Penulis: Hanik Zumrudah, Kepala Seksi Piutang Negara I
Tepat
pada tanggal 13 September 2022 yang lalu, Menteri Keuangan telah menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.6/2002 tentang Penghapusan Piutang
Daerah Yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya Kepada Panitia Urusan Piutang
Negara, yang selanjutnya dalam artikel ini akan disebut sebagai PMK Piutang
Daerah. Peraturan ini diterbitkan sebagai bentuk perhatian kepada Pemerintah
Daerah untuk dapat lebih bertanggungjawab dalam penyelesaian kasus piutang
daerah, serta
untuk mewujudkan tata kelola keuangan daerah yang lebih baik. Dalam proses
bisnis pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah
secara tidak sengaja terdapat tindakan yang menimbulkan hak
Pemerintah Daerah dalam bentuk
piutang daerah. Sebagai contoh adalah piutang atas tagihan
penjualan aset milik daerah, piutang atas Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan Tuntutan
Perbendaharaan (TP).
PMK
Piutang Daerah sekaligus juga memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan
terkait dengan pengelolaan piutang daerah.
Pertanyaan pertama yang sering timbul adalah langkah apa yang harus
dilakukan Pemerintah Daerah dalam menangani piutang daerahnya? Dalam ketentuan
Pasal 3 PMK 137 diatur bahwa Pemerintah Daerah dapat mengurus sendiri
penyelesaian piutangnya apabila :
- Piutang Daerah dengan jumlah sisa
kewajiban paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per Penanggung Utang
atau setara dan tidak ada Barang Jaminan yang diserahkan atau Barang Jaminan
tidak mempunyai nilai ekonomis;
- Piutang Daerah yang tidak memenuhi
syarat untuk diserahkan pengurusannya kepada PUPN, yaitu piutang daerah yang
adanya dan besarnya tidak pasti secara hukum.
Seperti apa
jenis piutang tersebut ? Apabila terdapat piutang dengan klasifikasi antara
lain :
1. Piutang Daerah yang tidak didukung
dokumen sumber yang memadai sehingga tidak dapat dibuktikan siapa subjek hukum
yang harus bertanggung jawab terhadap penyelesaiannya;
2. Piutang Daerah yang tidak dapat
dipastikan jumlah/besarannya karena tidak ada atau tidak jelas dokumen sumber
atau bukti-bukti pendukungnya;
3. Piutang Daerah yang masih menjadi objek
sengketa di lembaga peradilan;
4. Piutang Daerah yang telah diserahkan ke
PUPN namun dikembalikan atau ditolak oleh PUPN berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Terhadap jenis
piutang dengan kategori diatas maka Pemerintah Daerah wajib mengelola
piutangnya sendiri.
Pada
prinsipnya Piutang Daerah dengan
kategori macet harus dilakukan upaya penagihan terlebih dahulu oleh Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Upaya penagihan dilakukan dengan penagihan
secara tertulis dengan surat tagihan
atau penagihan dengan kegiatan optimalisasi. Yang dimaksud kegiatan
optimalisasi dapat meliputi antara lain
:
1.
Kerjasama
penagihan dengan pihak ketiga antara lain:
a.
Kejaksaan;
b.
Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sesuai wilayah kerja; dan/
atau
c.
pihak
ketiga lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.
Pelaksanaan
parate eksekusi jaminan kebendaan;
3.
Crash
program penyelesaian Piutang Daerah;
4.
Gugatan
melalui lembaga peradilan;
5.
Penghentian
layanan kepada Penanggung Utang;
6.
Konversi
piutang menjadi penyertaan modal daerah;
7.
Penjualan
hak tagih/piutang; dan/atau
8.
Penyerahan
aset untuk pembayaran utang (debt to asset swap).
Selain
penagihan dengan upaya optimalisasi tersebut diatas PPKD dapat melakukan upaya
optimalisasi lain sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Kegiatan
optimalisasi dilakukan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Upaya penagihan adalah
langkah debt recovery untuk mengurangi
jumlah piutang secara nominal. Baik piutang yang terdapat pada Pemerintah
Daerah, Bendahara Umum Daerah dan Badan Layanan Umum Daerah.
Namun
adakalanya upaya penyelesaian/penagihan sudah dilakukan secara optimal tetapi
tidak membuahkan hasil. Hal ini disebabkan antara lain penanggung hutang tidak diketahui keberadaannya, telah meninggal dunia, atau tidak mampu.
Dalam kasus seperti ini PPKD diberikan kewenangan untuk menerbitkan Pernyataan Piutang Daerah Telah Optimal
(PPDTO). Yaitu surat yang ditetapkan oleh PPKD sebagai bukti bahwa Piutang
Daerah dengan kualifikasi macet telah dikelola secara optimal namun masih
terdapat sisa kewajiban karena Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan utang, tidak ada barang jaminan atau sebab lain yang sah.
Penerbitan
PPDTO adalah langkah administratif yang dilakukan sebagai syarat untuk
pengajuan penghapusan piutang daerah baik penghapusan bersyarat maupun mutlak.
PPKD bertanggungjawab penuh terhadap penerbitan PPDTO. Terdapat sejumlah syarat
untuk diterbitkan PPDTO antara lain :
a.
telah
disampaikan surat penagihan sesuai ketentuan;
b.
kualitas
piutang telah macet;
c.
usia
pencatatan piutang sudah lebih dari 5 (lima) tahun dan tidak terdapat angsuran
atau terdapat angsuran namun kurang dari 10% (sepuluh persen) dari kewajiban
yang harus dibayar; dan
d.
Penanggung
Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang yang dibuktikan
dengan salah satu atau lebih dokumen berupa:
1)
kartu
keluarga miskin;
2)
putusan
pailit;
3)
surat
keterangan dari kelurahan/kantor kepala desa/kantor kepala lingkungan/kantor
instansi yang berwenang/ Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang menyatakan
Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang atau tidak
diketahui tempat tinggalnya;
4)
bukti
penerimaan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin, bukti penerima manfaat
bantuan sosial berupa Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai
(BST), Program Keluarga Harapan (PKH) atau program lain yang sejenis; dan/atau
5)
bukti
kunjungan penagihan oleh petugas di lingkungan instansi Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah dalam bentuk surat kunjungan atau berita acara atau bukti lain
yang menyimpulkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan utang atau tidak diketahui lagi tempat tinggalnya.
Syarat
tersebut diperuntukkan untuk Piutang Daerah dengan jumlah sisa kewajiban paling
banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per Penanggung Utang atau setara
dan tidak ada barang jaminan yang diserahkan atau barang jaminan tidak
mempunyai nilai ekonomi. Syarat tersebut
juga berlaku untuk Piutang Daerah yang adanya dan besarnya tidak pasti secara
hukum sehingga tidak dapat Diserahkan ke PUPN
dengan jumlah sisa kewajiban paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta
rupiah) per Penanggung Utang atau setara
Sedangkan
Piutang Daerah yang adanya dan besarnya tidak pasti secara hukum sehingga tidak
dapat diserahkan ke PUPN dengan jumlah sisa kewajiban diatas Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per
Penanggung Utang atau setara, dapat diterbitkan PPDTO dengan syarat yang sama
sebagaimana diatas, kecuali syarat usia pencatatan piutang diatur sebagai
berikut :
a.
jumlah
sisa kewajiban Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Penanggung Utang atau setara,
disyaratkan usia pencatatan piutang lebih dari 7 (tujuh) tahun dan tidak
terdapat angsuran atau terdapat angsuran namun kurang dari 10% (sepuluh persen)
dari kewajiban yang harus dibayar;
b.
jumlah
sisa kewajiban lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan jumlah Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau setar, disyaratkan
usia pencatatan piutang sudah lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan tidak terdapat
angsuran atau terdapat angsuran kurang dari 10% ( sepuluh persen) dari
kewajiban yang harus dibayar;
c.
jumlah
sisa kewajiban lebih dari Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per
Penanggung Utang atau setara, disyaratkan usia pencatatan piutang sudah lebih
dari 10 (sepuluh) tahun dan tidak terdapat angsuran atau terdapat angsuran
kurang dari 10% ( sepuluh persen) dari kewajiban yang harus dibayar dan telah
dilakukan kerjasama penagihan dengan melibatkan pihak ketiga (Kejaksaan, Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara; dan/atau pihak ketiga lainnya
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan) sesuai wilayah kerja;
Dengan
terbitnya PPTDO maka langkah administratif berupa penghapusan piutang daerah
dapat diajukan untuk menyajikan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang lebih
akuntabel, Apabila Pemerintah Daerah mempunyai tekad untuk semakin tertib dalam
pengelolaan piutang daerah, maka akan semakin meningkatkan perbaikan kualitas
piutang daerah pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Lalu
bagaimana dengan Piutang Daerah dengan jumlah sisa kewajiban diatas
Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per Penanggung Utang atau setara serta
adanya dan besarnya sudah pasti secara hukum ?
Dengan
berprinsip efisiensi dan efektivitas,
piutang dengan kategori tersebut agar diserahkan pengurusan piutangnya
kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Hal ini telah diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN),
bahwa pada prinsipnya Piutang Negara/Daerah diselesaikan terlebih dahulu oleh
instansi Pemerintah Pusat/Daerah. Namun apabila upaya penyelesaiant idak
dimungkinkan lagi dan Penanggung Hutang tetap tidak melakukan pelunasan maka
pengurusan piutang tersebut diserahkan kepada PUPN.
PUPN sendiri adalah panitia interdepartemental
yang mengurus piutang negara yang berasal dari pemerintah atau badan-badan yang
dikuasai oleh negara. Anggota PUPN saat ini berasal dari kementerian keuangan,
kepolisian, kejaksaan dan Pemerintah Daerah. PUPN sendiri dibekali dengan
kewenangan parate eksekusi yang sama halnya dengan kekuatan eksekusi
Pengadilan. Bentuk kelembagaan yang bersifat interdepartemental memberikan
citra khusus dengan adanya aparat penegak hukum di dalamnya, maka dapat
memberikan efek psikologis yang signifikan bagi Penanggung Utang.