Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Regulasi Temporal Pengurusan Sederhana Piutang Negara: Rasionalitas dan Manfaat
Hadyan Iman Prasetya
Jum'at, 12 Maret 2021 pukul 08:37:45   |   1080 kali

Pada tahun 2020 yang lalu, Pemerintah telah mengundangkan sebuah peraturan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020 (PMK 163/2020). Peraturan a quo mengatur tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian/Lembaga (K/L), Bendahara Umum Negara (BUN) dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Sesuai dengan nomenklatur tersebut, maka secara garis besar PMK 163/2020 substansinya mengatur tiga hal, yaitu (i) Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian/Lembaga (K/L), (ii) Pengelolaan Piutang Negara pada Bendahara Umum Negara (BUN), dan (iii) Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Pengundangan PMK 163/2020 diharapkan dapat memperbaiki tata kelola piutang, dari hulu ke hilir, dengan memberikan lebih banyak kepercayaan kepada kementerian/lembaga untuk mengelola piutangnya sampai tuntas[1]. PMK 163/2020 juga dimaksudkan menjadi payung hukum dan legitimasi pada K/L untuk melakukan penagihan piutang secara optimal[2]. Selanjutnya, PMK 163/2020 ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja PUPN dalam mengurus piutang negara yang memiliki jumlah signifikan, dengan memaksimalkan berbagai upaya dalam pendekatan eksekusi ataupun non-eksekusi yang menjadi tugas dan kewenangan PUPN[3].

Pada tulisan ini akan difokuskan pembahasan mengenai Pengurusan Sederhana terhadap Piutang Negara yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang pada pelaksanaannya berada pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Menurut ketentuan Pasal 77 PMK 163/2020, kriteria Piutang Negara yang dapat diurus dengan mekanisme Pengurusan Sederhana adalah:

  1. jumlah utang paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
  2. tidak terdapat Barang Jaminan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis, telah hilang, telah terjual Lelang atau telah dicairkan;
  3. tidak pernah datang memenuhi surat panggilan/himbauan atau tidak pernah datang atas kemauan sendiri;
  4. tidak pernah melakukan angsuran;
  5. telah dilakukan pemberitahuan Surat Paksa; dan
  6. telah diurus oleh PUPN lebih dari 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N).

Eksistensi Pengurusan Sederhana yang diatur dalam PMK 163/2020 ini jika disandingkan dengan mekanisme pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara (PMK 240/2016) maka akan didapati pembedaan lex specialis dan lex generalis. Pengurusan Sederhana merupakan lex specialis terhadap pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam PMK 240/2016 sebagai lex generalis.

Secara lengkap, mekanisme Pengurusan Sederhana diatur dalam Pasal 79 hingga Pasal 85 PMK 163/2020. Pengurusan Sederhana dimulai dengan pembuatan surat penagihan yang kemudian dikirimkan kepada Penanggung Hutang. Selanjutnya, KPKNL melakukan pembahasan pada tiap BKPN dan kemudian membuat tindak lanjut penyelesaiannya. Hasil pembahasan dan tindak lanjut penyelesaian terhadap masing-masing BKPN tersebut dituangkan dalam berita acara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 84 PMK 163/2020, penuangan ke dalam berita acara tersebut hanya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

Merujuk ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa eksistensi Pengurusan Sederhana terhadap berkas-berkas Piutang Negara bersifat temporal, yaitu dibatasi hanya sampai dengan 31 Desember 2021. Model pengaturan regulasi secara temporal ini tentu masih belum jamak digunakan, terlebih lagi dalam pandangan yang banyak dipahami bahwa peraturan perundang-undangan bersifat stabil, predictable, dan berlaku dalam waktu yang lama[4]. Berdasarkan realitas tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan rasionalitas dan manfaat dari eksistensi Pengurusan Sederhana yang bersifat temporal tersebut.

PENGURUSAN SEDERHANA SEBAGAI REGULASI TEMPORAL

Model penuangan sifat temporal ke dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dapat dijumpai dalam pengaturan Pengurusan Sederhana dalam PMK 163/2020 sejatinya telah berkembang baik di dalam sistem peraturan perundangan-undangan di Indonesia maupun secara internasional. Sistem peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengenal metode ini sebagaimana misalnya yaitu terdapat dalam Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Pasal 37A UU KUP ini mengatur adanya fasilitas penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang berlaku 1 tahun yaitu mulai 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2008[5]. Contoh lainnya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Tax Amnesty). Ketentuan Pasal 10 ayat (7) UU Tax Amnesty mengatur bahwa keberlakuan pengampunan pajak dapat diajukan mulai UU Tax Amnesty berlaku hingga tanggal 31 Maret 2017.

Pada ranah internasional, ketentuan yang mengindikasikan eksistensi peraturan yang bersifat temporal juga dapat ditemukan hingga pada tingkat konstitusi suatu negara. Sebagai contoh, peraturan temporal dikenal dan dibolehkan dalam sistem hukum Perancis sebagaimana kebolehannya itu diatur dalam konstitusi Prancis. Selengkapnya, Article 37-1 Konstitusi Prancis mengatur,”Statutes and regulations may contain provisions enacted on an experimental basis for limited purposes and duration.”[6] Contoh lain yaitu terdapat dalam Konstitusi Amerika Serikat tepatnya pada ketentuan Article 1 Section 1 clause 12. Ketentuan tersebut berbunyi,” To raise and support Armies, but no Appropriation of Money to that Use shall be for a longer Term than two Years.[7] Selanjutnya, selain kedua negara tersebut, pengaturan temporal pada tingkat di bawah konstitusi juga dikenal oleh negara-negara lainnya. Jacob E. Gersen menyatakan:

“Temporary legislation has found extensive and ongoing use outside the United States as well. For example, temporary legislation has been used to formulate duties on oil in El Salvador, to draft education policy in Italy, to address agrarian disorder in Britain, to expel ethnic groups from Turkey, and for economic adjustment policy in Japan.”[8]

Pengaturan yang bersifat temporal sering disebut sebagai temporary legislation yang menurut Gersen secara sederhana diartikan sebagai statutes containing clauses limiting the duration of their own validity[9]. Sedangkan, pendapat lain menyebutkan bahwa makna temporary legislation dalam arti luas mengandung dua konsep lainnya, yaitu experimental legislation dan sunset clause. Pendapat tersebut menyatakan bahwa, meskipun konsep experimental legislation dan sunset clause memiliki kesamaan dalam hal karakternya yang temporal dan adanya evaluasi terhadap peraturan tersebut, namun terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan tersebut berkaitan dalam aspek “aspiration to permanence”, experimental legislation diundangkan dengan maksud, apabila dengan pengundangan peraturan tersebut didapati hasil yang diharapkan, maka peraturan yang sebelumnya bersifat temporal akan dipermanenkan. Sedangkan sunset clause semenjak awal diundangkan adalah dengan maksud akan diberlakukan hanya untuk waktu tertentu saja, tanpa ada maksud untuk dipermanenkan[10].

Pertanyaan yang mungkin timbul kemudian adalah, apakah pengertian dari temporary legislation kompatibel untuk digunakan menganalisa Pengurusan Sederhana yang notabene diatur dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan? Bukankah kata “legislation” menandakan bahwa produk hukum tersebut merupakan produk legislasi yang melibatkan badan legislatif? Bukankah Peraturan Menteri Keuangan adalah peraturan perundang-undangan produk badan eksekutif yang tidak melibatkan legislatif? Kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dapat dicermati pendapat Shofia Ranchordas yang menyatakan bahwa,”experimental legislation refers to statutes or, in the majority of cases, regulations enacted for a period of time determined beforehand, on a small-scale basis, in derogation from existing law, and subject to a periodic or final evaluation.”[11] Pendapat tersebut memuat adanya perbedaan antara “statutes” yang merujuk pada produk hukum yang melibatkan lembaga legislatif, dan “regulations” yang merujuk pada produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif (secondary legislation)[12]. Bahkan jika mencermati definisi tersebut maka didapati bahwa exeperimental legislation lebih banyak dituangkan dalam bentuk peraturan yang dihasilkan lembaga eksekutif daripada produk legislasi.

Dalam konteks Pengurusan Sederhana yang diatur di dalam PMK 163/2020, dikaitkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa temporary legislation dapat bermakna sunset clause dan exeperimental legislation, maka termasuk ke dalam makna yang mana Pengaturan Sederhana tersebut? Sejatinya pertanyaan ini sulit untuk dijawab jika tidak diketahui maksud dari pembuat peraturan pada saat mengundangkan PMK 136/2020. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk mengkategorikan apakah suatu regulasi temporal itu bermakna sunset clause atau experimental lelgislation, maka aspek yang paling menentukan adalah keberlanjutan dari regulasi tersebut. Dikarenakan penentuan maknanya sangat bergantung pada pembuat peraturan, dalam tulisan ini regulasi Pengurusan Sederhana di dalam PMK 163/2020 akan dipandang sebagai sebuah temporary legislation, sehingga diasumsikan dapat memiliki makna sebagai sunset clause, yang berarti akan berakhir pada 31 Desember 2021, ataupun sebagai exeperimental legislation, yang memungkinkan berlakunya akan diperpanjang atau bahkan dipermanenkan.

Selain itu, perlu juga dipahami bahwa sifat temporal yang diatur di dalam PMK 163/2020 bersifat sebagian atau disebut dengan sectional temporary legislation. Sifat sectional ini sebagai lawan dari peraturan temporal yang bersifat keseluruhan atau entire[13]. Ketentuan yang bersifat temporal di dalam PMK 163/2020 hanya berkaitan dengan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), sedangkan ketentuan tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pengelolaan Piutang Negara pada Bendahara Umum Negara (BUN) tetap berlaku meskipun setelah tanggal 31 Desember 2021.

RASIONALITAS DAN MANFAAT

Sebelum membahas secara khusus Pengurusan Sederhana dikaitkan dengan sifatnya yang temporal, dapat diketengahkan rasionalitas eksistensi Pengurusan Sederhana secara umum terlepas dari sifatnya yang temporal. Dalam hal ini Pengurusan Sederhana dapat dianalogikan dengan eksistensi mekanisme Penyelesaian Gugatan Sederhana atau Small Claim Court dalam ranah sengketa keperdataan di lembaga peradilan. Mekanisme Penyelesaian Gugatan Sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 juncto Nomor 2 Tahun 2015. PERMA tersebut merupakan salah satu upaya dalam rangka mengatasi permasalahan inefisiensi penyelesaian perkara perdata[14] dan guna mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan[15]. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan bagi lembaga peradilan merupakan sebuah asas hukum umum yang berlaku pada semua lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Eksistensi Pengurusan Sederhana dapat dianalogikan dengan mekanisme pengejewantahan Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan yang sejatinya asas hukum umum ke dalam PERMA 4/2009 jo. 2/2015 di atas. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/2016 sebagai lex generalis pengurusan Piutang Negara mengandung asas efektivitas dan efisiensi, sehingga eksistensi Pengurusan Sederhana dalam PMK 163/2020 sebagai lex specialis juga didasarkan pada asas efektivitas dan efisiensi. Secara umum lembaga peradilan menerapkan hukum acara berdasar HIR dan RBg atau KUHPerdata untuk memeriksa perkara perdata, namun untuk perkara-perkara tertentu diselesaikan dengan mekanisme Penyelesaian Gugatan Sederhana. Demikian pula pengurusan Piutang Negara, secara umum Piutang Negara diselesaikan dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam PMK 240/2016, namun dalam kasus-kasus Piutang Negara tertentu diselesaikan dengan mekanisme Pengurusan Sederhana sebagaimana diatur di dalam PMK 163/2020.

Selanjutnya, pembahasan rasionalitas Pengurusan Sederhana akan dikaitkan dengan sifatnya yang temporal. Peraturan yang bersifat temporal, secara filosofis berkait erat dengan penyelenggaraan pemerintah yang efisien[16]. Menurut pendapat Theodore J. Lowi, peraturan yang bersifat temporal juga didasarkan pada alasan untuk mentransformasikan kebuntuan atau stagnasi dalam suatu perkara pemerintah[17]. Alasan eksistensi peraturan yang bersifat temporal juga salah satunya didasarkan pada motivasi untuk menghadirkan keputusan pemerintah yang dibuat dengan dasar informasi yang lebih baik[18]. Selain itu, peraturan yang bersifat temporal juga dikaitkan dengan upaya mewujudkan kualitas regulasi yang lebih baik, namun untuk membuktikan ini masih diperlukan penelitian secara empiris[19].

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa Pengurusan Sederhana menemukan rasionalitasnya sesuai dengan pendapat-pendapat di atas. Syarat-syarat Piutang Negara yang dapat diurus dengan mekanisme Pengurusan Sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 77 PMK 163/2020 sejatinya menggambarkan adanya stagnasi dalam pengurusan Piutang Negara akibat dari pihak-pihak yang tidak membayar hutangnya, sedangkan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikatakan telah optimal. Selain itu, syarat-syarat tersebut juga menggambarkan terdapat inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam pengurusan Piutang Negara. Inefisiensi ini dapat terjadi ketika biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam melakukan pengurusan Piutang Negara lebih besar daripada besar hutang yang dimiliki Penanggung Hutang. Dengan demikian, eksistensi Pengurusan Sederhana yang bersifat temporal secara teoritis adalah rasional.

Perumusan sifat temporal untuk mengatur Pengurusan Sederhana di dalam PMK 163/2020, sesuai dengan rasionalitasnya, juga dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas peraturan atau keputusan pemerintah yang lebih baik ke depannya. Peraturan temporal menawarkan kemungkinan untuk mengumpulkan data-data dan pengetahuan-pengetahuan baru melalui penerapan peraturan dalam waktu tertentu. Hal ini juga berbeda dengan model perumusan kebijakan evidence-based, karena model ini didasarkan pada data-data yang telah ada[20]. Penerapan Pengurusan Sederhana hingga tanggal 31 Desember 2021 akan memberikan informasi-informasi pada pemerintah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan-keputusan ke depannya. Informasi-informasi yang didapatkan tersebut dapat digunakan untuk mewujudkan pengaturan pengurusan Piutang Negara ke depannya dengan kualitas yang lebih baik.

Sejalan dengan upaya untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkualitas lebih baik, penerapan peraturan temporal juga menstimulasi pemerintah untuk melakukan review terhadap implementasi peraturan tersebut. Review ini dilaksanakan sebagai konsekuensi dari berakhirnya masa berlakunya peraturan temporal tersebut. Bahkan, untuk mewujudkan regulasi temporal yang benar-benar bekerja maka perlu juga dilaksanakan review terhadap peraturan-peraturan terkait yang substansinya sama dengan regulasi temporal tersebut[21]. Berdasar kerangka yang demikian, maka setelah lewatnya waktu penerapan Pengaturan Sederhana di dalam PMK 163/2020 akan menstimulasi pemerintah untuk melakukan review terhadap peraturan tersebut untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan lanjutan yang diperlukan.

Terakhir, regulasi temporal juga dianggap berkaitan erat dengan upaya untuk melakukan reformasi regulasi, sebagaimana menjadi fokus pemerintah saat ini. OECD mengakomodir model peraturan yang bersifat temporal sebagai salah satu pendekatan untuk melakukan penyederhanaan regulasi. OECD menyatakan bahwa sunset clauses can be effective in removing regulations that have become redundant or are no longer cost effective, while providing an opportunity to make a case for renewal or modification[22]. Selanjutnya OECD juga menyatakan bahwa model ini normalnya digunakan pada tataran regulasi di bawah undang-undang yang merupakan produk legislasi primer[23]. Salah satu bukti adanya korelasi antara penerapan regulasi temporal dengan terwujudnya reformasi adalah di Korea Selatan. Pada masa kepresidenan Lee Myung Bak, Korea Selatan dapat mewujudkan kemajuan dalam reformasi regulasi salah satunya dengan menerapkan model regulasi temporal dalam artian sunset clauses[24]. Dengan adanya bukti keberhasilan ini, tentu penerapan regulasi temporal dalam Pengurusan Sederhana Piutang Negara ini diharapkan, selain mewujudkan pengaturan dalam pengurusan Piutang Negara menjadi lebih berkualitas, juga dapat mewujudkan cita deregulasi dalam konteks Indonesia.

Oleh: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana KPKNL Bontang)

[1] Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22303/Terbitkan-PMK-1632020-DJKN-Percayakan-KL-Kelola-Piutang-Negara-di-bawah-Rp8-Juta.html .

[2] Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22944/PMK-1632020-Berikan-Legitimasi-pada-KL-untuk-Aktif-Kelola-Piutang-Negara-secara-Optimal.html .

[3] Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22612/Lakukan-Transformasi-Pengelolaan-Piutang-Negara-Kemenkeu-Terbitkan-PMK-1632020.html .

[4] Madeleine Martinek, 2018, Experimental Legislation in China between Efficiency and Legality, Springer International Publishing, hal. 83.

[5] Illiyyina Perdanawati, 2008, Analisis Implementasi Sunset Policy 2008 (Studi Kasus Di KPP Pratama Jakarta Tebet), Skripsi, Program Stusi Ilmu Administrasi Fiskal-Universitas Indonesia, hal. 45-46.

[6] Diakses dari https://www.constituteproject.org/constitution/France_2008.pdf?lang=en .

[7] Diakses dari https://constitution.congress.gov/browse/article-1/section-8/clause-12/ .

[8] Jacob E. Gersen, 2007, Temporary Legislation, University of Chicago Law Review, Vol. 74, Iss. 1, Article 12, hal. 258.

[9] Ibid, hal. 247.

[10] Sofia Hiná Fernandes da Silva Ranchordás, 2014, Sunset Clauses and Experimental Legislation: Blessing or Curse for Innovation?, Disertasi, Tilburg University, hal. 72-73.

[11] Sofia Ranchordas, 2013, The Whys and Woes of Experimental Legislation, The Theory and Practice of Legislation, 1(3), hal. 419.

[12] Madeleine Martinek, ibid.

[13] Antonios Kouroutakis, 2014, Sunset Clauses: A Historical, Positive, and Normative Analysis, Disertasi, University of Oxford Faculty of Law, hal. 21.

[14] Benny Riyanto dan Hapsari Tunjung Sekartaji, 2019, Pemberdayaan Gugatan Sederhana Perkara Perdata Guna Mewujudkan Penyelenggaraan Peradilan Berdasarkan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No. 1 Januari 2019, hal. 102.

[15] Efa Laela Fakhriah, 2013, Mekanisme Small Claim Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan, Mimbar Hukum, Vol. 25, Nomor 2, Juni 2013, hal. 266.

[16] John M. Quitmeyer, 1978, Sunset Legislation: Spotlight Bureaucracy, University of Michigan Journal of Law Reform, Vol. 11, Winter 1978, hal. 270.

[17] Rebecca M. Kysar, 2006, The Sun Also Rises: The Political Economy of Sunset Provisions in The Tax Code, Georgia Law Review, Volume 40, Number 2, Winter 2006, hal. 351.

[18] Antonios Kouroutakis dan Sofia Ranchordas, 2016, Snoozing Democracy: Sunset Clauses, De-Juridification, and Emergencies, Minnesota Journal of International Law, Volume 25(1), hal. 52.

[19] Ittai Bar-Siman-Tov, 2016, Temporary Legislation, Better Regulation and Experimentalist Governance: An Empirical Study, diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/305807823_Temporary_Legislation_Better_Regulation_and_Experimentalist_Governance_An_Empirical_Study .

[20] Rob van Gestel dan Gijs van Dijk, 2011, Better Regulation through Experimental Legislation, European Public Law, Volume 17, Issue 3, hal. 546.

[21] Vern McKinley, 1995, Sunrise without Sunsets: Can Sunset Laws Reduce Regulation, Regulation, Number 4 (1995), hal. 59. Diunduh dari https://www.cato.org/regulation/fall-1995/sunrises-without-sunsets .

[22] OECD, 2018, Ex-post assessment of regulation: Practices and lessons from OECD countries, hal. 14.

[23] Ibid.

[24] Kim Song June dan Choi Dae Yong, 2016, Regulatory Coherence: The Case of the Republic of Korea, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Discussion Paper Series, hal. 9.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini