Beberapa waktu lalu, tepatnya pada
tanggal 31 Oktober 2023, telah diundangkan undang-undang baru tentang aparatur
sipil negara (ASN). Undang-undang ASN baru itu adalah Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara[1] yang diundangkan untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Undang-Undang ASN baru ini mengandung 5 (lima) pokok pengaturan, yaitu (1) penguatan
pengawasan Sistem Merit, (2) penetapan kebutuhan PNS dan PPPK, (3)
kesejahteraan PNS dan PPPK, (4) penataan tenaga honorer; dan (5) digitalisasi
Manajemen ASN termasuk didalamnya transformasi komponen Manajemen ASN.[2]
Di samping kelima pokok pengaturan di
atas, terdapat satu pasal yang mengatur nilai dasar bagi ASN. Pengaturan
tersebut dapat ditemui dalam Pasal 3 Undang-Undang ASN yang terdiri atas 7
(tujuh) nilai, yaitu (a) berorientasi pelayanan, (b) akuntabel, (c) kompeten, (d)
harmonis, (e) loyal, (f) adaptif, dan (g) kolaboratif. Bagi ASN tentu ketujuh
nilai tersebut tidaklah asing, mengingat bahwa ketujuh nilai tersebut
sebelumnya telah diperkenalkan melalui akronim ASN BerAKHLAK dalam Surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun
2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding Aparatur
Sipil Negara.
Dari ketujuh nilai yang disebutkan
sebelumnya, Tulisan singkat ini akan berfokus pada 1 (satu) nilai saja, yaitu
loyal. Nilai loyal, dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang ASN, yaitu
berdedikasi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Nilai loyal
tersebut meliputi (1) memegang teguh ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan pemerintahan yang sah, (2) menjaga nama baik ASN, instansi, dan negara, dan
(3) menjaga rahasia jabatan dan negara.
Pemilihan nilai loyal sebagai fokus
bahasan dalam Tulisan ini akan dijabarkan sesuai makna yang diatur dalam Pasal
4 ayat (2) di atas. Selain itu, nilai loyal akan dibahas dalam kaitannya dengan
salah satu fungsi ASN, yaitu pelayan publik.[3] Selanjutnya, pembahasan
nilai loyal bagi ASN sebagai pelayan publik dalam Tulisan ini akan diuraikan
dengan membahas konsep-konsep kunci yang terkandung dalam makna nilai loyal di
dalam Undang-Undang ASN, yaitu loyalitas kepada Konstitusi dan kepada publik.
Loyalitas pada Konstitusi dan Publik
Sebagaimana diketengahkan dalam Tulisan
ini, sebagai pelayan publik, ASN dituntut untuk loyal atau setia pada,
setidaknya, 2 (dua) hal, yaitu Konstitusi dan publik. Terkait loyalitas ASN
kepada kedua hal tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, ASN dituntut untuk loyal pada
konstitusi, dalam konteks Indonesia yaitu kepada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD). Loyalitas ASN pada Konstitusi ditandai
melalui adanya sumpah jabatan yang wajib dilakukan oleh setiap ASN dan secara
eksplisit dalam sumpah itu dinyatakan kesetiaan ASN pada Konstitusi. Potongan
sumpah/janji tersebut berbunyi,”… bahwa
saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, negara, dan pemerintah;…”[4]
Dalam khazanah hukum, sumpah yang
mengandung kadar konstitusi (constitutional oath) membawa konsekuensi
moral bagi setiap pihak yang bersumpah berupa kewajiban untuk menjunjung setiap
nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi tersebut.[5] Sebaliknya, setiap pihak
yang bersumpah tadi apabila bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai
konstitusi maka dianggap telah melanggar kepercayaan dan ekspektasi publik.[6] Dengan demikian, loyalitas
ASN sebagai pelayan publik kepada Konstitusi haruslah diejawantahkan dalam
proses pelayanan publik dalam rangka mewujudkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Konstitusi.
Sebagai contoh, dalam
ketentuan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945
terdapat satu hak yang secara eksplisit diakui dimiliki oleh setiap orang,
yaitu hak kesamaan. Dengan demikian, loyalitas ASN kepada Konstitusi menuntut
atau mewajibkan setiap ASN selaku pelayan publik untuk memberikan layanan
publik kepada masyarakat dengan perlakuan yang sama, tanpa adanya favoritisme
atau diskriminasi pada golongan masyarakat tertentu tanpa adanya alasan yang
dibenarkan secara hukum.[7] Contoh lain, UUD 1945 juga
mengakui adanya hak masyarakat untuk memperoleh informasi, sehingga sebagai
bentuk loyalitas ASN kepada Konstitusi, pelayanan publik yang dilakukan oleh
setiap ASN dituntut untuk dilakukan secara transparan dan memberikan saluran
bagi setiap masyarakat untuk dapat mengakses informasi yang menurut peraturan
perundang-undangan bukan termasuk dalam informasi yang dikecualikan.
Kedua, loyalitas ASN kepada publik. Penggunaan
istilah publik dalam Tulisan ini ditujukan sebagai lawan dari loyalitas pada
kepentingan golongan tertentu atau pada kepentingan yang bersifat
politis-elektoral-jangka pendek. Dalam menjelaskan tuntutan loyalitas ASN
sebagai pelayan publik kepada publik itu sendiri, Tulisan ini mendasarkannya
pada ulasan tentang institutional loyalties dan dikotomi politik dengan
administrasi.
Menurut Huq dan Fontana, dalam konteks
doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang masyhur dalam
hukum konstitusi, loyalitas institutional merupakan salah satu upaya yang
diharapkan mampu memerangi terwujudnya absolutisme kekuasaan.[8] Dengan logika demikian,
setiap cabang kekuasaan yang diisi oleh personalia yang mampu menunjukkan
loyalitas institusi akan menciptakan mekanisme checks and balances yang
ideal. Menurut keduanya, institutional loyalties yang murni, yaitu
sesuai dengan yang dimandatkan oleh konstitusi, dapat menanggulangi fenomena
loyalitas institusi modern yang sangat kental dengan unsur partisan dan ideologi
yang dianut oleh partai tersebut.[9] Dalam pemahaman Penulis,
konsep institutional loyalties yang dikemukakan oleh Huq dan Fontana ini
dapat menjadi fondasi dari gagasan loyalitas ASN kepada publik. Konsep institutional
loyalties yang mengetangahkan pemahaman loyalitas secara lebih objektif dan
sesuai dengan mandat konstitusi, yang notabene merupakan dokumen kesepakatan
masyarakat, merupakan fondasi penting yang akan menghasilkan penyelenggaraan
pelayanan publik oleh ASN yang bebas dari kepentingan atau motivasi partisan.
Selanjutnya, Dwiyanto berpendapat bahwa
diskursus mengenai dikotomi politik dan administrasi mengarahkan pada
pembahasan terkait netralitas dan imparsialitas ASN.[10] Dwiyanto berpendapat
bahwa harus dibedakan antara netralitas dan imparsialitas. Menurutnya, ASN
harus memperjuangkan nilai-nilai publik dalam proses pengambilan keputusan,
sehingga hal ini berbeda dengan pemahaman umum yang menganggap bahwa ASN tidak
perlu terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menjadi domain pejabat
politik sebagai wujud netralitas ASN.[11] Sebaliknya, Dwiyanto
berpendapat bahwa ASN harus imparsial, dalam artian tidak memihak pada satu
golongan tertentu yang bertindak sebagai aktor politik.[12] Mendasarkan pada pendapat
ini, loyalitas ASN kepada publik dapat lebih terjamin, baik pada aspek
netralitas maupun imparsialitas. Dalam aspek netralitas, ASN mengejewantahkan
loyalitasnya pada publik dengan melakukan advokasi terhadap nilai-nilai publik
untuk dapat diakomodir dalam sebuah kebijakan. Sedangkan dalam aspek
imparsialitas, loyalitas ASN terwujud dalam ketidakberpihakan para ASN pada
golongan tertentu, sehingga pelayanan publik yang dilakukan oleh ASN dapat
terwujud secara adil dan tidak diskriminatif.
Konsepsi Fiduciary sebagai
Fondasi Loyalitas
Dalam bagian ini, Penulis mengetengahkan
suatu konsep yang telah digagas dan menjadi diskursus terkait loyalitas, yaitu
konsep fiduciary. Konsep ini, sebagaimana telah Penulis kutip dalam
tulisan lain, dapat dimaknai sebagai,”A duty to act for someone else's
benefit, while subordinating one's personal interests to that of the other
person.”[13]
Konsep fiduciary mengandung adanya 2 (dua) tugas lainnya, yaitu duty
of loyalty dan duty of care, yang menurut Evan Criddle keduanya
dapat diterjemahkan dalam konteks hukum administrasi.[14]
Menurut Criddle, dalam konteks Amerika,
pandangan yang memandang pejabat pemerintah sebagai fiduciary dari
publik merupakan pemahaman yang telah hidup dalam kehidupan bermasyarakat (“…This
view of government officers and institutions as public fiduciaries is not
"mere metaphor," according to some courts, but rather "a living
tenet our society.”)[15] Putusan-putusan lembaga
peradilan dalam bidang hukum administrasi, menurut Criddle, juga menunjukkan
adanya hubungan erat konsep fiduciary dengan praktik administrasi yang
bermuara pada publik. Selengkapnya Criddle menulis,”Throughout
administrative law jurisprudence, the· fiduciary model "triggers powerful,
recurring frameworks of meaning and patterns of belief ... [and] sets in motion
deeply rooted folk images, archetypes, and story lines," thereby mediating
the relationships between administrative agencies, the political and judicial
branches, and the people as a whole.”[16]
Salah satu pendapat Criddle dalam
artikel tersebut yang juga terkait dengan loyalitas pada publik adalah
implikasinya pada pemahaman principal-agent paradigm. Menurut Criddle,
memahami administrasi publik sebagai fiduciary lebih kompatibel dengan
realitas desain institusi-institusi administratif saat ini dibanding dengan pemahaman
model principal-agent yang bersifat lebih menitikberatkan pada kontrol
satu institusi.[17]
Sebagaimana dijelaskan Criddle bahwa “Where a fiduciary relation involves
multiple beneficiaries, the duty of loyalty takes on an antidiscrimination
aspect…”,[18]
maka publik yang bersifat majemuk lebih kompatibel dengan model ASN sebagai fiduciaries.
Berdasarkan pendapat Criddle yang
menyatakan bahwa konsep fiduciary adalah fondasi bagi hukum administrasi,
Penulis berpendapat bahwa loyalitas ASN kepada publik dapat didasarkan pada
kerangka tersebut. Sebagaimana Criddle menjelaskan bahwa konsep fiduciary mengandung
adanya duty of loyalties,[19] maka tidaklah berlebihan
apabila dalam Tulisan ini diketengahkan argumen bahwa ASN perlu memahami bahwa,
sebagai pelayan publik, dirinya adalah fiduciaries dari publik dan oleh
karenanya ASN berkewajiban memiliki duty of loyalties kepada publik.
Penutup
Sebagaimana telah dijabarkan dalam Tulisan ini, argumen utama yang diketengahkan adalah loyalitas ASN, sesuai dengan sumpah jabatannya, adalah terhadap Konstitusi dan publik. Loyalitas kepada Konstitusi dan publik dapat dijelaskan melalui muatan moral dari sumpah jabatan serta konsep institutional loyalties maupun dikotomi politik-administrasi. Sedangkan upaya untuk memupuk loyalitas tersebut dapat ditempuh dengan menginternalisasikan pemahaman bahwa ASN merupakan fiduciaries dari masyarakat atau publik. Dengan demikian, nilai loyal yang saat ini telah diatur dalam UU ASN berimplikasi bahwa ASN sebagai pelayan publik dituntut untuk loyal pada Konstitusi dan publik, bukan pada kepentingan partisan dan jangka pendek.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 141, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6897
[2]
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
[3]
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
[4]
Dalam konteks Pegawai Negeri Sipil, lafal sumpah diatur dalam Pasal 40
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil. Sejatinya sumpah ini juga diatur dalam UU ASN yang lama, yaitu pada
Pasal 66 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang telah dicabut dengan UU Nomor 20 Tahun 2023
yang saat ini berlaku. Meskipun dalam UU ASN yang baru tidak lagi diatur lafal
sumpah, namun berdasar Pasal 75 UU ASN segala peraturan pelaksana dari UU ASN
yang lama masih berlaku.
[5]
Richard M. Re, Promising the Constitution, Northwestern Law Review Vol.
110 No. 2, 2016, hlm. 306-313. Terkait makna konstitusi dalam constitutional
oath dihubungkan dengan model interpretasi konstitusi lihat Evan D. Bernick
dan Christopher R. Green, What is the Object of the Constitutional Oath?, Pennsylvania
State Law Review Vol. 128, 2023, hlm. 1-68.
[6]
Ibid, hlm. 309.
[7]
Asas-asas dalam penyelenggaran publik juga telah mengatur hal ini, lihat dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
[8]
Aziz Huq dan David Fontana, Institutional Loyalties in Constitutional Law, University
of Chicago Law Review Vol. 85, 2018, hlm. 12-21.
[9]
Ibid, hlm. 21-27.
[10]
Agus Dwiyanto, Teori Administrasi Publik dan Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2022, hlm. 24-39.
[11]
Ibid, hlm. 25-33
[12]
Ibid, hlm. 33-39
[13]
Pendapat Chatamarrasjid Ais, dikutip Penulis dalam Sinergi dan Rekan Kerja:
Pelajaran dari Konsep Friendship dalam Perspektif Legal, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/16344/Sinergi-dan-Rekan-Kerja-Pelajaran-dari-Konsep-Friendship-dalam-Perspektif-Legal.html
[14]
Evan J, Criddle, Fiduciary Foundations of Administrative Law, UCLA Law
Review Vol. 54, 2006, hlm. 130-132. Sebagai kritik terhadap pendapat Evan
Criddle ini lihat Ethan J. Leib dan Stephen R. Galoob, Fiduciary Political
Theory: A Critique, Yale Law Journal Vol. 125, 2016, hlm. 1854-1868.
[15]
Ibid, hlm. 135. Terkait sejarah praktik fiduciary bagi pejabat publik
dapat disimak dalam Ethan J. Leib dan Andrew Kent, Fiduciary Law and the Law
of Public Office, William & Mary Law Review Vol. 62, 2021, hlm.
1297-1348.
[16]
Ibid, hlm. 136.
[17]
Ibid, hlm. 165-168.
[18]
Ibid, hlm. 131.
[19]
Diskursus terkait makna loyalty dalam ranah legal dapat disimak dalam
Stephen R. Galoob dan Ethan j. Leib, Fiduciary Loyalty, Inside and Out, Southern
California Law Review Vol. 92, 2018, hlm. 72-86.