Oleh: Muhammad Fahmi
Yansyah, Muhammad Kurniawan Triatmojo, Rody
Panuturi Silalahi
Tanah Papua merupakan satu wilayah yang berpegang teguh pada aturan-aturan
adat sebagai acuan dan pandangan hidup Orang Asli Papua yang menjadi kesatuan
membentuk Masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah warga asli Papua
yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk
kepada hukum adat tertentu salah satunya meliputi aturan tanah ulayat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 43 ayat (3)
menyatakan bahwa hak menguasai dari
Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat Papua diakui oleh
pemerintah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dijelaskan bahwa Hak Ulayat
adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang
meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjelaskan bahwa
Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan hak ulayat yang dimiliki oleh
masyarakat adat Papua dalam melakukan pengembangan daerah Papua. Dijelaskan
dalam Pasal 64 ayat (1) UU
21/2001 bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib melindungi sumber daya alam, baik
hayati ataupun non hayati, dengan tetap memperhatikan hak ulayat milik
masyarakat adat Papua untuk kesejahteraan penduduk.
Selain hak kepemilikan atas tanah ulayat, pemegang hak
ulayat juga memiliki kewajiban atas tanah ulayat, salah satunya adalah melepaskan tanah apabila diperlukan oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan pemberian ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah
Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, bahwa pemegang hak ulayat
masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas
tanah berkewajiban melepaskan tanah apabila diperlukan Pemerintah/Pemerintah
Daerah untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian atas faktor fisik
dan ganti kerugian atas faktor non fisik
berdasarkan hasil musyawarah dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Dewasa ini, telah banyak terjadi sengketa yang
berkaitan dengan hak ulayat baik antara beberapa suku yang berbatasan atas
suatu bidang tanah, ataupun atas penyerahan tanah ulayat kepada Pemerintah
Daerah. Pelepasan hak atas tanah ulayat berpotensi menimbulkan sengketa di
kemudian hari. Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, sering terjadi sengketa
mengenai tanah-tanah adat termasuk tanah ulayat, adapun penyebab timbulnya
sengketa tanah Ulayat salah satu di antaranya karena ganti rugi yang dianggap
tidak sepadan dengan nilai tanah ulayat yang sebenarnya. Sebagai contoh
sengketa tanah ulayat di Kawasan Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura dan sengketa
Jalan Strategis Nasional Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua (Jalan P4B). Salah
satu bagian dari Jalan P4B adalah jalan Trans
Papua Ruas Sorong–Manokwari dari kali Ayae hingga kali Sisu sepanjang 22 km dan lebar 16 m2 yang telah sampai
pada putusan kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dari kasus di atas terbukti bahwa dalam proses
pelepasan hak tanah ulayat masyarakat adat di Papua berpotensi terjadi sengketa
atas nilai ganti rugi. Sengketa ini terjadi karena masing-masing pihak tidak
menyepakati nilai ganti rugi. Sengketa nilai ganti rugi inilah yang mendesak
kebutuhan akan penilai dalam mengestimasi besaran nilai yang dianggap adil. Penilaian
adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek
penilaian pada saat tertentu. Opini yang diberikan mengacu pada data yang ada
di lapangan dan aturan yang mengikat seorang penilai.
Guna mengestimasi nilai ganti rugi pelepasan hak
ulayat atas tanah dengan tepat dan tidak menimbulkan konflik, maka diperlukan
pihak yang berkompeten dalam hal ini Penilai Pemerintah. Penilai Pemerintah
merupakan penilai yang independen dalam melaksanakan tugas penilaian. Selain
itu Penilai Pemerintah memiliki kemampuan teknis dan disiplin ilmu di bidang
penilaian. Penilai
Pemerintah sangat penting agar pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan
masyarakat hukum adat tidak mengalami kerugian. Dengan nilai ganti rugi yang
adil maka potensi konflik atas sengketa ganti rugi hak ulayat dapat
diminimalisir.
Untuk melakukan penilaian atas ganti rugi tanah
ulayat, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan Penilai
Pemerintah dalam rangka mengestimasi nilai wajar yang mencerminkan ganti rugi
dari pelepasan hak atas tanah ulayat dengan mengajukan permohonan penilaian.
Dalam pemberian ganti
rugi, sesuai ketentuan Pasal 13 Perda Nomor 23 Tahun 2008, terdapat dua faktor yang menjadi
dasar pemberian ganti rugi, yaitu faktor fisik
dan faktor nonfisik. Faktor fisik meliputi kehilangan tanah, dimana orang adat
yang sebelumnya bisa memanfaatkan tanah dan memiliki akses ke hutan atau sumber
daya lainnya, sekarang tidak bisa; kehilangan bangunan, dimana segala bangungan
yang telah didirikan di atasnya bukan menjadi miliknya lagi; kehilangan pusat
kehidupan dan pusat budaya masyarakat, seperti tempat ibadah, tempat rekreasi,
dan tempat pemakaman. Adapun bentuk ganti rugi atas faktor fisik dapat berupa
uang dan atau tanah pengganti, permukiman kembali, dana abadi,
penyertaan saham (apabila tanah digunakan untuk suatu proyek tertentu yang
menghasilkan profit berkepanjangan), atau bentuk lain yang disepakati
bersama. Sedangkan faktor
nonfisik meliputi kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan karena
ketergantungan pada tanah beserta segala isinya, seperti pembukaan sawah,
ladang, toko, atau tempat yang digunakan untuk usaha. Bentuk ganti rugi atas
faktor nonfisik yang diberikan dapat berupa penyediaan usaha pengganti,
penyediaan lapangan kerja, bantuan kredit, atau bentuk lain yang disepakati
bersama.
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan:
1.
Peran Penilai Pemerintah dalam penentuan nilai ganti
rugi atas tanah hak ulayat masyarakat adat Papua sangat penting guna
mengestimasi nilai ganti rugi pelepasan hak ulayat atas tanah dengan tepat dan
tidak menimbulkan konflik.
2.
Faktor yang menentukan nilai ganti rugi dari pelepasan
tanah antara lain faktor fisik meliputi kehilangan tanah, kehilangan bangunan,
kehilangan pusat kehidupan dan pusat budaya masyarakat. Sedangkan faktor non fisik meliputi kehilangan
pendapatan dan sumber penghidupan.
Artikel merupakan ringkasan atas jurnal berjudul “Urgensi Penilai
Pemerintah Dalam Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat Di Papua” yang dipulikasikan
Jurnal Ilmu Sosial, Manajemen, dan Akuntansi (JISMA) ISSN:2830-2605 (Online),
Vol.1 No.5, Desember 2022.
Link Jurnal: https://melatijournal.com/index.php/jisma/article/view/252