Keuangan negara dalam
undang-undang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan negara didefinisikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1).
Mengacu pada penjelasan dalam undang-undang ini, pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dijelaskan sebagai berikut:
“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.”
Dari konsepsi tersebut, keuangan negara dalam arti luas lebih dikenal dengan terminologi keuangan sektor publik. Cakupan tersebut dapat dilihat dari konsiderannya yang jelas menyebutkan Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disamping Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, dan Pasal 23E. Apabila dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengandung 2 pengertian mendasar sebagai berikut:
Pertama, bahwa lingkup Keuangan Negara Republik Indonesia mencakup pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, yang menguasai hajat hidup orang banyak, artinya berbagai kewenangan pengambilan keputusan keuangan pemerintah mencakup pula keputusan dalam bidang pengelolaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak, dan/atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kedua, bahwa hak negara yang dicakup dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mencakup pula hak negara yang masih bersifat potensial, sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di samping hak negara yang bersifat operasional yang dituangkan dalam Pasal 23.
Sementara itu, keuangan negara dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 harus dipahami atau dimaknai sebagai semua keuangan yang digunakan dalam penyelenggaraan negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah termasuk penyelenggara pada badan-badan usaha milik negara dan daerah.
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Ruang lingkup keuangan negara terdiri dari:
Akibat hukum pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
Kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah yang termasuk ruang lingkup keuangan negara selanjutnya diatur dalam undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Dalam UU/19 Tahun 2003, dalam pertimbangannya menegaskan BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan secara profesional.
Dalam penjelasan UU Nomor 19 tahun 2003 yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Selanjutnya, keuangan negara dapat ditinjau dari sisi hukum pidana, khususnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan dalam penjelasannya bahwa keuangan negara yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajibannya yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah berada dalam penguasaan dan pengurusan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa keuangan negara mencakup seluruh kekayaan negara, berarti termasuk uang yang berharga baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan.
Eksekusi putusan
Eksekusi berasal dari kata executie artinya melaksanakan putusan hakim (ten uitvoerlegging van vonnissen). Eksekusi di bidang perdata adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan bantuan kekuatan umum. Dalam pengertian yang lain, eksekusi di bidang perdata berarti melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Dalam pengertian tersebut, pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban pihak tergugat untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan hakim. Eksekusi terhadap putusan hakim yang sudah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) merupakan proses terakhir dari proses perkara perdata.
Berkaitan dengan aset BUMN, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 dan Nomor 62/PUU-XI/2013 dalam pertimbangannya menyatakan bahwa harta kekayaan yang dipisahkan yang dikelola oleh BUMN adalah tetap merupakan harta kekayaan milik negara.
Modal dalam bentuk aset yang dimiliki BUMN berasal dari penyertaan modal negara yang berasal dari APBN dan merupakan kekayaan negara. Aset BUMN tersebut berasal dari investasi jangka panjang pemerintah untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya. Investasi pemerintah dapat berupa saham, surat utang ,dan investasi langsung (memberikan benda bergerak atau tidak bergerak).
Kekayaan BUMN atau BUMD tak bisa disita karena kekayaan itu adalah milik negara. Hal ini disebabkan negara yang menanamkan modal (berasal dari APBN atau APBD) kepada BUMN atau BUMD sesuai ketentuan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara dan juga merujuk kepada Pasal 1 angka 10 dan 11 UU Perbendaharaan Negara yang berbunyi “Barang milik negara/daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan lain yang sah.”
Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, termasuk yang dikategorikan dalam modal BUMN dalam bentuk uang dan aset (benda bergerak dan/atau benda tidak bergerak) yang berasal dari penyertaan modal negara tidak dapat dilakukan penyitaan, sesuai dengan pasal 50 Undang-undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang berbunyi :
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
Selain itu, apabila penyitaan aset BUMN dalam rangka kepailitan, yang mempunyai kewenangan adalah Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan kepailitan dan berdampak aset dari BUMN digunakan untuk pembayaran utang kepada kreditor.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 5 Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:
“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
Berdasarkan hal tersebut maka sita eksekusi yang telah dilakukan Pengadilan Negeri terhadap aset berupa tanah dan bangunan milik Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang usaha perbankan dapat diajukan pengangkatan sitanya dan pelaksanaan eksekusi lelangnya dapat ditangguhkan.
Penulis : Fatih Ghozali, KPKNL Gorontalo