A. Pendahuluan
Pada tanggal 6 Januari 2020 yang lalu, Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi mengucapkan sebuah Putusan Perkara pengujian Peraturan Perundangan-undangan,
yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Putusan ini “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian” dan selanjutnya
menyatakan bahwa beberapa frasa beserta penjelasannya yang terdapat pada Pasal
15 ayat (2) beserta penjelasannya dan ayat (3) UU Fidusia bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagaimana tafsir yang diberikan oleh
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Putusan terkait.
Frasa-frasa yang dimaksud yaitu, pertama, frasa “kekuatan eksekutorial”
dan “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” (beserta
penjelasannya) yang terdapat pada Pasal 15 ayat (2) dan kedua, yaitu
frasa “cidera janji” yang terdapat pada Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia.
Untuk
memudahkan dalam membaca ketentuan Pasal 15 ayat (2) beserta penjelasannya dan
ayat (3), baik sebelum maupun sesudah dibacakannya Putusan MK a quo,
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
UU Fidusia |
Putusan MK 18/2019 |
Pasal 15 ayat (2) |
|
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia sepanjang frasa “kekuatan
eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada
kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan
menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala
mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan
Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” |
Pasal 15 ayat (3) |
|
Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak
untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya
sendiri. |
Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh
kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau
atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji” |
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) |
|
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial"
adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat
final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. |
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia sepanjang frasa
“kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia
yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan
menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala
mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan
Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” |
Lahirnya Putusan MK a quo tentu memberi dampak kepada
berbagai pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari sekian banyak pihak yang berkepentingan tersebut, dapatlah disebut salah
satunya yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara c.q. Direktorat Lelang,
atau dalam tataran praktisnya adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL) yang melaksanakan proses bisnis Lelang dalam kesehariannya.
Pernyataan demikian tentu tidak berlebihan, karena Pasal 29 UU Fidusia juga
mengatur bahwa apabila debitur cidera janji, eksekusi terhadap Objek Jaminan Fidusia
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. pelaksanaan
titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima
Fidusia;
b. penjualan
benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan;
c. penjualan di
bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima
Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.
Merujuk
ketentuan tersebut, sebagaimana ternyata dalam huruf “b”, maka eksekusi
terhadap barang jaminan fidusia adalah melalui cara lelang. Hal ini juga
dipertegas dengan adanya ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 27/2016) yang
mengkategorikan Lelang Eksekusi Jaminan Fidusia sebagai salah satu dari jenis
Lelang Eksekusi, dan sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan jenis Lelang
Eksekusi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I yang notabene hanya
terdapat pada KPKNL.
Berdasar gambaran dalam bagian Pendahuluan ini, maka dapatlah dipahami bahwa Putusan MK No. 18/2019 sedikit atau banyak akan berimplikasi pada proses bisnis Lelang yang dilakukan oleh KPKNL. Hal ini mengingat bahwa Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Fidusia, menurut Putusan MK No. 18/2019, adalah norma yang bersifat fundamental. Sebab, dari norma yang termuat dalam pasal tersebutlah terbit kekuatan eksekusi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemegang Jaminan Fidusia (kreditur) yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun implementasi.yang mengatur mengenai eksekusi barang jaminan fidusia. Sedangkan salah satu cara eksekusi barang jaminan fidusia adalah melalui lelang yang pelaksanaannya hanya dapat dilakukan oleh KPKNL. Sehingga, dapatlah dipahami relevansi berkaitan dengan Putusan MK a quo dan implikasi yang (mungkin) ditimbulkannya bagi proses bisnis lelang yang dilaksanakan oleh KPKNL.
B. Pembahasan
1. Implikasi
Putusan MK No. 18/2019 terhadap Proses Bisnis Lelang
Putusan MK
No. 18/2019, apabila dicermati, sejatinya lebih banyak berkaitan pada
proses-proses eksekusi yang secara kronologis dapat ditempatkan pada periode
sebelum lelang atau pra-lelang. Hal ini tergambar dari latar belakang
diajukannya permohonan pengujian UU Fidusia oleh para Pemohon kepada Mahkamah
Konstitusi. Amar putusan yang diputus oleh Majelis Hakim MK-pun memberi
penafsiran terhadap proses eksekusi barang jaminan fidusia antara kreditur dan
debitur, yang proses-proses tersebut tentunya terjadi pada kurun waktu sebelum
kreditur mengajukan permohonan penjualan secara lelang kepada KPKNL.
Meskipun
dipahami bahwa Putusan MK lebih berimplikasi pada peristiwa-peristiwa sebelum
diajukannya lelang kepada KPKNL, namun kenyataannya peristiwa-peristiwa yang
terjadi sebelum pelaksanaan lelang tersebut kerap menjadi dasar diajukannya
gugatan terhadap pelaksanaan lelang oleh para debitur. Sehingga apabila tidak
dicermati secara seksama, maka dapat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian
hari, seperti kekalahan KPKNL dalam proses persidangan.
Dalam PMK
No. 27/2016 pelaksanaan lelang dapat dikategorisasi ke dalam tiga tahapan
besar, yaitu Persiapan Lelang, Pelaksanaan Lelang, dan Pasca Lelang. Periode
Persiapan Lelang, sebagai tahapan yang paling terdampak akibat Putusan MK a
quo, dapat dipahami sebagai tahapan kegiatan atau kondisi yang dilakukan
atau dipenuhi sebelum dilaksanakannya lelang, yaitu di antaranya adalah
Permohonan Lelang, Penjual, Tempat Pelaksanaan Lelang, Penetapan Waktu
Pelaksanaan Lelang, Surat Keterangan Tanah/Surat Keterangan Pendaftaran Tanah
(SKT/SKPT), Pembatalan Sebelum Lelang, Jaminan Penawaran Lelang, Nilai Limit,
dan Pengumuman Lelang. Tujuan utama dari tahapan Persiapan Lelang adalah
tercapainya kondisi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang, yaitu suatu
kondisi dimana dokumen persyaratan lelang telah dipenuhi oleh Penjual sesuai
jenis lelangnya dan tidak ada perbedaan data, menunjukkan hubungan hukum antara
Penjual (subjek lelang) dengan barang yang akan dilelang (objek lelang),
sehingga meyakinkan Pejabat Lelang bahwa subjek lelang berhak melelang objek
lelang, dan objek lelang dapat dilelang.
Setelah
terbitnya Putusan MK a quo, KPKNL perlu melakukan penelaahan terhadap
setiap permohonan lelang terhadap barang jaminan fidusia, apakah telah terpenuhi
kondisi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang. Guna terpenuhinya kondisi
tersebut, Direktorat Lelang DJKN kiranya perlu menegaskan atau menambahkan
persyaratan dokumen pengajuan lelang. Dalam Putusan MK a quo disebutkan
bahwa penentuan cidera janji (wanprestasi) tidak ditentukan sepihak oleh
kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau
atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji, sehingga
dalam permohonan lelang jaminan fidusia yang disampaikan kepada KPKNL,
verifikator pada KPKNL perlu memastikan adanya dokumen kesepakatan antara
kreditur dengan debitur tentang telah terjadinya wanprestasi atau putusan
pengadilan yang menyatakan telah terjadinya wanprestasi.
Selanjutnya,
Putusan MK a quo menginterpretasikan bahwa terhadap jaminan fidusia yang
tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan
menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala
mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan
Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap kondisi yang demikian,
petugas verifikator dokumen permohonan lelang pada KPKNL perlu memastikan bahwa
terdapat adanya penetapan eksekusi yang dikeluarkan oleh pengadilan yang
berwenang.
Berdasar
uraian di atas maka sejatinya implikasi yang ditimbulkan oleh adanya Putusan MK
No. 18/2019 terhadap proses bisnis lelang pada KPKNL adalah berkaitan dalam
proses sebelum lelang dilaksanakan. Hal ini perlu diperhatikan secara serius
agar di kemudian hari tidak menimbulkan permasalahan hukum lainnya.
2. Potensi
Ekstensifikasi Pemahaman
Putusan MK
a quo tentu menimbulkan pro-kontra, terutama pada pemahaman mengenai
kekuatan titel eksekutorial yang selama ini dipahami. Putusan MK a quo
menjadikan titel eksekutorial tidak serta merta berkekuatan sebagaimana putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam kondisi
tertentu sebagaimana ditegaskan dalam Amar Putusan. Selanjutnya perlu juga
dipikirkan bahwa Putusan MK a quo juga dapat memunculkan pemahaman yang
serupa terhadap lembaga-lembaga hukum jaminan lainnya, seperti Hak Tanggungan
maupun gadai. Karakteristik antara Fidusia dengan Hak Tanggungan yang sama-sama
merupakan lembaga hukum jaminan dapat dikatakan serupa, hanya berbeda dari segi
objek benda jaminannya. Karakteristik keduanyapun serupa dalam hal eksekusinya,
yaitu didasarkan pada titel eksekutorial yang dilambangkan pada irah-irah “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Pertanyaan yang kemudian timbul
adalah mungkinkah logika interpretasi dalam Putusan MK No. 18/2019 digunakan
untuk melakukan pengujian terhadap UU Hak Tanggungan, sepanjang ketentuan
eksekusinya? Tentu kita tidak dapat menjawab secara pasti, karena hak untuk
melakukan permohonan diberikan kepada setiap warga negara yang merasa mengalami
kerugian secara konstitusional dengan berlakunya undang-undang tertentu, dalam
hal ini UU Hak Tanggungan.
Satu hal yang pasti, jika pemahaman serupa
digunakan untuk melakukan pengujian terhadap UU Hak Tanggungan, tentu akan
berimplikasi juga terhadap proses bisnis lelang, karena lelang terhadap objek
jaminan Hak Tanggungan adalah dikategorikan sebagai Lelang Eksekusi,
sebagaimana Lelang Eksekusi jaminan fidusia. Pasal 6 UU Hak Tanggungan yang
menjadi dasar dilakukannya eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan, secara
redaksional, juga mensyaratkan adanya cidera janji sebagai syarat dimohonkannya
lelang kepada KPKNL. Berdasar bunyi ketentuan tersebut, maka apakah penentuan
cidera janji dalam kasus Hak Tanggungan akan ditentukan sebagaimana penentuan
cidera janji dalam konteks Fidusia. Lebih jauh, kadar kekuatan titel
eksekutorial yang tercantum dalam sertipikat Hak Tanggungan yang selama ini
menjadi dasar pelelangan objek Hak Tanggungan juga menjadi diragukan.
Kekhawatiran
terhadap meluasnya dampak ini perlu dipikirkan secara lebih serius oleh DJKN c.q.
Direktorat Lelang, karena Lelang Eksekusi terhadap objek barang jaminan baik
Fidusia maupun Hak Tanggungan adalah menjadi kewenangannya. Kekhawatiran ini pun
sebenarnya telah muncul dalam persidangan yang kemudian melahirkan Putusan MK
No. 18/2019, di antaranya disampaikan oleh salah satu Ahli dari pihak
Pemerintah. Potensi-potensi demikian perlu dipikirkan juga sebagai wujud
mitigasi risiko yang mungkin akan berdampak pada organisasi.
3. Ius
Constituendum Pelelangan: Menjawab Pertanyaan yang Tertinggal
Lahirnya
Putusan MK a quo juga perlu dilihat sebagai momentum untuk melakukan
perbaikan tertib perundang-undangan yang berkaitan dengan pelelangan, terlebih
hingga saat ini DJKN masih menyempurnakan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pelelangan. Selain itu, lahirnya Putusan MK juga meninggalkan beberapa
pertanyaan atau permasalahan hukum dalam bidang pelelangan yang seharusnya
dapat dijawab oleh RUU Pelelangan sebagai Ius Constituendum.
Salah satu
permasalahan adalah menyangkut timbulnya kerancuan dalam hal permohonan lelang
dengan objek berupa barang jaminan fidusia. Peraturan yang saat ini berlaku
membedakan antara Lelang Eksekusi jaminan Fidusia dengan Lelang Eksekusi Pengadilan.
Berdasarkan Putusan MK No. 18/2019, dapat dipahami bahwa dalam kondisi tertentu
titel eksekutorial tidaklah dapat dilaksanakan secara serta merta kecuali telah
dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan. Dalam kondisi eksekusi sebuah
barang jaminan fidusia harus didahului dengan adanya penetapan pengadilan, maka
timbul kerancuan, masuk dalam kategori manakah lelang tersebut, apakah Lelang
Eksekusi jaminan fidusia ataukah Lelang Eksekusi pengadilan.
Seperti
halnya pertanyaan di atas, tentu permasalahan yang ditimbulkan akibat lahirnya
Putusan MK No. 18/2019 yang memberi dampak langsung terhadap proses verifikasi
dokumen permohonan lelang pada KPKNL dan kemungkinan meluasnya pengujian
terhadap UU Hak Tanggungan perlu juga dijawab dalam RUU Pelelangan. Sehingga,
momentum lahirnya Putusan MK No. 18/2019 ini juga harus dimanfaatkan untuk
mewujudkan ius constituendum pelelangan yang lebih baik.
C.
Penutup
Lahirnya
Putusan MK No. 18/2019 yang memberi penafsiran baru terhadap beberapa frasa dan
penjelasannya dalam UU Fidusia tentu sedikit banyak memberikan implikasi
terhadap proses bisnis lelang yang menjadi kewenangan DJKN c.q. KPKNL.
Implikasi tersebut dapat berupa penyesuaian dalam tataran praktis maupun
normatif. Sehingga, DJKN perlu menelaah kembali segala implikasi yang telah dan
mungkin terjadi terhadap proses bisnis lelang dengan melakukan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan guna mewujudkan ius constituendum dalam bidang
pelelangan yang lebih baik.
Penulis dan foto : Aska
Cardima dan Hadyan Iman Prasetya, OJT 2019
KPKNL Bekasi