Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN DKI Jakarta > Artikel
PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP PELAKSANAAN LELANG
Henny Purwanti
Senin, 20 Maret 2023   |   4848 kali

A.    Latar Belakang

Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 antara lain memuat ketentuan perpajakan pada Bagian Ketujuh Bab VI terkait kluster Kemudahan Berusaha. Ketentuan perpajakan ini berisi perubahan terhadap 4 (empat) Undang-undang salah satunya perubahan terhadap UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Beberapa perubahan dalam UU PPN yaitu mendefinisikan ulang pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, penambahan objek Barang Kena Pajak (BKP), dan pengaturan pengkreditan pajak masukan untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak.

Penyerahan BKP dalam Pasal 1A ayat (1) UU PPN diubah dengan Pasal 112 ayat (1)   Undang-undang Cipta Kerja yaitu dengan menghapus huruf g yang mengatur penyerahan BKP secara konsinyasi.  Sementara pengaturan terkait lelang yang ada pada huruf f tidak mengalami perubahan, yaitu penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau juru lelang.

Disamping didalam UU Cipta Kerja, perubahan terkait PPN juga terdapat pada UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen, diubah menjadi sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, dan sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

Lelang merupakan salah satu cara yang dipakai orang dalam melakukan jual-beli barang. Secara definisi, Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan  penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang.

Disamping mengemban fungsi Publik dan Privat, Lelang juga memiliki fungsi budgeter, yaitu mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak berupa bea lelang, dan penerimaan pajak berupa Pajak Penghasilan atas pengalihan tanah atau tanah dan bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas tanah dan/atau Bangunan.

Sebagai salah satu sistem jual-beli barang, lelang perlu dikelola sedemikian rupa agar menjadi pilihan masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli barang. Lelang harus lebih menarik dibandingkan dengan jual beli biasa melalui notaris maupun PPAT. Salah satu hal yang biasanya menjadi pertimbangan orang dalam melakukan jual beli adalah efisiensi dari segi biaya yang harus dikeluarkan. Jika transaksi pembelian tanah dilakukan melalui PPAT, pembeli harus membayar biaya jasa PPAT dengan besaran lazimnya  maksimum 1 persen, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen dari harga transaksi.

Di lain pihak, jika transaksi pembelian tanah dilakukan melalui lelang, maka pembeli harus membayar bea lelang dengan besaran tergantung jenis lelang yang maksimum 3 persen dan juga BPHTB. Fakta di lapangan atas lelang yang telah dilaksanakan, pembeli lelang akhir-akhir ini ada yang didatangi oleh petugas pajak yang melakukan penagihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang yang telah dibelinya melalui lelang. Bahkan beberapa Penjual dalam lelang tertentu telah membuat syarat lelang tambahan bahwa pembeli harus membayar PPN sebesar 10 persen. Hal ini menjadi kendala di lapangan mengingat belum ada kepastian untuk jenis lelang bagaimanakah yang dapat dikenakan PPN.


B.    Prinsip Pengenaan PPN Berdasarkan Ketentuan UU

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Undang-Undang (UU) yang mengatur PPN adalah UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Sesuai Pasal 1A ayat (1) huruf c UU Nomor 42 Tahun 2009, penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Sementara itu, dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b dan huruf e, dimuat bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang; Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.


            Dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, diatur bahwa Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali barang dagangan atau disewakan.

  1. Subjek PPN, dalam pasal 3A ayat (1), mengatur bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan Pajak Penjualan atas  Barang Mewah yang terutang. Dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a, diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan  atas penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Untuk mengetahui siapa yang dimaksud Pengusaha, dapat dilihat pada Pasal 1 angka 14, yang dimaksud Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak  berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Dalam Pasal 1 angka 15, memuat definisi Pengusaha Kena Pajak, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajakyang dikenai pajak berdasarkan undang undang ini.  Dalam buku yang ditulis oleh Wirawan B.Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak edisi 3, dimuat beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak sebagai subjek PPN yaitu: Pabrikan, Importir, Indentor, Agen utama atau Penyalur Utama, Pengusaha pemegang hak atau meggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak, Pedagang Besar, Eksportir, Pedagang Eceran Besar, Pemborong atau Kontraktor, Pengusaha jasa bidang telekomunikasi pengusaha jasa angkutan udara dalam negeri,  ....   Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
  2. Objek PPN, sesuai Pasal 4 UU Nomor 42 Tahun 2009, diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan antara lain atas: penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Definisi Barang dalam Pasal 1 angka 2 adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud. Sedangkan definisi Barang Kena Pajak sesuai Pasal 1 angka 3 UU Nomor 42 Tahun 2009, adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang.   Dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf a, antara lain memuat keterangan bahwa penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Barang  berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak; Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang kena Pajak Tidak Berwujud; Penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean; dan Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. 


C.  Pengenaan PPN Dikaitkan Dengan Lelang

1.     Lelang Eksekusi

Apabila dikaitkan dengan syarat suatu penyerahan barang kena pajak dikenakan PPN yaitu dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka lelang eksekusi tidak termasuk kedalam kategori ketentuan dimaksud. Dalam lelang eksekusi, penyerahan barang dilakukan oleh eksekutor atau pejabat yang ditunjuk dalam rangka memenuhi putusan pengadilan atau dokumen lain yang dipersamakan dengan itu.

Disamping itu lebih dari 70 (tujuh puluh) persen Lelang Eksekusi yang dilaksanakan oleh KPKNL adalah lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, yang dilakukan atas objek jaminan dalam rangka pelunasan utang. Dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b, dimuat bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang. Jika penyerahan barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang tidak dikenakan PPN, maka pelaksanaan lelang terhadap objek jaminan tersebut mestinya juga tidak dikenakan PPN, karena bukan dalam rangka kegiatan usaha.

2.     Lelang Noneksekusi Wajib

Apabila dikaitkan dengan syarat suatu penyerahan barang kena pajak dikenakan PPN yaitu dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka lelang Noneksekusi Wajib tidak termasuk kedalam kategori ketentuan dimaksud. Dalam lelang Noneksekusi Wajib, penyerahan barang dilakukan oleh Instansi pemerintah atau BUMN non persero dalam rangka penghapusan asetnya, atau dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang undangan yang mengharuskan dijual secara lelang.

Lelang Noneksekusi Wajib dilakukan atas barang inventaris yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, Lelang Noneksekusi Wajib tidak termasuk dalam Penyerahan Barang Kena Pajak. Namun demikian, lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama yang biasa dijual oleh Perhutani, kiranya dapat termasuk kategori penyerahan BKP yang dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

        3.     Lelang Noneksekusi Sukarela

Apabila dikaitkan dengan syarat suatu penyerahan barang kena pajak dikenakan PPN yaitu yang dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka untuk lelang Noneksekusi Sukarela perlu dilihat siapa yang bertindak selaku Penjual/Pemilik Barang. Jika Penjual/Pemilik Barang merupakan Pengusaha yang melakukan penyerahan barang melalui lelang dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka kiranya dapat dikenakan PPN.

Dalam praktek lelang non eksekusi sukarela, dimungkinkan terdapat penyerahan barang yang dilakukan pengusaha dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya, misalnya lelang barang- barang komoditi penyerahan dari pedagang, dan lelang kendaraan bermotor penyerahan dari perusahaan leasing, lelang properti penyerahan dari perusahaan pengembang/developer.


D.    Dampak Yang Dapat Terjadi Jika Lelang Dikenakan PPN

Lelang diharapkan dapat menjadi sarana jual-beli barang yang merupakan pilihan masyarakat. Harapan ini kiranya akan sulit diwujudkan apabila masyarakat tidak berminat membeli barang melalui lelang karena biaya yang harus dikeluarkan lebih besar dari membeli tanpa melalui lelang. Apabila lelang dikenakan PPN sebesar 11 persen, maka akan menyebabkan biaya yang dikeluarkan pembeli cukup tinggi, apalagi masih ditambah dengan membayar bea lelang sebesar 2 persen s.d 3 persen. Apabila masyarakat tidak lagi berminat membeli melalui lelang maka lelang menjadi tidak berkembang dan pada akhirnya akan berdampak pada penurunan penerimaan negara bukan pajak berupa bea lelang, dan penerimaan pajak berupa PPh atas pengalihan tanah atau tanah dan bangunan melalui lelang.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini