Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Papua, Papua Barat, dan Maluku > Artikel
Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah dengan Mekanisme Crash Program
Dimas Aditya Saputra
Rabu, 29 Juni 2022   |   186 kali

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

 

Sesuai dengan PMK No.69/PMK.06/2014 terkait dengan Penentuan Kualitas     Piutang     dan     Penyisihan     Piutang     Tak     Tertagih     pada Kementerian/Lembaga/Bendahara Umum Negara disebutkan, “Piutang  adalah  jumlah  uang  yang  wajib  dibayar  kepada  Kementerian Negara/Lembaga atau Bendahara Umum Negara dan/atau hak Kementerian Negara/Lembaga atau Bendahara Umum Negara yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

 

Dalam lingkup penyelesaian Piutang Negara yang berasal dari penyerahan instansi pemerintah yang diurus/dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan mekanisme Crash Program maka pemerintah telah membuat kebijakan dengan membuat peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia.

 

Peraturan ini dibuat dengan tujuan untuk mempercepat penurunan outstanding BKPN (Berkas Kasus Piutang Negara) pada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) disamping sebagai perwujudan bentuk simpati pemerintah akibat adanya pandemi covid-19. 

 

Peraturan  Menteri  Keuangan  yang  akan  dibahas  adalah  Peraturan  Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.06/2021 dan PMK Nomor 11/PMK.06/2022 yang masing-masing memiliki kesamaan bahasan namun juga memiliki perbedaan yang mendasar.

 

Adanya  perbedaan  tersebut  merupakan  penyempurnaan  dari  kendala  dan  masalah yang  muncul  pada  saat pelaksanaan  Crash  Program  pada  tahun  2021 ,  diantaranya adalah:

a)      Persyaratan administrasi pendukung berupa Surat Keterangan dari Kelurahan atau Desa yang sulit didapatkan;

b)      Kualitas Berkas Kasus Piutang Negara yang buruk dimana data-data pendukung  seperti  alamat  Penanggung  Hutang  yang  tidak  jelas,  tidak  adanya barang jaminan, atau nilai outstanding yang kecil;

c)       Terbatasnya anggaran pada masing-masing KPKNL untuk dapat menjalankan program tersebut;

d)      Banyak surat pemberitahuan yang dikirim ke alamat Penanggung Hutang namun tidak sampai.

e)      Penanggung Hutang merupakan warga negara asing.

 

Berikut merupakan perbedaan PMK Nomor 15/PMK.06/2021 dengan PMK Nomor 11/PMK.06/2022 Tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah Yang Diurus/Dikelola Oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Dengan Mekanisme Crash Program :

1.        Dalam   PMK   Nomor   11   /PMK.06/2022   terdapat   penyederhanaan   dari   PMK sebelumnya (Nomor 15/PMK.06/2021)  dimana pada BAB I ketentuan umum pasal 2 ayat (3) mengenai Crash Program berupa pemberian keringanan hutang, terdapat substansi dihapus, seperti :

a)      Piutang Negara yang berasal dari tuntutan ganti rugi/tuntutan perbendaharaan (TGR/TP), kecuali Penanggung Utang telah pensiun atau merupakan Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat/ golongan (Penata Muda/III/ a) ke bawah;

b)      Piutang Negara yang berasal dari ikatan dinas.

 

2.       Dalam PMK Nomor 11 /PMK.06/2022 yang dibandingkan dengan PMK sebelumnya (Nomor 15/PMK.06/2021)   terdapat bagian yang dihilangkan pada pasal 7 ayat (2) mengenai Permohonan tertulis diajukan oleh Penanggung Utang dengan menyebutkan jenis Crash Program yang akan diikuti, meliputi:

a)      Permohonan keringanan utang; atau

b)      Permohonan Moratorium Tindakan Hukum atas Piutang Negara.

3.       Dalam PMK Nomor 11 /PMK.06/2022 yang dibanding dengan PMK sebelumnya (Nomor 15/PMK.06/2021)  terdapat penambahan pada pasal 8 ayat (5) yakni : Dalam hal  surat  keterangan  dari  pejabat  yang  berwenang  pada  kantor  kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan/dinas pemerintah daerah atau instansi lainnya yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) huruf a tidak dapat diperoleh, maka dapat digantikan dengan surat pernyataan dari Penanggung Utang/Penjamin Utang/Ahli waris yang dikuatkan/diketahui/dibenarkan oleh pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan/dinas pemerintah daerah atau instansi yang berwenang tersebut.

 

4.       Dalam  PMK  Nomor  11  /PMK.06/2022  yang  dibandingkan  dengan  PMK  RI sebelumnya (Nomor 15/PMK.06/2021)  juga terdapat perbedaan yang mendasar pada pasal 9 dan 10 yang berarti adanya penambahan ayat baru yang membahas tentang instansi/pejabat yang berwenang dalam memberikan Surat Keterangan sebagai dokumen pendukung yang melibatkan instansi/pejabat perwakilan negara asing atau penanggung hutang yang berbadan hukum publik, badan hukum milik negara atau unit instansi/lembaga pada pemerintah pusat/daerah.


5.       Dalam PMK Nomor 11 /PMK.06/2022 yang dibanding dengan PMK sebelumnya (Nomor 15/PMK.06/2021)   terdapat tambahan pada pasal 12 ayat (2) mengenai pengecualian besaran keringanan kepada :

a)      Piutang rumah sakit/fasilitas kesehatan tingkat pertama;

b)      Piutang biaya perkuliahan/sekolah; atau

c)       Piutang  dengan  sisa  kewajiban  paling  banyak  Rp8.000.000,00  (delapan  juta rupiah), yang tidak didukung dengan barang jaminan berupa tanah atau tanah dan bangunan, diberikan keringanan utang lebih besar yaitu sebesar 80 persen dari sisa kewajiban.

 

6.       Pada PMK Nomor 15/PMK.06/2021 terdapat pasal mengenai Monotarium Tindakan Hukum   atas   Piutang   Negara   dimana   pada   PMK   terbaru   (PMK   Nomor   11/PMK.06/2022) ketentuan tersebut sudah tidak ada. Pada PMK terbaru penanggung hutang yang dapat mengajukan keringanan hutang kepada PUPN tidak harus Penanggung  Hutang  yang  terkena  dampak  pandemi  Covid-19  dengan  dukungan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanggung hutang tersebut.

Selain itu bentuk Monotarium Tindakan hukum atas Piutang Negara yang diberikan berupa:

a)      Penundaan penyitaan barang jaminan/harta kekayaan lain;

b)      Penundaan pelaksanaan lelang dan/atau;

c)       Penundaan paksa badan.

Sudah tidak dicantumkan lagi dalam PMK Nomor 11 /PMK.06/2022.

 

Jika diulas lebih jauh maka kita akan menemukan kemajuan-kemajuan substansi yang dibuat dari Peraturan Menteri Keuangan terbaru dari tahun ke tahun dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan penyederhanaan pasal-pasal yang dirasa tidak cukup efektif atau dengan adanya penambahan pasal-pasal yang relevan dalam kejadian yang menyangkut Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah Yang Diurus/Dikelola Oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Dengan Mekanisme Crash Program.

Adapun penyederhanaan dan penambahan pasal-pasal tersebut dapat dirangkum menjadi:

a)      Syarat administrasi pendukung yang lebih mudah;

b)      Permohonan Crash Program bisa dilakukan oleh pihak ketiga (untuk Penanggung Hutang penyerahan dari rumah sakit, SPP Mahasiswa, dan Piutang yang nilainya kurang dari Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah); dan

c)       Adanya  tarif  Flat  berupa  keringanan  sebesar  80 persen  dari  sisa  kewajiban  khusus  untuk Penanggung Hutang penyerahan dari rumah sakit, SPP Mahasiswa, dan Piutang yang nilainya kurang dari Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

 

Diharapkan  dengan  adanya  PMK  terbaru  ini  penyelesaian  outstanding  Piutang Negara khususnya piutang negara yang berasal dari penyerahan instansi pemerintah dapat berjalan dengan optimal sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

 

 

Penulis   : Bidang PN Kanwil DJKN Papabaruku

Auditor   : Dimas Aditya Saputra

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini