Selama ini, baik KPKNL maupun Balai Lelang sebagai penyelenggara lelang,
sering mengkampanyekan bahwa jual beli melalui lelang memiliki beberapa
kelebihan, di antaranya adalah aman[1]
dan memberi kepastian hukum[2].
Aman karena lelang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dan memberi
kepastian hukum karena pembeli akan mendapatkan Risalah Lelang yang berstatus
sebagai akta otentik. Dengan kelebihan-kelebihan yang disebutkan tersebut tentu
pihak penyelenggara lelang menjamin adanya perlindungan hukum bagi pembeli
lelang. Namun dalam proses bisnis lelang ternyata ditemukan adanya potensi penyalahgunaan
lelang sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang
dimaksud adalah tindak pidana pencucian uang atau money laundering.
Sesuai dengan rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), salah satu bentuk kegiatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana pencucian uang adalah orang yang membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, macam
tindak pidana asal diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, dengan tujuan menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan tersebut. Dalam konteks kegiatan
“membelanjakan” harta hasil tindak pidana asal inilah tidak menutup kemungkinan
dilakukan melalui lelang.
Pelaku pencucian uang secara umum melakukan tahapan-tahapan tertentu
yaitu placement yang kemudian diikuti
dengan tahapan layering dan integration (Garnasih, 2007).[3] Kegiatan
placement adalah langkah untuk
mengubah uang hasil kejahatan ke dalam bentuk yang kurang menimbulkan
kecurigaan dan akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan, seperti
menyimpan tunai di bank, asuransi, atau membeli rumah, kapal, dan perhiasan. Kedua,
tahapan layering, yaitu pelaku
membuat transaksi-transaksi dari dana ilegal ke dalam transaksi yang lebih
rumit dan berlapis serta berangkai dengan bentuk anonimitas untuk
menyembunyikan sumber dari uang ilegal tersebut. Terakhir, tahapan integration, yaitu pelaku memasukkan
kembali dana hasil layering ke dalam transaksi yang sah dan telah tidak terdapat
hubungan dengan kejahatan asal dana illegal. Mengacu pada ketiga tahapan
tersebut, kegiatan pelaku pencucian uang untuk mengikuti lelang dapat
dikelompokkan ke dalam kegiatan placement.
Menyadari potensi penyalahgunaan lelang menjadi sarana melakukan tindak
pidana ini, Kementerian Keuangan sebagai instansi yang menyediakan jasa lelang
sekaligus sebagai regulatornya, telah menerbitkan peraturan-peraturan dalam
rangka mencegah terjadinya pencucian uang melalui lelang. Dalam catatan
Penulis, peraturan-peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
156/PMK.06/2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Balai
Lelang, Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2016 tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
Dan Lelang, Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor SE-3/KN/2016
tentang Pedoman Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, dan Surat Edaran Direktur
Lelang DJKN Nomor SE-1/KN.7/2019 tentang Pedoman Prinsip Mengenali Pengguna
Jasa (PMPJ) Bagi Balai Lelang.
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa diatur sebagai salah satu prinsip untuk
mencegah terjadinya pencucian uang menurut Pasal 18 UU TPPU. Inti dari Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa dalam UU TPPU diimplementasikan meliputi tiga kegiatan,
yaitu (a) Identifikasi Pengguna Jasa, (b) Verifikasi Pengguna Jasa, dan (c)
Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa (Lisanawati, 2019).[4] Dalam
pendapat yang lain dirumuskan sebagai customer
identification, record keeping, dan suspicious
transaction reporting (Amrani, 2014).[5] Arti penting Prinsip Mengenali Pengguna
Jasa yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan tersebut, kemudian ditindaklanjuti
dengan pelaporan kepada Financial Intelligence
Unit (dalam konteks Indonesia terlembaga dalam PPATK) dan dapat
dipergunakan untuk menelusuri proses terjadinya pencucian uang sehingga
memudahkan penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut (Husein,
2004).[6]
Kewajiban pelaporan kepada PPATK ini juga telah diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
UU TPPU dan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 Tahun 2016
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Mengingat bahwa di antara kelebihan lelang adalah menjamin adanya
perlindungan hukum bagi pembelinya, namun di sisi yang lain lelang juga dapat
disalahgunakan oleh pembelinya untuk melakukan pencucian uang. Maka, bagaimanakah
keterkaitan implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dengan jaminan
perlindungan hukum yang ditawarkan oleh penyelenggara lelang bagi pembeli
lelang? Apakah pembeli yang menyalahgunakan lelang sebagai sarana pencucian
uang tetap berhak mendapatkan perlindungan hukum? Hal inilah yang akan
dijelaskan dalam tulisan ini.
DASAR PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM
Selama ini telah berkembang postulat dalam hukum perdata baik berdasar
putusan pengadilan maupun teori dari para pakar yang menyatakan bahwa pembeli
yang beritikad baik harus dilindungi hak-haknya secara hukum. Meskipun tidak
ditemukan definisi secara otentik dalam peraturan perundang-undangan, para ahli
telah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Pembeli Beritikad Baik. Berbagai
definisi dari para ahli tersebut, apabila objek jual belinya tanah, dapat
dirangkum sebagai berikut, Pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang
tidak mengetahui dan tidak dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui adanya
cacat cela dalam proses peralihan hak atas tanah yang dibelinya (Putro, et.al.,
2016).[7]
Definisi tersebut telah memuat pula cakupan pengertian itikad baik yang
dibagi ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi subyektif dan obyektif. Dimensi
subyektif berkaitan dengan kejujuran sedangkan dimensi obyektif berkaitan
dengan kerasionalan, kepatutan, atau keadilan (Sianturi, 2013).[8]
Itikad baik juga merupakah salah satu asas hukum dalam lapangan hukum
perjanjian bersama dengan asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, dan asas
kepribadian (Rahman, et.al., 2011).[9]
Asas itikad baik secara eksplisit disebutkan dalam rumusan Pasal 1338
KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi,” Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Berdasarkan makna itikad baik tersebut, maka sudah seharusnya bahwa
Pembeli lelang yang beritikad baik harus dilindungi secara hukum. Perlindungan
hukum bagi pembeli lelang ini dapat dilakukan oleh KPKNL atau Balai Lelang
sebagai penyelenggara lelang atau oleh lembaga peradilan jika terjadi sengketa
atas objek lelang. Pasal 4 PMK 27/2016 mengatur bahwa lelang yang telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat dibatalkan.
Ketentuan Pasal tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi
pembeli lelang, dengan syarat lelang tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Rumusan “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku” tersebut mengandung makna salah satunya adalah lelang yang
dilaksanakan dengan pembeli yang beritikad baik.
Sedangkan dalam putusan pengadilan, perlindungan hukum bagi pembeli
lelang yang beritikad baik dapat ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung No. 821
K/Sip/1974, No. 3604 K/Pdt/1985, No. 1091 K/Pdt/2009, No. 174 PK/Pdt/2012, No.
411 K/Pdt/2013 (Putro, et.al., 2016). Sebaliknya, terhadap lelang yang pembeli
lelangnya terbukti tidak memiliki itikad baik, pengadilan dapat membatalkan
lelang tersebut. Putusan-putusan yang membatalkan lelang tersebut diantaranya
adalah Putusan Mahkamah Agung No. 300 PK/Pdt/2009 dan No. 252 K/Pdt/2002.
Dalam konteks pemberian perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang
beritikad baik ini, implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dapat memiliki
peran penting. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa dilakukan dalam rangka untuk mencegah dan
mengidentifikasi dilakukannya tindak pidana pencucian uang melalui lelang. Sedangkan
dalam hukum pidana dikenal adanya dua konsep kunci untuk menentukan kesalahan
seseorang yang pada gilirannya menjadi dasar untuk memidana orang itu. Kedua
konsep tersebut adalah actus reus dan
mens rea, yang pertama menunjukkan
perbuatan jahat sedangkan yang kedua adalah berkaitan dengan pikirannya yang
salah atau jahat (Candra, 2013).[10] Dengan
demikian, implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa memungkinkan untuk dapat
mendeteksi pada tahap awal bagaimana itikad dari pembeli lelang, jika beritikad
baik maka timbul kewajiban untuk melindungi hak-haknya, jika tidak baik maka
sebaliknya.
Pengaturan di dalam UU TPPU pada Pasal 20 ayat (3) sejatinya mewajibkan
bagi pihak yang bertransaksi dengan Pengguna Jasa, termasuk penyelenggara
lelang, untuk menolak transaksi tersebut jika Pengguna Jasa tidak patuh untuk
menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa. Namun menurut Penulis, tetap tidak
menutup kemungkinan bahwa modus yang dilakukan Pengguna Jasa sedemikian rupa
sehingga dapat mengelabuhi pihak penyelenggara lelang dan transaksi tetap
berjalan.
Mens Rea atau guilty mind yang dikenal
dalam hukum pidana menurut Penulis, secara konvergen, amat terkait dengan
itikad peserta lelang dalam ranah keperdataan, terlepas apakah dia akan
ditetapkan sebagai pembeli atau tidak. Jika peserta lelang yang kemudian
ditetapkan sebagai pembeli lelang memang sejak awal berniat mengikuti lelang
untuk melakukan pencucian uang maka pembeli lelang tersebut tidak memiliki
itikad baik. Setidaknya, pembeli lelang tersebut tidak memiliki kejujuran yang
masuk dalam dimensi subyektif dari makna itikad baik. Pembeli lelang tersebut
tidak secara jujur melakukan perjanjian jual beli dalam bentuk lelang bahwa dia
membeli objek lelang dengan uang hasil tindak pidana. Selanjutnya, ketidakjujuran
pembeli lelang itu juga tergambar dari tujuan melakukan lelang untuk pencucian
uang. Sesuai dengan rumusan tindak pidana pencucian uang, lelang yang dilakukan
untuk “tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil
tindak pidana” tentu dilakukan secara tidak jujur dan mengelabuhi pihak penjual
maupun penyelenggara lelang.
Secara lebih mendasar, pembeli lelang yang memanfaatkan lelang sebagai
sarana untuk melakukan pencucian uang sejatinya telah beritikad tidak baik juga
dengan mencoba melakukan perikatan jual beli yang tidak memenuhi syarat sah
perjanjian. Sesuai Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur bahwa syarat sah
perjanjian adalah meliputi kesepakatan, kecakapan, obyek tertentu dan sebab
yang halal. Keempat syarat tersebut dikelompokkan ke dalam dua bagian,
kesepakatan dan kecakapan adalah syarat subyektif yang apabila tidak terpenuhi
maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat obyek tertentu dan sebab
yang halal adalah syarat obyektif yang apabila tidak terpenuhi maka perjanjian
batal demi hukum. Khusus berkaitan dengan syarat “sebab yang halal” dapat
dibuktikan jika perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Lelang yang dilakukan oleh pembeli sebagai sarana pencucian uang adalah
tidak memenuhi syarat “sebab yang halal” karena telah jelas bertentangan dengan
perundang-undangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dengan begitu telah jelas bahwa “sebab yang halal” sebagai
syarat obyektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi, sehingga seharusnya lelang
yang dilakukan itu batal demi hukum. Batalnya lelang demi hukum tersebut tentu
tidak memberikan hak kepada pembeli untuk mendapat perlindungan hukum. Selain
itu, jika merujuk pada Pasal 4 PMK 27/2016, maka lelang juga dapat dibatalkan
karena tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapatlah dipahami bahwa Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa memiliki arti penting sebagai dasar dalam timbulnya
perlindungan hukum bagi pembeli lelang. Selama ini pembeli lelang yang
beritikad baik, berdasar doktrin maupun yurisprudensi, haruslah dilindungi
secara hukum dan perlindungan tersebut diberikan baik oleh KPKNL atau Balai
Lelang sebagai penyelenggara lelang maupun Pengadilan dengan tidak membatalkan
lelang yang telah dilakukan.
Berbeda dengan perlindungan hukum yang diberikan bagi pembeli lelang
beritikad baik, jika dalam penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa didapati
pembeli lelang beritikad tidak baik dengan memanfaatkan lelang sebagai sarana
pencucian uang, maka pembeli tersebut tidak berhak untuk dilindungi. Bahkan
secara teorits, lelang yang dilakukannya batal secara hukum karena tidak
memenuhi salah satu syarat obyektif sahnya perjanjian yaitu sebab yang halal.
MENJAGA REPUTASI LELANG
Setelah diketahui bahwa dengan menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna
Jasa, pihak penyelenggara lelang dapat mengidentifikasi itikad pembeli lelang
apakah memang beritikad baik atau tidak. Selanjutnya diketahui pula bahwa
lelang yang dilakukan oleh pembeli dengan niat untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang adalah pembeli yang memiliki niat jahat atau mens rea sehingga berakibat tidak
terpenuhinya syarat obyektif perjanjian yaitu “sebab yang halal”, maka lelang
tersebut haruslah dianggap batal demi hukum.
Segala perjanjian yang dianggap batal demi hukum membawa akibat hukum
bahwa semua pihak harus meletakkan segala sesuatu seperti semula sebelum
kontrak (Astuti, 2016).[11]
Lebih lanjut bahwa konsekuensi tersebut menjadikan posisi hukum para pihak
harus dikembalikan kepada keadaan semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak
pernah ada. Doktrin yang mengajarkan bahwa apabila suatu perjanjian batal demi
hukum maka konsekuensi logisnya adalah tidak boleh ada pihak yang dirugikan,
karena keadaan semua kembali kepada keadaan semula (Pramono, 2010).[12]
Dengan demikian sejatinya pihak penyelenggara lelang berusaha melindungi
kepentingan hukumnya sendiri dengan tidak memberikan perlindungan hukum bagi
pembelinya yang memiliki itikad tidak baik. Salah satu kepentingan yang harus
dilindungi penyelenggara lelang adalah reputasi lelang sebagai lembaga jual
beli yang menawarkan perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.
Sehubungan dengan melindungi reputasi ini, menurut PPATK[13], penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa merupakah bagian penting bagi manajemen risiko yang baik. Macam resiko yang dapat dimitigasi dengan diterapkannya Prinsip Mengenali Pengguna Jasa adalah risiko reputasi, operasi, hukum, dan konsentrasi yang keempatnya saling berhubungan. Risiko reputasi berkaitan dengan sifat dari bisnis suatu industri, yang membutuhkan kepercayaan dari Pengguna Jasa atau nasabah. Publikasi negatif, entah akurat ataupun tidak, akan menyebabkan kehilangan kepercayaan atas integritas industri yang bersangkutan.
Mengingat bahwa selama ini lelang telah dikenal memiliki reputasi yang baik dalam memberikan perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang beritikad baik. Maka dalam rangka memitigasi risiko yang ditimbulkan dari tindak pidana pencucian uang (TPPU atau money laundering), Prinsip Mengenali Pengguna Jasa memiliki arti yang amat penting bagi proses bisnis lelang. Dengan makin efektifnya penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam proses bisnis lelang, maka lelang akan makin memiliki reputasi yang baik dan dapat menjadi pilihan utama masyarakat untuk melakukan proses jual beli karena memberikan perlindungan hukum bagi pembelinya.
Oleh: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana pada KPKNL Bontang)
[3]
Yenti Garnasih, 2007, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, Jurnal Mimbar Hukum,
Vol. 19, Nomor 2, Juni 2007, hal. 167-181.
[4]
Go Lisanawati, 2019, Memahami
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam Hukum Anti Pencucian Uang dan Kewajiban
Pelaporan, dalam Perspektif Hukum Bisnis
di Indonesia Kumpulan Catatan Kritis, Genta Publishing: Yogyakarta, hal.
23-38.
[5]
Hanafi Amrani, 2014, Rezim
Anti-Money Laundering: Perkembangan
Ke Arah Internasionalisasi Dan Implikasinya Terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan
Negara, Jurnal Negara Hukum, Vol. 5,
No. 1, Juni 2014, hal. 19-29.
[6]
Yunus Husein, 2004, Arti Penting Pelaksanaan Undang-Undang Anti Money
Laundering dan Prinsip Mengenali Nasabah
bagi Bank dan Nasabah, Makalah diunduh dari https://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/30_urgensi-pelaksanaan-uu-tppu_x.pdf
[7]
Widodo Dwi Putro, et.al.,
2016, Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad
Baik : Perlindungan Hukum bagi Pembeli yang Beritikad Baik dalam Sengketa
Perdata Berobyek Tanah, diunduh dari https://leip.or.id/wp-content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Pembeli-Beritikad-Baik-Hukum-Perdata.pdf
[8]
Purnama Tioria Sianturi, 2013, Perlindungan
Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Mandar
Maju: Bandung.
[9]
Taufiq El Rahman, et.al.,
2011, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Asas Kepribadian Dalam Kontrak-Kontrak Outsourcing, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23, Nomor 3, Oktober 2011, hal. 583-596.
[10]
Septa Candra, 2013, Pembaharuan
Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional Yang
Akan Datang, Jurnal Cita Hukum, Vol.
1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-56.
[11] Nanin Koeswidi Astuti, 2016, Analisa
Yuridis Tentang Perjanjian Dinyatakan Batal Demi Hukum, Jurnal Hukum to-ra, Vol. 2, No. 1, April 2016, hal. 279-286.
[12]
Nindyo Pramono, Problematika
Putusan Hakim Dalam Perkara Pembatalan Perjanjian, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, hal. 224-233.
[13] PPATK, t.t., Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Dan
Pelaporan Bagi Pihak Pelapor Dan Pihak Lainnya, diunduh dari https://elearning.ppatk.go.id/pluginfile.php/269/mod_page/content/5/Modul 2 - Bagian 2.pdf