnya tidak jauh berbeda, walaupun tidak terlalu signifikan
dalam mempengaruhi nilai karena secara umum walaupun bentuknya tidak beraturan,
masih dapat digunakan secara maksimal. Jenis tanah, untuk tanah pembanding yang
sejenis tentu jenis tanahnya tidak akan jauh berbeda yaitu lahan pertanian.
Kontur dan elevasi tanah pertanian pada umumnya berada di bawah jalan karena
untuk menampung pengairan/irigasi.
4.
Pemanfaatan
Sekitar
Dari
sisi pemanfaatan tanah di sekitar juga dapat mempengaruhi nilai lahan
pertanian. walaupun memiliki peruntukkan lahan yang berbeda, akan tetapi
apabila lahan pertanian berada dekat dengan zona industri atau perumahan, maka
secara umum ada harapan dari pemilik lahan apabila lahannya akan dikonversi
menjadi pabrik atau kavling perumahan dengan penambahan nilai tanah.
5.
Ketersediaan
Fasilitas Umum dan Sosial
Ketersediaan
fasilitas umum dan sosial tentu juga berkaitan erat dengan nilai properti,
namun terkait dengan lahan pertanian, fasilitas umum dan sosial tidak terlalu
signifikan seperti pada lahan perumahan maupun komersial.
Selain
faktor-faktor utama tersebut, untuk lahan pertanian, kami melakukan diskusi
dengan pemilik lahan, penyewa lahan maupun petani penggarap selama pelaksanaan
survey lapangan pada objek penilaian berupa lahan pertanian. Berdasarkan diskusi
yang pernah kami lakukan, terdapat beberapa faktor-faktor khusus yang khas
terkait lahan pertanian yang cukup signifikan dalam mempengaruhi nilai antara
lain adalah :
1.
Kapasitas
panen
Kapasitas
panen merupakan salah satu faktor dominan yang dapat menentukan harga yang
terbentuk. Sebagai gambaran, misalnya sewa lahan pertanian yang memiliki
kapasitas panen 2 kali setahun hanya berkisar 10-12 juta rupiah per hektar per
tahun, sementara untuk lahan yang memiliki kapasitas 3 kali panen bisa mencapai
15-18 juta rupiah perhektar per-tahun. Selain karena kondisi/kesuburan lahan,
kapasitas panen sendiri pada dasarnya berkaitan erat dan dapat menjadi salah
satu subfaktor lokasi yaitu bagaimana posisi lahan tersebut terhadap irigasi
yang tersedia. Karena ketersediaan irigasi akan menentukan keberlangsungan
proses tanamnya. Faktor kapasitas panen menjadi faktor penentu nilai yang cukup
signifikan pada lahan pertanian, sejalan dengan prinsip antisipasi, dimana
nilai yang terbentuk merupakan ekspektasi dari pendapatan yang berpotensi
diraih di masa depan.
2.
Ketersediaan
irigasi
Irigasi
merupakan faktor kritis yang sangat berpengaruh untuk lahan pertanian. Tanaman
pertanian terutama padi sangat bergantung pada pengairan yang optimal yaitu
dalam kondisi yang cukup dan dapat diakses sesuai kebutuhan. Dimana pada saat
tertentu sawah perlu dilakukan pengairan dan pada saat tertentu pengairan perlu
dihentikan sementara. Irigasi yang ideal adalah dari aliran sumber mata air /
sungai yang hanya perlu dilakukan pengaturan untuk aliran air tersebut dapat
masuk ke lahan pertanian. Dalam kondisi tertentu, tidak jarang lahan pertanian
yang tidak memiliki irigasi, sehingga harus membuat sumur air tanah dan perlu
menyediakan pompa serta jaringan air tersendiri menggunakan selang. Kondisi
lahan yang tidak memiliki irigasi tentunya akan memiliki nilai yang lebih
rendah dibanding lahan yang memiliki irigasi yang ideal sejalan dengan pertimbangan
biaya untuk penyediaan air tersebut.
3. Keamanan dari banjir
Walaupun
tanaman memerlukan pengairan, tetapi apabila jumlahnya terlalu banyak dan menyebabkan
banjir juga akan berpengaruh pada nilai lahan pertanian tersebut. Beberapa
tanaman seperti padi misalnya, apabila tergenang air terlalu tinggi akan
membutuhkan waktu recovery untuk kembali tumbuh normal, dan tentu
kondisi ini akan menyebabkan waktu panen tertunda dan pada akhirnya akan
berpengaruh pada kapasitas panen dari lahan tersebut.
Ketiga kondisi tersebut merupakan karakteristik khusus pertanian yang dapat dipertimbangkan dalam melakukan penilaian dengan objek lahan pertanian. Walaupun demikian, faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang kami dapati pada saat survei lapangan untuk lahan pertanian di wilayah kerja KPKNL Cirebon. Sangat mungkin terdapat faktor-faktor lain yang belum dapat kami identifikasi dan konfirmasi tetapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai properti tersebut. Kondisi tersebut juga tentunya dapat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Tulisan ini kami harapkan dapat memulai diskusi ke depannya khususnya untuk penilaian lahan pertanian. (Penulis: Catur Yuliana Sukma Nugraha - Fungsional Penilai Pemerintah)