Pada
tahun 2020 yang lalu, Pemerintah telah mengundangkan sebuah peraturan, yaitu Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020 (PMK 163/2020). Peraturan a quo mengatur tentang Pengelolaan
Piutang Negara pada Kementerian/Lembaga (K/L), Bendahara Umum Negara (BUN) dan
Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Sesuai dengan
nomenklatur tersebut, maka secara garis besar PMK 163/2020 substansinya
mengatur tiga hal, yaitu (i) Pengelolaan Piutang Negara pada
Kementerian/Lembaga (K/L), (ii) Pengelolaan Piutang Negara pada Bendahara Umum
Negara (BUN), dan (iii) Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN).
Pengundangan
PMK 163/2020 diharapkan dapat memperbaiki tata kelola piutang, dari hulu ke
hilir, dengan memberikan lebih banyak kepercayaan kepada kementerian/lembaga
untuk mengelola piutangnya sampai tuntas[1]. PMK 163/2020 juga
dimaksudkan menjadi payung hukum dan legitimasi pada K/L untuk melakukan
penagihan piutang secara optimal[2]. Selanjutnya, PMK 163/2020
ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja PUPN dalam mengurus piutang
negara yang memiliki jumlah signifikan, dengan memaksimalkan berbagai upaya
dalam pendekatan eksekusi ataupun non-eksekusi yang menjadi tugas dan
kewenangan PUPN[3].
Pada
tulisan ini akan difokuskan pembahasan mengenai Pengurusan Sederhana terhadap
Piutang Negara yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang pada
pelaksanaannya berada pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Menurut ketentuan Pasal 77 PMK 163/2020, kriteria Piutang Negara yang dapat
diurus dengan mekanisme Pengurusan Sederhana adalah:
Eksistensi
Pengurusan Sederhana yang diatur dalam PMK 163/2020 ini jika disandingkan
dengan mekanisme pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara (PMK 240/2016)
maka akan didapati pembedaan lex
specialis dan lex generalis.
Pengurusan Sederhana merupakan lex
specialis terhadap pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam PMK 240/2016
sebagai lex generalis.
Secara
lengkap, mekanisme Pengurusan Sederhana diatur dalam Pasal 79 hingga Pasal 85
PMK 163/2020. Pengurusan Sederhana dimulai dengan pembuatan surat penagihan
yang kemudian dikirimkan kepada Penanggung Hutang. Selanjutnya, KPKNL melakukan
pembahasan pada tiap BKPN dan kemudian membuat tindak lanjut penyelesaiannya. Hasil
pembahasan dan tindak lanjut penyelesaian terhadap masing-masing BKPN tersebut
dituangkan dalam berita acara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 84 PMK 163/2020,
penuangan ke dalam berita acara tersebut hanya dapat dilakukan sampai dengan
tanggal 31 Desember 2021.
Merujuk
ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa eksistensi Pengurusan Sederhana
terhadap berkas-berkas Piutang Negara bersifat temporal, yaitu dibatasi hanya sampai
dengan 31 Desember 2021. Model pengaturan regulasi secara temporal ini tentu
masih belum jamak digunakan, terlebih lagi dalam pandangan yang banyak dipahami
bahwa peraturan perundang-undangan bersifat stabil, predictable, dan berlaku dalam waktu yang lama[4]. Berdasarkan realitas tersebut,
tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan rasionalitas dan manfaat dari eksistensi
Pengurusan Sederhana yang bersifat temporal tersebut.
PENGURUSAN SEDERHANA
SEBAGAI REGULASI TEMPORAL
Model
penuangan sifat temporal ke dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana
dapat dijumpai dalam pengaturan Pengurusan Sederhana dalam PMK 163/2020
sejatinya telah berkembang baik di dalam sistem peraturan perundangan-undangan
di Indonesia maupun secara internasional. Sistem peraturan perundang-undangan
Indonesia telah mengenal metode ini sebagaimana misalnya yaitu terdapat dalam
Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Pasal 37A UU KUP
ini mengatur adanya fasilitas penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa
bunga yang berlaku 1 tahun yaitu mulai 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2008[5]. Contoh lainnya dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU
Tax Amnesty). Ketentuan Pasal 10 ayat
(7) UU Tax Amnesty mengatur bahwa
keberlakuan pengampunan pajak dapat diajukan mulai UU Tax Amnesty berlaku hingga tanggal 31 Maret 2017.
Pada
ranah internasional, ketentuan yang mengindikasikan eksistensi peraturan yang
bersifat temporal juga dapat ditemukan hingga pada tingkat konstitusi suatu
negara. Sebagai contoh, peraturan temporal dikenal dan dibolehkan dalam sistem
hukum Perancis sebagaimana kebolehannya itu diatur dalam konstitusi Prancis.
Selengkapnya, Article 37-1 Konstitusi
Prancis mengatur,”Statutes and
regulations may contain provisions enacted on an experimental basis for limited
purposes and duration.”[6] Contoh lain yaitu terdapat
dalam Konstitusi Amerika Serikat tepatnya pada ketentuan Article 1 Section 1 clause 12. Ketentuan tersebut berbunyi,”
To
raise and support Armies, but no Appropriation of Money to that Use shall be
for a longer Term than two Years.”[7] Selanjutnya, selain kedua
negara tersebut, pengaturan temporal pada tingkat di bawah konstitusi juga
dikenal oleh negara-negara lainnya. Jacob E. Gersen menyatakan:
“Temporary
legislation has found extensive and ongoing use outside the United States as
well. For example, temporary legislation has been used to formulate duties on
oil in El Salvador, to draft education policy in Italy, to address agrarian
disorder in Britain, to expel ethnic groups from Turkey, and for economic
adjustment policy in Japan.”[8]
Pengaturan
yang bersifat temporal sering disebut sebagai temporary legislation yang menurut Gersen secara sederhana
diartikan sebagai statutes containing
clauses limiting the duration of their own validity[9].
Sedangkan, pendapat lain menyebutkan bahwa makna temporary legislation dalam arti luas mengandung dua konsep
lainnya, yaitu experimental legislation
dan sunset clause. Pendapat tersebut
menyatakan bahwa, meskipun konsep experimental
legislation dan sunset clause
memiliki kesamaan dalam hal karakternya yang temporal dan adanya evaluasi
terhadap peraturan tersebut, namun terdapat perbedaan mendasar diantara
keduanya. Perbedaan tersebut berkaitan dalam aspek “aspiration to permanence”, experimental
legislation diundangkan dengan maksud, apabila dengan pengundangan
peraturan tersebut didapati hasil yang diharapkan, maka peraturan yang
sebelumnya bersifat temporal akan dipermanenkan. Sedangkan sunset clause semenjak awal diundangkan adalah dengan maksud akan
diberlakukan hanya untuk waktu tertentu saja, tanpa ada maksud untuk
dipermanenkan[10].
Pertanyaan
yang mungkin timbul kemudian adalah, apakah pengertian dari temporary legislation kompatibel untuk
digunakan menganalisa Pengurusan Sederhana yang notabene diatur dalam bentuk
Peraturan Menteri Keuangan? Bukankah kata “legislation”
menandakan bahwa produk hukum tersebut merupakan produk legislasi yang
melibatkan badan legislatif? Bukankah Peraturan Menteri Keuangan adalah
peraturan perundang-undangan produk badan eksekutif yang tidak melibatkan
legislatif? Kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dapat dicermati
pendapat Shofia Ranchordas yang menyatakan bahwa,”experimental legislation refers to statutes or, in the majority of
cases, regulations enacted for a period of time determined beforehand, on a
small-scale basis, in derogation from existing law, and subject to a periodic
or final evaluation.”[11]
Pendapat tersebut memuat adanya perbedaan antara “statutes” yang merujuk pada produk hukum yang melibatkan lembaga
legislatif, dan “regulations” yang
merujuk pada produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif (secondary legislation)[12]. Bahkan jika mencermati
definisi tersebut maka didapati bahwa exeperimental
legislation lebih banyak dituangkan dalam bentuk peraturan yang dihasilkan
lembaga eksekutif daripada produk legislasi.
Dalam
konteks Pengurusan Sederhana yang diatur di dalam PMK 163/2020, dikaitkan
dengan pendapat yang menyatakan bahwa temporary
legislation dapat bermakna sunset
clause dan exeperimental legislation,
maka termasuk ke dalam makna yang mana Pengaturan Sederhana tersebut? Sejatinya
pertanyaan ini sulit untuk dijawab jika tidak diketahui maksud dari pembuat
peraturan pada saat mengundangkan PMK 136/2020. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, untuk mengkategorikan apakah suatu regulasi temporal itu bermakna sunset clause atau experimental lelgislation, maka aspek yang paling menentukan adalah
keberlanjutan dari regulasi tersebut. Dikarenakan penentuan maknanya sangat
bergantung pada pembuat peraturan, dalam tulisan ini regulasi Pengurusan
Sederhana di dalam PMK 163/2020 akan dipandang sebagai sebuah temporary legislation, sehingga
diasumsikan dapat memiliki makna sebagai sunset
clause, yang berarti akan berakhir pada 31 Desember 2021, ataupun sebagai exeperimental legislation, yang
memungkinkan berlakunya akan diperpanjang atau bahkan dipermanenkan.
Selain
itu, perlu juga dipahami bahwa sifat temporal yang diatur di dalam PMK 163/2020
bersifat sebagian atau disebut dengan sectional
temporary legislation. Sifat sectional
ini sebagai lawan dari peraturan temporal yang bersifat keseluruhan atau entire[13].
Ketentuan yang bersifat temporal di dalam PMK 163/2020 hanya berkaitan dengan
Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), sedangkan
ketentuan tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian/Lembaga (K/L) dan
Pengelolaan Piutang Negara pada Bendahara Umum Negara (BUN) tetap berlaku
meskipun setelah tanggal 31 Desember 2021.
RASIONALITAS DAN MANFAAT
Sebelum
membahas secara khusus Pengurusan Sederhana dikaitkan dengan sifatnya yang
temporal, dapat diketengahkan rasionalitas eksistensi Pengurusan Sederhana
secara umum terlepas dari sifatnya yang temporal. Dalam hal ini Pengurusan
Sederhana dapat dianalogikan dengan eksistensi mekanisme Penyelesaian Gugatan
Sederhana atau Small Claim Court
dalam ranah sengketa keperdataan di lembaga peradilan. Mekanisme Penyelesaian
Gugatan Sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 juncto Nomor 2 Tahun 2015. PERMA
tersebut merupakan salah satu upaya dalam rangka mengatasi permasalahan
inefisiensi penyelesaian perkara perdata[14] dan guna mewujudkan asas
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan[15]. Asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan bagi lembaga peradilan merupakan sebuah asas hukum umum yang
berlaku pada semua lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Eksistensi
Pengurusan Sederhana dapat dianalogikan dengan mekanisme pengejewantahan Asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan yang sejatinya asas hukum umum ke dalam
PERMA 4/2009 jo. 2/2015 di atas. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 240/2016 sebagai lex
generalis pengurusan Piutang Negara mengandung asas efektivitas dan
efisiensi, sehingga eksistensi Pengurusan Sederhana dalam PMK 163/2020 sebagai lex specialis juga didasarkan pada asas
efektivitas dan efisiensi. Secara umum lembaga peradilan menerapkan hukum acara
berdasar HIR dan RBg atau KUHPerdata untuk memeriksa perkara perdata, namun
untuk perkara-perkara tertentu diselesaikan dengan mekanisme Penyelesaian
Gugatan Sederhana. Demikian pula pengurusan Piutang Negara, secara umum Piutang
Negara diselesaikan dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam PMK 240/2016,
namun dalam kasus-kasus Piutang Negara tertentu diselesaikan dengan mekanisme
Pengurusan Sederhana sebagaimana diatur di dalam PMK 163/2020.
Selanjutnya,
pembahasan rasionalitas Pengurusan Sederhana akan dikaitkan dengan sifatnya
yang temporal. Peraturan yang bersifat temporal, secara filosofis berkait erat
dengan penyelenggaraan pemerintah yang efisien[16]. Menurut pendapat
Theodore J. Lowi, peraturan yang bersifat temporal juga didasarkan pada alasan
untuk mentransformasikan kebuntuan atau stagnasi dalam suatu perkara pemerintah[17]. Alasan eksistensi
peraturan yang bersifat temporal juga salah satunya didasarkan pada motivasi
untuk menghadirkan keputusan pemerintah yang dibuat dengan dasar informasi yang
lebih baik[18].
Selain itu, peraturan yang bersifat temporal juga dikaitkan dengan upaya
mewujudkan kualitas regulasi yang lebih baik, namun untuk membuktikan ini masih
diperlukan penelitian secara empiris[19].
Berkaitan
dengan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa Pengurusan Sederhana menemukan
rasionalitasnya sesuai dengan pendapat-pendapat di atas. Syarat-syarat Piutang
Negara yang dapat diurus dengan mekanisme Pengurusan Sederhana sebagaimana
diatur dalam Pasal 77 PMK 163/2020 sejatinya menggambarkan adanya stagnasi
dalam pengurusan Piutang Negara akibat dari pihak-pihak yang tidak membayar
hutangnya, sedangkan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikatakan telah
optimal. Selain itu, syarat-syarat tersebut juga menggambarkan terdapat
inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam pengurusan Piutang Negara.
Inefisiensi ini dapat terjadi ketika biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah
dalam melakukan pengurusan Piutang Negara lebih besar daripada besar hutang
yang dimiliki Penanggung Hutang. Dengan demikian, eksistensi Pengurusan
Sederhana yang bersifat temporal secara teoritis adalah rasional.
Perumusan
sifat temporal untuk mengatur Pengurusan Sederhana di dalam PMK 163/2020,
sesuai dengan rasionalitasnya, juga dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas
peraturan atau keputusan pemerintah yang lebih baik ke depannya. Peraturan
temporal menawarkan kemungkinan untuk mengumpulkan data-data dan
pengetahuan-pengetahuan baru melalui penerapan peraturan dalam waktu tertentu.
Hal ini juga berbeda dengan model perumusan kebijakan evidence-based, karena model ini didasarkan pada data-data yang
telah ada[20].
Penerapan Pengurusan Sederhana hingga tanggal 31 Desember 2021 akan memberikan
informasi-informasi pada pemerintah yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan-keputusan ke depannya. Informasi-informasi yang didapatkan tersebut
dapat digunakan untuk mewujudkan pengaturan pengurusan Piutang Negara ke
depannya dengan kualitas yang lebih baik.
Sejalan
dengan upaya untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkualitas lebih baik,
penerapan peraturan temporal juga menstimulasi pemerintah untuk melakukan review terhadap implementasi peraturan
tersebut. Review ini dilaksanakan
sebagai konsekuensi dari berakhirnya masa berlakunya peraturan temporal
tersebut. Bahkan, untuk mewujudkan regulasi temporal yang benar-benar bekerja
maka perlu juga dilaksanakan review terhadap peraturan-peraturan terkait yang
substansinya sama dengan regulasi temporal tersebut[21]. Berdasar kerangka yang
demikian, maka setelah lewatnya waktu penerapan Pengaturan Sederhana di dalam
PMK 163/2020 akan menstimulasi pemerintah untuk melakukan review terhadap peraturan tersebut untuk kemudian hasilnya
dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan lanjutan yang diperlukan.
Terakhir, regulasi temporal juga dianggap berkaitan erat dengan upaya untuk melakukan reformasi regulasi, sebagaimana menjadi fokus pemerintah saat ini. OECD mengakomodir model peraturan yang bersifat temporal sebagai salah satu pendekatan untuk melakukan penyederhanaan regulasi. OECD menyatakan bahwa sunset clauses can be effective in removing regulations that have become redundant or are no longer cost effective, while providing an opportunity to make a case for renewal or modification[22]. Selanjutnya OECD juga menyatakan bahwa model ini normalnya digunakan pada tataran regulasi di bawah undang-undang yang merupakan produk legislasi primer[23]. Salah satu bukti adanya korelasi antara penerapan regulasi temporal dengan terwujudnya reformasi adalah di Korea Selatan. Pada masa kepresidenan Lee Myung Bak, Korea Selatan dapat mewujudkan kemajuan dalam reformasi regulasi salah satunya dengan menerapkan model regulasi temporal dalam artian sunset clauses[24]. Dengan adanya bukti keberhasilan ini, tentu penerapan regulasi temporal dalam Pengurusan Sederhana Piutang Negara ini diharapkan, selain mewujudkan pengaturan dalam pengurusan Piutang Negara menjadi lebih berkualitas, juga dapat mewujudkan cita deregulasi dalam konteks Indonesia.
[1]
Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22303/Terbitkan-PMK-1632020-DJKN-Percayakan-KL-Kelola-Piutang-Negara-di-bawah-Rp8-Juta.html
.
[2]
Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22944/PMK-1632020-Berikan-Legitimasi-pada-KL-untuk-Aktif-Kelola-Piutang-Negara-secara-Optimal.html
.
[3]
Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22612/Lakukan-Transformasi-Pengelolaan-Piutang-Negara-Kemenkeu-Terbitkan-PMK-1632020.html
.
[4]
Madeleine Martinek, 2018, Experimental
Legislation in China between Efficiency and Legality, Springer International
Publishing, hal. 83.
[5]
Illiyyina Perdanawati, 2008, Analisis Implementasi Sunset Policy 2008 (Studi Kasus Di KPP Pratama Jakarta Tebet), Skripsi, Program Stusi Ilmu Administrasi
Fiskal-Universitas Indonesia, hal. 45-46.
[8]
Jacob E. Gersen, 2007, Temporary Legislation, University of Chicago Law Review, Vol. 74, Iss. 1, Article 12, hal.
258.
[9] Ibid, hal. 247.
[10]
Sofia Hiná Fernandes da Silva Ranchordás, 2014, Sunset Clauses and Experimental
Legislation: Blessing or Curse for Innovation?, Disertasi, Tilburg University, hal. 72-73.
[11]
Sofia Ranchordas, 2013, The Whys and Woes of Experimental Legislation, The Theory and Practice of Legislation, 1(3), hal. 419.
[12]
Madeleine Martinek, ibid.
[13]
Antonios Kouroutakis, 2014, Sunset Clauses: A Historical, Positive, and
Normative Analysis, Disertasi,
University of Oxford Faculty of Law, hal. 21.
[14]
Benny Riyanto dan Hapsari Tunjung Sekartaji, 2019, Pemberdayaan Gugatan
Sederhana Perkara Perdata Guna Mewujudkan Penyelenggaraan Peradilan Berdasarkan
Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, Masalah-Masalah
Hukum, Jilid 48 No. 1 Januari 2019, hal.
102.
[15]
Efa Laela Fakhriah, 2013, Mekanisme Small
Claim Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan Sederhana, Cepat, dan
Biaya Ringan, Mimbar Hukum, Vol. 25,
Nomor 2, Juni 2013, hal. 266.
[16]
John M. Quitmeyer, 1978, Sunset Legislation: Spotlight Bureaucracy, University of Michigan Journal of Law Reform,
Vol. 11, Winter 1978, hal. 270.
[17]
Rebecca M. Kysar, 2006, The Sun Also Rises: The Political Economy of Sunset
Provisions in The Tax Code, Georgia Law
Review, Volume 40, Number 2, Winter 2006, hal. 351.
[18]
Antonios Kouroutakis dan Sofia Ranchordas, 2016, Snoozing Democracy: Sunset
Clauses, De-Juridification, and Emergencies, Minnesota Journal of International Law, Volume 25(1), hal. 52.
[19]
Ittai Bar-Siman-Tov, 2016, Temporary
Legislation, Better Regulation and Experimentalist Governance: An Empirical
Study, diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/305807823_Temporary_Legislation_Better_Regulation_and_Experimentalist_Governance_An_Empirical_Study
.
[20]
Rob van Gestel dan Gijs van Dijk, 2011, Better Regulation through Experimental
Legislation, European Public Law, Volume
17, Issue 3, hal. 546.
[21]
Vern McKinley, 1995, Sunrise without Sunsets: Can Sunset Laws Reduce
Regulation, Regulation, Number 4
(1995), hal. 59. Diunduh dari https://www.cato.org/regulation/fall-1995/sunrises-without-sunsets
.
[22]
OECD, 2018, Ex-post assessment of
regulation: Practices and lessons from OECD countries, hal. 14.
[23] Ibid.
[24]
Kim Song June dan Choi Dae Yong, 2016, Regulatory Coherence: The Case of the Republic
of Korea, Economic Research Institute for
ASEAN and East Asia (ERIA) Discussion Paper Series, hal. 9.