Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Tentang Loyalitas Aparatur Sipil Negara sebagai Pelayan Publik
Hadyan Iman Prasetya
Selasa, 14 November 2023   |   2149 kali

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 2023, telah diundangkan undang-undang baru tentang aparatur sipil negara (ASN). Undang-undang ASN baru itu adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara[1] yang diundangkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang ASN baru ini mengandung 5 (lima) pokok pengaturan, yaitu (1) penguatan pengawasan Sistem Merit, (2) penetapan kebutuhan PNS dan PPPK, (3) kesejahteraan PNS dan PPPK, (4) penataan tenaga honorer; dan (5) digitalisasi Manajemen ASN termasuk didalamnya transformasi komponen Manajemen ASN.[2]

Di samping kelima pokok pengaturan di atas, terdapat satu pasal yang mengatur nilai dasar bagi ASN. Pengaturan tersebut dapat ditemui dalam Pasal 3 Undang-Undang ASN yang terdiri atas 7 (tujuh) nilai, yaitu (a) berorientasi pelayanan, (b) akuntabel, (c) kompeten, (d) harmonis, (e) loyal, (f) adaptif, dan (g) kolaboratif. Bagi ASN tentu ketujuh nilai tersebut tidaklah asing, mengingat bahwa ketujuh nilai tersebut sebelumnya telah diperkenalkan melalui akronim ASN BerAKHLAK dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara.

Dari ketujuh nilai yang disebutkan sebelumnya, Tulisan singkat ini akan berfokus pada 1 (satu) nilai saja, yaitu loyal. Nilai loyal, dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang ASN, yaitu berdedikasi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Nilai loyal tersebut meliputi (1) memegang teguh ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintahan yang sah, (2) menjaga nama baik ASN, instansi, dan negara, dan (3) menjaga rahasia jabatan dan negara.

Pemilihan nilai loyal sebagai fokus bahasan dalam Tulisan ini akan dijabarkan sesuai makna yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) di atas. Selain itu, nilai loyal akan dibahas dalam kaitannya dengan salah satu fungsi ASN, yaitu pelayan publik.[3] Selanjutnya, pembahasan nilai loyal bagi ASN sebagai pelayan publik dalam Tulisan ini akan diuraikan dengan membahas konsep-konsep kunci yang terkandung dalam makna nilai loyal di dalam Undang-Undang ASN, yaitu loyalitas kepada Konstitusi dan kepada publik.

Loyalitas pada Konstitusi dan Publik

Sebagaimana diketengahkan dalam Tulisan ini, sebagai pelayan publik, ASN dituntut untuk loyal atau setia pada, setidaknya, 2 (dua) hal, yaitu Konstitusi dan publik. Terkait loyalitas ASN kepada kedua hal tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, ASN dituntut untuk loyal pada konstitusi, dalam konteks Indonesia yaitu kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD). Loyalitas ASN pada Konstitusi ditandai melalui adanya sumpah jabatan yang wajib dilakukan oleh setiap ASN dan secara eksplisit dalam sumpah itu dinyatakan kesetiaan ASN pada Konstitusi. Potongan sumpah/janji tersebut berbunyi,”… bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah;…”[4]

Dalam khazanah hukum, sumpah yang mengandung kadar konstitusi (constitutional oath) membawa konsekuensi moral bagi setiap pihak yang bersumpah berupa kewajiban untuk menjunjung setiap nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi tersebut.[5] Sebaliknya, setiap pihak yang bersumpah tadi apabila bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai konstitusi maka dianggap telah melanggar kepercayaan dan ekspektasi publik.[6] Dengan demikian, loyalitas ASN sebagai pelayan publik kepada Konstitusi haruslah diejawantahkan dalam proses pelayanan publik dalam rangka mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi.

Sebagai contoh, dalam ketentuan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945 terdapat satu hak yang secara eksplisit diakui dimiliki oleh setiap orang, yaitu hak kesamaan. Dengan demikian, loyalitas ASN kepada Konstitusi menuntut atau mewajibkan setiap ASN selaku pelayan publik untuk memberikan layanan publik kepada masyarakat dengan perlakuan yang sama, tanpa adanya favoritisme atau diskriminasi pada golongan masyarakat tertentu tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara hukum.[7] Contoh lain, UUD 1945 juga mengakui adanya hak masyarakat untuk memperoleh informasi, sehingga sebagai bentuk loyalitas ASN kepada Konstitusi, pelayanan publik yang dilakukan oleh setiap ASN dituntut untuk dilakukan secara transparan dan memberikan saluran bagi setiap masyarakat untuk dapat mengakses informasi yang menurut peraturan perundang-undangan bukan termasuk dalam informasi yang dikecualikan.

Kedua, loyalitas ASN kepada publik. Penggunaan istilah publik dalam Tulisan ini ditujukan sebagai lawan dari loyalitas pada kepentingan golongan tertentu atau pada kepentingan yang bersifat politis-elektoral-jangka pendek. Dalam menjelaskan tuntutan loyalitas ASN sebagai pelayan publik kepada publik itu sendiri, Tulisan ini mendasarkannya pada ulasan tentang institutional loyalties dan dikotomi politik dengan administrasi.

Menurut Huq dan Fontana, dalam konteks doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang masyhur dalam hukum konstitusi, loyalitas institutional merupakan salah satu upaya yang diharapkan mampu memerangi terwujudnya absolutisme kekuasaan.[8] Dengan logika demikian, setiap cabang kekuasaan yang diisi oleh personalia yang mampu menunjukkan loyalitas institusi akan menciptakan mekanisme checks and balances yang ideal. Menurut keduanya, institutional loyalties yang murni, yaitu sesuai dengan yang dimandatkan oleh konstitusi, dapat menanggulangi fenomena loyalitas institusi modern yang sangat kental dengan unsur partisan dan ideologi yang dianut oleh partai tersebut.[9] Dalam pemahaman Penulis, konsep institutional loyalties yang dikemukakan oleh Huq dan Fontana ini dapat menjadi fondasi dari gagasan loyalitas ASN kepada publik. Konsep institutional loyalties yang mengetangahkan pemahaman loyalitas secara lebih objektif dan sesuai dengan mandat konstitusi, yang notabene merupakan dokumen kesepakatan masyarakat, merupakan fondasi penting yang akan menghasilkan penyelenggaraan pelayanan publik oleh ASN yang bebas dari kepentingan atau motivasi partisan.

Selanjutnya, Dwiyanto berpendapat bahwa diskursus mengenai dikotomi politik dan administrasi mengarahkan pada pembahasan terkait netralitas dan imparsialitas ASN.[10] Dwiyanto berpendapat bahwa harus dibedakan antara netralitas dan imparsialitas. Menurutnya, ASN harus memperjuangkan nilai-nilai publik dalam proses pengambilan keputusan, sehingga hal ini berbeda dengan pemahaman umum yang menganggap bahwa ASN tidak perlu terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menjadi domain pejabat politik sebagai wujud netralitas ASN.[11] Sebaliknya, Dwiyanto berpendapat bahwa ASN harus imparsial, dalam artian tidak memihak pada satu golongan tertentu yang bertindak sebagai aktor politik.[12] Mendasarkan pada pendapat ini, loyalitas ASN kepada publik dapat lebih terjamin, baik pada aspek netralitas maupun imparsialitas. Dalam aspek netralitas, ASN mengejewantahkan loyalitasnya pada publik dengan melakukan advokasi terhadap nilai-nilai publik untuk dapat diakomodir dalam sebuah kebijakan. Sedangkan dalam aspek imparsialitas, loyalitas ASN terwujud dalam ketidakberpihakan para ASN pada golongan tertentu, sehingga pelayanan publik yang dilakukan oleh ASN dapat terwujud secara adil dan tidak diskriminatif.

Konsepsi Fiduciary sebagai Fondasi Loyalitas

Dalam bagian ini, Penulis mengetengahkan suatu konsep yang telah digagas dan menjadi diskursus terkait loyalitas, yaitu konsep fiduciary. Konsep ini, sebagaimana telah Penulis kutip dalam tulisan lain, dapat dimaknai sebagai,”A duty to act for someone else's benefit, while subordinating one's personal interests to that of the other person.[13] Konsep fiduciary mengandung adanya 2 (dua) tugas lainnya, yaitu duty of loyalty dan duty of care, yang menurut Evan Criddle keduanya dapat diterjemahkan dalam konteks hukum administrasi.[14]

Menurut Criddle, dalam konteks Amerika, pandangan yang memandang pejabat pemerintah sebagai fiduciary dari publik merupakan pemahaman yang telah hidup dalam kehidupan bermasyarakat (“…This view of government officers and institutions as public fiduciaries is not "mere metaphor," according to some courts, but rather "a living tenet our society.”)[15] Putusan-putusan lembaga peradilan dalam bidang hukum administrasi, menurut Criddle, juga menunjukkan adanya hubungan erat konsep fiduciary dengan praktik administrasi yang bermuara pada publik. Selengkapnya Criddle menulis,”Throughout administrative law jurisprudence, the· fiduciary model "triggers powerful, recurring frameworks of meaning and patterns of belief ... [and] sets in motion deeply rooted folk images, archetypes, and story lines," thereby mediating the relationships between administrative agencies, the political and judicial branches, and the people as a whole.[16]

Salah satu pendapat Criddle dalam artikel tersebut yang juga terkait dengan loyalitas pada publik adalah implikasinya pada pemahaman principal-agent paradigm. Menurut Criddle, memahami administrasi publik sebagai fiduciary lebih kompatibel dengan realitas desain institusi-institusi administratif saat ini dibanding dengan pemahaman model principal-agent yang bersifat lebih menitikberatkan pada kontrol satu institusi.[17] Sebagaimana dijelaskan Criddle bahwa “Where a fiduciary relation involves multiple beneficiaries, the duty of loyalty takes on an antidiscrimination aspect…”,[18] maka publik yang bersifat majemuk lebih kompatibel dengan model ASN sebagai fiduciaries.

Berdasarkan pendapat Criddle yang menyatakan bahwa konsep fiduciary adalah fondasi bagi hukum administrasi, Penulis berpendapat bahwa loyalitas ASN kepada publik dapat didasarkan pada kerangka tersebut. Sebagaimana Criddle menjelaskan bahwa konsep fiduciary mengandung adanya duty of loyalties,[19] maka tidaklah berlebihan apabila dalam Tulisan ini diketengahkan argumen bahwa ASN perlu memahami bahwa, sebagai pelayan publik, dirinya adalah fiduciaries dari publik dan oleh karenanya ASN berkewajiban memiliki duty of loyalties kepada publik.

Penutup

Sebagaimana telah dijabarkan dalam Tulisan ini, argumen utama yang diketengahkan adalah loyalitas ASN, sesuai dengan sumpah jabatannya, adalah terhadap Konstitusi dan publik. Loyalitas kepada Konstitusi dan publik dapat dijelaskan melalui muatan moral dari sumpah jabatan serta konsep institutional loyalties maupun dikotomi politik-administrasi. Sedangkan upaya untuk memupuk loyalitas tersebut dapat ditempuh dengan menginternalisasikan pemahaman bahwa ASN merupakan fiduciaries dari masyarakat atau publik. Dengan demikian, nilai loyal yang saat ini telah diatur dalam UU ASN berimplikasi bahwa ASN sebagai pelayan publik dituntut untuk loyal pada Konstitusi dan publik, bukan pada kepentingan partisan dan jangka pendek.

Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)



[1] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6897

[2] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara

[3] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara

[4] Dalam konteks Pegawai Negeri Sipil, lafal sumpah diatur dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Sejatinya sumpah ini juga diatur dalam UU ASN yang lama, yaitu pada Pasal 66 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang telah dicabut dengan UU Nomor 20 Tahun 2023 yang saat ini berlaku. Meskipun dalam UU ASN yang baru tidak lagi diatur lafal sumpah, namun berdasar Pasal 75 UU ASN segala peraturan pelaksana dari UU ASN yang lama masih berlaku.

[5] Richard M. Re, Promising the Constitution, Northwestern Law Review Vol. 110 No. 2, 2016, hlm. 306-313. Terkait makna konstitusi dalam constitutional oath dihubungkan dengan model interpretasi konstitusi lihat Evan D. Bernick dan Christopher R. Green, What is the Object of the Constitutional Oath?, Pennsylvania State Law Review Vol. 128, 2023, hlm. 1-68.

[6] Ibid, hlm. 309.

[7] Asas-asas dalam penyelenggaran publik juga telah mengatur hal ini, lihat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

[8] Aziz Huq dan David Fontana, Institutional Loyalties in Constitutional Law, University of Chicago Law Review Vol. 85, 2018, hlm. 12-21.

[9] Ibid, hlm. 21-27.

[10] Agus Dwiyanto, Teori Administrasi Publik dan Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2022, hlm. 24-39.

[11] Ibid, hlm. 25-33

[12] Ibid, hlm. 33-39

[13] Pendapat Chatamarrasjid Ais, dikutip Penulis dalam Sinergi dan Rekan Kerja: Pelajaran dari Konsep Friendship dalam Perspektif Legal, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/16344/Sinergi-dan-Rekan-Kerja-Pelajaran-dari-Konsep-Friendship-dalam-Perspektif-Legal.html

[14] Evan J, Criddle, Fiduciary Foundations of Administrative Law, UCLA Law Review Vol. 54, 2006, hlm. 130-132. Sebagai kritik terhadap pendapat Evan Criddle ini lihat Ethan J. Leib dan Stephen R. Galoob, Fiduciary Political Theory: A Critique, Yale Law Journal Vol. 125, 2016, hlm. 1854-1868.

[15] Ibid, hlm. 135. Terkait sejarah praktik fiduciary bagi pejabat publik dapat disimak dalam Ethan J. Leib dan Andrew Kent, Fiduciary Law and the Law of Public Office, William & Mary Law Review Vol. 62, 2021, hlm. 1297-1348.

[16] Ibid, hlm. 136.

[17] Ibid, hlm. 165-168.

[18] Ibid, hlm. 131.

[19] Diskursus terkait makna loyalty dalam ranah legal dapat disimak dalam Stephen R. Galoob dan Ethan j. Leib, Fiduciary Loyalty, Inside and Out, Southern California Law Review Vol. 92, 2018, hlm. 72-86.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini